Artikel

Kita Bukan Tokoh Utama

Oleh: Ernawati (Alumni Sekolah Tabligh Angkatan 4 UMKABA)

Di tengah dunia yang gemerlap dengan sorotan dan pengakuan, sering kali manusia terjebak dalam peran yang bukan miliknya. Kita hidup seolah-olah kitalah tokoh utama dalam cerita ini—cerita kehidupan. Namun, kebenaran sejati justru bertolak belakang dari narasi populer itu. Kita bukan tokoh utama. Kita hanyalah hamba. Dan hamba tidak menciptakan skenario, tidak menuntut panggung, dan tidak haus akan tepuk tangan. Hamba hanya punya satu tugas utama: mengenali Allah dan mengenalkan-Nya kepada dunia.

Bukan Tentang Kita

Dalam setiap tarikan napas, dalam setiap langkah hidup, kita seringkali lupa: hidup ini bukan tentang kita. Bukan tentang siapa kita, seberapa besar pencapaian kita, atau seberapa berat ujian yang menimpa kita. Hidup ini adalah panggung tempat kehendak Allah dinyatakan. Kita hanyalah peran kecil dalam skenario besar-Nya.

Allah ﷻ berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. Az-Zariyat: 56)

Terjemah: Tujuan utama penciptaan kita bukan untuk menjadi terkenal, bukan untuk dikagumi, melainkan untuk menyembah, mengenali, dan tunduk kepada-Nya.

Manusia jangan sampai salah mengambil peran. Ketika kita mulai mencari kekaguman dari makhluk, atau ingin dikasihani atas derita yang kita alami, saat itulah kita mulai melenceng dari tugas utama kita sebagai hamba.

Mengenali dan Mengenalkan-Nya

Ibadah yang paling mendasar bukan hanya soal rukuk dan sujud. Tapi tentang ma’rifatullah—mengenal Allah. Mengenal-Nya lewat keindahan ciptaan, lewat ayat-ayat-Nya yang tertulis dan yang terbentang di alam semesta. Setelah mengenal, barulah kita mampu menjalankan misi berikutnya: mengenalkan Allah kepada sesama. Bukan lewat ceramah panjang, tapi lewat akhlak, ketenangan, dan keyakinan kita saat badai datang.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.”
(HR. Bukhari no. 71, Muslim no. 1037)

Terjemah: Tanda kebaikan dari Allah bukanlah harta, jabatan, atau popularitas. Tapi pemahaman dan pengenalan terhadap agama dan Tuhannya.

Hilangkan Rasa Ke-Aku-an

Ke-aku-an adalah sumber segala kesombongan. Rasa ingin tampil, ingin diakui, ingin menang sendiri—semua itu bermuara pada ego yang membesar. Padahal, semakin kita membesarkan “aku”, semakin sempit ruang bagi cahaya Allah untuk hadir dalam hidup kita.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji zarrah.”
(HR. Muslim no. 91)

Terjemah: Bahkan setitik kesombongan yang timbul dari rasa “aku hebat”, “aku layak dikagumi”, bisa menghalangi seseorang dari surga.

Sebaliknya, seorang hamba sejati menyadari bahwa semua yang dimilikinya hanyalah titipan. Ketika keberhasilan datang, dia bersyukur karena tahu itu bukan murni hasil usahanya. Ketika kesulitan menimpa, dia sabar dan tenang karena tahu itu adalah bagian dari pendidikan Ilahi.

Allah ﷻ berfirman:

“…Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 6)

Hidup yang damai bukanlah hidup yang selalu diberi kemenangan, melainkan hidup yang selalu sadar bahwa kita ini hamba. Dan seorang hamba tak pernah meminta untuk disorot, ia hanya ingin tetap dekat dengan Tuhannya.

Mari kita luruskan kembali peran kita dalam cerita besar ini. Kita bukan pemeran utama. Kita hanyalah hamba—dan tugas seorang hamba adalah mengenal Tuhannya, mencintai-Nya, dan memperkenalkan-Nya kepada dunia. Itulah kebahagiaan sejati yang tak bergantung pada pujian maupun kesedihan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button