
Dalam senyap malam yang menggigilkan bumi,
langit menggantung gulita di atas gurun Hijaz.
Mekah berselimut dendam, hatinya menghitam oleh dusta,
dan para pemuka Quraisy menyusun makar dengan jubah kesombongan.
Mereka hendak membungkam cahaya
yang menyinari jiwa-jiwa tertidur
yang dibawa seorang lelaki suci
dari bani Hasyim,
bernama Muhammad,
kekasih Tuhan semesta alam.
Sang Shiddiq Membenarkan Tanpa Ragu
Tatkala wahyu turun bagaikan air zamzam pada padang gersang,
dan Nabi menyampaikan kalam Ilahi yang agung,
dialah Abu Bakar bin Abi Quhafah yang pertama menundukkan hati,
yang pertama berkata: “Benar, engkau Rasulullah.”
Ia tak meminta mukjizat,
tak menuntut bukti di langit,
cukup cahaya di wajah Muhammad
telah menegakkan iman dalam dadanya.
Maka ia pun dipanggil Ash-Shiddiq—
yang membenarkan tanpa ragu,
yang memeluk risalah dengan seluruh jiwanya.
Gua Tsur Pertemuan Dua Cinta
Tatkala malam Hijrah tiba,
dan Nabi diperintah meninggalkan tanah kelahirannya,
Abu Bakar menangis bukan karena takut, melainkan karena mendapat kehormatan
menjadi sahabat dalam perjalanan paling suci.
“Aku bersama Nabi,” katanya,
dengan dada membuncah haru.
Ia persiapkan dua unta, dan seluruh hartanya dibelanjakan
untuk menyelamatkan Sang Amanah Tuhan.
Di tengah kejaran musuh yang menghunus pedang dendam,
keduanya bersembunyi dalam gua kecil Gua Tsur,
sebuah rongga sepi yang disaksikan langit dan dijaga semesta dengan takdir Ilahi.
Abu Bakar memandang ke luar gua, mata tajamnya mengawasi bayang musuh,
namun hatinya tetap pada Rasulullah yang tidur bersandar di pangkuannya.
Tiba-tiba seekor ular dari celah batu
menggigit kaki Abu Bakar.
Ia tahan sakitnya, tak bersuara,
hanya air matanya menetes—
jatuh di wajah Nabi tercinta.
Seketika Rasul terbangun,
dan bertanya dengan lembut,
“Wahai sahabatku, mengapa engkau menangis?”
Dengan suara yang tertahan derita,
Abu Bakar menjawab,
“Agar tidak membangunkanmu, ya Rasulullah.”
Maka Nabi pun meneteskan air liurnya
pada luka sang sahabat, dan dengan izin Allah, sembuhlah ia
sebagaimana hatinya telah sembuh dari cinta dunia sejak lama.
Cinta Sejati dalam Diam
Abu Bakar tak pernah mencari nama,
tak meminta pujian atau gelar.
Ia hanya ingin satu hal:
bersama Rasulullah di dunia dan akhirat.
Ia menangis ketika mendengar sabda:
“Jika aku boleh mengambil kekasih selain Allah,
niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku.”
Tapi Nabi telah memilih Allah di atas segalanya.
Dan Abu Bakar pun ridha.
Warisan Abadi
Tatkala Nabi wafat, langit seakan runtuh di atas kepala para sahabat.
Tapi Abu Bakar berdiri, menenangkan umat dengan kata-kata
yang menggema sepanjang zaman:
“Barang siapa menyembah Muhammad,
maka sesungguhnya Muhammad telah wafat.
Tapi barang siapa menyembah Allah,
maka Allah hidup dan tidak akan pernah mati.”
Demikianlah kisah dua sahabat, yang cintanya bukan karena dunia, melainkan karena Allah semata.
Muhammad, sang pembawa cahaya.
Abu Bakar, lentera yang menjaganya.
Bersama dalam gua, bersama dalam hijrah,
dan insyaAllah bersama pula di surga.