Artikel

Harta dan Hikmah sebagai Jalan Cinta Ilahi

 

Hadis Nabi Muhamma saw

لاَحَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عّلّى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang,yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan dijalan yang benar, yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.[HR.Muttafaq alaih]

Betapa sering hati kita terjerat pada kecemburuan yang menyesakkan. Kita membandingkan diri dengan orang lain, merasa kurang, dan tanpa sadar, membiarkan benih hasad merusak kedamaian jiwa kita. Padahal, Nabi kita yang mulia telah menunjukkan kepada kita, bahwa ada “cemburu” yang berbeda, yang justru seharusnya kita tanam—yaitu ghibthah, atau iri hati yang membangun.

Hadis ini mengajarkan kita sebuah pelajaran yang sangat indah dan mendalam: Apa yang patut kita “iri-i” dalam hidup ini? Bukan pada kemewahan yang fana, bukan pada jabatan yang akan hilang, melainkan pada dua karunia yang membawa kebaikan abadi.

  1. Karunia Harta yang Berkhidmat pada Kebenaran

Lihatlah orang pertama: “Seseorang yang diberi Allah harta, lalu ia menghabiskannya untuk kebenaran.”

Harta, di tangan orang yang tepat, bukanlah beban atau sumber kesombongan, melainkan sebuah jembatan menuju surga. Bayangkan, ia tidak menimbunnya. Ia tidak menjadikannya berhala. Sebaliknya, ia menjadikannya alat untuk menolong yang lemah, membangun kebaikan, dan menegakkan keadilan.

Ketika kita melihat orang seperti ini, jangan biarkan hati kita berbisik, “Andai harta itu milikku.” Ubahlah bisikan itu menjadi: “Ya Allah, berikan aku hati yang lapang dan tangan yang dermawan seperti dia, sehingga hartaku, sekecil apa pun, menjadi saksi cintaku pada-Mu.” Iri-ilah niat dan pengorbanannya, bukan jumlah kekayaannya. Karena harta yang dihabiskan untuk kebenaran adalah harta yang sesungguhnya sedang diinvestasikan di sisi-Nya.

  1. Karunia Hikmah yang Menerangi Dunia

Kemudian, pandanglah orang kedua: “Seseorang yang diberi Allah hikmah [ilmu], lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya.”

Ini adalah cemburu yang paling murni. Iri-ilah orang yang dianugerahi hikmah—bukan sekadar pengetahuan kering, tapi pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, agama, dan cara berinteraksi dengan sesama. Hikmah ini tidak ia simpan sendiri. Ia menjadikannya cahaya yang menerangi kegelapan. Ia menggunakannya untuk menuntaskan masalah, bukan menambah kerumitan. Ia mengajarkannya, menyebarkan benih kebaikan, agar orang lain juga merasakan manisnya petunjuk.

Ketika kita melihat orang yang berilmu, bijaksana, dan gigih mengajar, biarkan hati kita tergerak: “Ya Allah, tambahkanlah aku ilmu yang bermanfaat, dan berikan aku keberanian serta keikhlasan untuk berbagi hikmah itu, agar aku bisa menjadi setetes manfaat bagi umat.” Iri-ilah dampaknya, jariyah ilmunya, dan ketulusan niatnya, bukan sekadar gelar yang ia sandang.

Dalam Islam, Hasad (dengki) adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, disamakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai api yang melahap amal kebaikan. Hasad yang Tercela (Haram) adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, yaitu menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hasad adalah sikap batin yang tidak senang terhadap kebahagiaan orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya dari orang tersebut. Beliau menggambarkan hasad sebagai dosa yang memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar.

Namun, ada satu pengecualian unik yang justru dianjurkan, yang dikenal sebagai Ghibthah—sering kali diterjemahkan sebagai “Hasad yang Dibolehkan” atau Iri Hati yang Terpuji. Ghibthah bukanlah penyakit, melainkan sebuah dorongan spiritual yang sehat. Ia menjadi pembeda antara nafsu yang merusak dan motivasi yang membangun, dengan berfokus hanya pada dua pilar kebaikan abadi. Ghibthah yaitu berangan-angan untuk mendapatkan nikmat kebaikan yang sama seperti yang dimiliki orang lain, tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari pemiliknya.

Al-Imam An-Nawawi dan ulama lainnya menyatakan bahwa penggunaan kata hasad di sini adalah dalam makna majazi (kiasan), yaitu ghibthah. Ini adalah “iri hati” yang menjadi motivasi positif untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Hadis di atas secara indah membatasi fokus ghibthah (persaingan yang sehat) hanya pada dua hal yang berdimensi keabadian: Harta yang diinfakkan untuk hak dan Hikmah/Ilmu yang diamalkan dan diajarkan.

“رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عّلّى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ”

(Seseorang yang diberi Allah harta, lalu ia menghabiskannya untuk kebenaran.)

Kalimat “فَسَلَّطَهُ عّلّى هَلَكَتِهِ” (lalu ia menghabiskannya/menguasainya untuk memusnahkannya). Ini adalah ungkapan yang sangat kuat. Harta sering kali menjadi ujian terberat, namun bagi hamba yang dipilih, harta diubah menjadi senjata ketaatan. Ia tidak sekadar memberi, ia menghabiskan hartanya di jalan Allah—untuk sedekah, membantu fakir miskin, membangun masjid, membiayai dakwah, dan membela kebenaran. Kita tidak iri pada jumlah hartanya, tetapi pada kekuatan niatnya yang mampu mengalahkan godaan duniawi. Kita iri pada kemampuannya melihat bahwa harta adalah pinjaman sementara yang harus segera diubah menjadi bekal abadi sebelum ajal menjemput.

Ibnu Baththal (seorang pensyarah Sahih Bukhari) menyimpulkan dari hadis ini bahwa orang kaya yang mencari rida Allah dengan hartanya itu lebih utama (afdal) daripada orang miskin yang tidak mampu melakukan infak seperti itu. Ini bukanlah peremehan bagi orang miskin, melainkan penegasan bahwa orang kaya yang sukses menaklukkan syahwat hartanya dan menggunakannya untuk hak adalah sosok yang patut dicontoh. Ia telah memenangkan peperangan melawan dirinya sendiri. Dialah pemilik Tangan Pemberi yang dicintai Allah.

“وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا”

(Dan seseorang yang diberi Allah hikmah, lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya.)

Lihatlah orang kedua, yang dianugerahi Hikmah. Hikmah di sini—sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama—sering dimaknai sebagai Ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang melahirkan pemahaman mendalam (faham) tentang urusan agama dan dunia.

Ia tidak berhenti pada sekadar mengetahui. Ia menjalani tiga tahapan mulia:

  1. Diberi Ilmu: Karunia dari Allah.
  2. Memutuskan Dengannya (Mengamalkan): Ia menggunakan ilmu itu sebagai pedoman dalam hidupnya, dalam setiap perkataan dan perbuatannya.
  3. Mengajarkannya: Ia tidak pelit ilmu. Ia menyebarkannya, menjadi pelita bagi orang lain.

Kita tidak iri pada kepandaiannya beretorika, melainkan pada kesungguhan amalnya dan ketulusan pengajarannya. Orang ini adalah pewaris para Nabi. Ia berdiri di garda depan untuk menjaga umat dari kesesatan dan kebodohan.

Al-Khaththabi (seorang ahli hadis dan fikih) menyimpulkan dari hadis ini tentang motivasi yang kuat untuk mencari ilmu, belajar, dan bersedekah dengan harta. Kedua hal ini—Ilmu yang diamalkan dan Harta yang disedekahkan—adalah puncak kebaikan yang harus kita kejar.

Para ulama menekankan bahwa “Ilmu yang bermanfaat” adalah yang diamalkan. Kita ‘iri’ pada seseorang yang ilmunya mengubah dirinya dan orang di sekelilingnya menjadi lebih baik. Ia adalah mata air yang tidak pernah kering, mengalirkan pahala yang tak terputus (amal jariyah) meskipun jasadnya telah tiada.

Hadis ini adalah manifes kehidupan seorang mukmin. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam seolah berkata: “Jika engkau harus cemburu, cemburulah pada dua tiang ini saja!” Sebab, di Padang Mahsyar kelak, yang akan menyelamatkan kita bukanlah kemilau dunia, melainkan amal yang dihasilkan dari harta dan amal yang dihasilkan dari ilmu.

Marilah kita bermuhasabah: Jika kita dikaruniai harta, apakah kita sudah menjadi orang pertama? Jika kita dikaruniai ilmu, sekecil apa pun, apakah kita sudah menjadi orang kedua?

Tanamkanlah ghibthah ini di hati kita. Jadikanlah ia bahan bakar untuk berlari menuju kebaikan, bukan racun yang mematikan amal. Karena, sesungguhnya, hidup ini adalah perlombaan, dan garis akhirnya hanya ada dua: Surga atau Neraka. Marilah kita berlomba-lomba pada dua hal yang diizinkan untuk kita “iri-i”, agar kita semua berkumpul di keabadian.

(KH. Wahyudi Sarju Abdirrahim, Lc. M.M, Anggota Majelis Tabligh PWM Jateng dan Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun Temanggung)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button