Tokoh

Tasawuf HAMKA: Jalan Tengah Spiritualitas di Tengah Nestapa Modernitas

Oleh : Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.

Pendahuluan: Membongkar Dikotomi Salafi-Sufi

Dalam lanskap keislaman kontemporer, pertentangan antara dua arus besar, yakni Salafi dan Sufi, telah menjadi narasi dominan yang membentuk identitas keagamaan di dunia Muslim, termasuk Indonesia(Sirriyeh 2014). Salafi, atau Salafiyyah, atau Salafisme, dengan semangat pemurnian (purifikasi), dikenal sebagai gerakan yang menekankan kembali kepada praktik-praktik para pendahulu (al-salaf al-ṣāliḥ), sementara Tasawuf dipandang sebagai ranah spiritualitas Islam yang berakar pada pengalaman mistik dan keintiman personal dengan Tuhan(Qadhi 2025). Keduanya sering dipersepsikan sebagai dua kutub yang berseberangan; yang satu rasional, tekstual, dan keras; yang lain emosional, esoterik, dan lembut.

Namun, sejarah pemikiran Islam tidak pernah bersifat hitam-putih. Dalam perjalanannya, selalu ada upaya sintesis, rekonsiliasi, dan bahkan fusi antara dua pendekatan yang tampaknya kontras ini. Salah satu figur penting yang berhasil memperlihatkan kemungkinan jalan tengah antara Salafi dan Tasawuf adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Melalui karya-karyanya seperti Tasauf Moderen (1939), Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad (1952), dan Mengembalikan Tasauf Kepangkalnja (1972), HAMKA memformulasikan sebuah bentuk Tasawuf Salafi yang tidak hanya relevan secara teologis tetapi juga resonan dengan tantangan modernitas(Howell 2012).

Esai ini berupaya untuk menggali konstruksi tasawuf HAMKA sebagai model spiritualitas Islam yang bercorak Salafi, sebuah tasawuf yang disaring, disucikan, dan dikembalikan kepada asal-usul otentiknya, al-Qur’an dan Sunnah. Esai ini juga akan memposisikan proyek pemikiran HAMKA dalam konteks kontestasi keislaman di Indonesia, dan bagaimana ia menjadi alternatif visioner bagi kaum Muslim yang haus akan spiritualitas namun tetap setia pada otoritas teks wahyu di tengah nestapa manusia modern.

Membaca Tasawuf dengan Lensa Salaf: Kerangka Epistemik HAMKA

Bagi HAMKA, pertanyaan utamanya bukanlah apakah tasawuf bagian dari Islam atau tidak, melainkan bagaimana bentuk tasawuf yang sejati. Ia mengangkat pertanyaan tersebut dalam konteks pembaruan Islam yang dibawa oleh gerakan modernis seperti Muhammadiyah, yang pada dekade 1930-an hingga 1990-an dikenal sangat kritis terhadap tradisi tarekat dan ritual sufi.

Berbeda dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah sezamannya yang melihat tasawuf sebagai unsur asing yang menyusup ke dalam Islam, HAMKA justru berupaya mengidentifikasi akar-akar tasawuf dalam kehidupan spiritual Nabi Muhammad dan para sahabat. Ia mengawali argumen dasarnya dengan merujuk pada praktik taḥannuṡ Nabi di Gua Hira sebelum turunnya wahyu pertama sebagai bentuk awal dari khalwat dan zuhd yang menjadi ciri khas spiritualitas Sufi. Ia memperkuat argumennya dengan mengutip tokoh salafi ternama, Ibn Taimiyyah dan murid terdekatnya Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dalam karya-karya tasawufnya(Hamka 2016).

Dengan pendekatan historis-teologis, HAMKA merekontruksi tasawuf sebagai “inti Islam”, bukan tambahan esoterik yang datang belakangan. Ia menyatakan bahwa kesederhanaan (zuhd), kesabaran (ṣabr), kerendahan hati (tawāḍu’), dan kerelaan (riḍā) merupakan karakter spiritual para salaf ṣāliḥ, yang menjadi sumber legitimasi utama bagi gerakan Salafi. Artinya, bagi HAMKA, tasawuf bukanlah penyimpangan, tetapi justru pengejawantahan terdalam dari Sunnah Nabi jika dimaknai secara autentik.

Namun demikian, HAMKA tidak menelan seluruh warisan tasawuf mentah-mentah, ia mengunyah lalu memilih dan memilah dengan filter al-Qur’an dan Sunnah. Ia sangat kritis terhadap penyimpangan yang terjadi dalam sejarah perkembangan tasawuf, terutama sejak abad ke-13 dan 14, ketika menurutnya ajaran sufi mengalami dekadensi melalui praktek-praktek khurafat, pemujaan terhadap wali, syeikh sufi, serta konsep wahdat al-wujūd para sufi-falsafi yang ia sebut sebagai “bid’ah” dan “penyimpangan filosofis”(Hamka 2016).

Tasawuf sebagai Disiplin Etis dan Spiritualitas Praktis

Tasawuf dalam formulasi HAMKA bukan sekadar perjalanan batin menuju makrifat, melainkan juga latihan kedisiplinan etis dan moral yang menuntun manusia untuk hidup seimbang antara kesalehan individual dan tanggung jawab sosial. Ia menggarisbawahi pentingnya membaca Al-Qur’an dan hadis secara reflektif, disertai dengan latihan-latihan jiwa seperti tafakkur, sabar, dan pengendalian hawa nafsu (tazkiyah al-nafs). Dalam Tasauf Moderen, HAMKA menulis:

“Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tapi mengatur hati agar tidak terikat pada dunia.”

Kalimat ini menjadi tesis utama tasawuf HAMKA: asketisme bukan pengingkaran terhadap realitas, melainkan penyaringan intensitas spiritual di tengah keterlibatan duniawi. Maka seorang Muslim bisa menjadi pebisnis sukses, politisi, atau pekerja profesional, tetapi tetap menjadi sufi jika ia hidup dalam kesadaran akan Allah dan menjadikan dunia sebagai jembatan, bukan tujuan.

Dengan kerangka ini, HAMKA menghadirkan tasawuf sebagai “jalan tengah” antara legalisme Islam modernis dan spiritualisme Islam tradisional. Ia menghindari ekstremitas anti-dunia dan sekaligus menolak formalisme yang dangkal. Ia menulis:

“Agama tidak semata-mata peraturan lahir, tetapi juga rasa; dan rasa ini berkembang melalui latihan batin.”

Menolak Kultus Syekh dan Tarekat

Salah satu keberanian intelektual HAMKA adalah penolakannya terhadap struktur tarekat dan otoritas spiritual syeikh sufi yang dianggapnya membuka pintu gerbang syirik dan kultus individu. Dalam pandangannya, perjalanan spiritual adalah hak setiap Muslim, dan tidak memerlukan perantara yang mengklaim akses istimewa kepada Tuhan. Ia menentang rābiṭah, ritual di mana murid sufi membayangkan wajah gurunya saat zikir, karena menurutnya praktik semacam itu mengandung bahaya laten terhadap kemurnian tauhid.

Lebih jauh, HAMKA mengecam ekses-ekses dalam tarekat sufi yang berujung pada pengultusan wali, pencarian karāmah, dan ziarah kubur yang menurutnya mendistorsi tujuan utama tasawuf: mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada manusia.

Namun penolakan ini tidak menjadikan HAMKA anti-tasawuf. Ia justru mendorong pembacanya untuk menjalani jalan spiritual dengan kesadaran mandiri. Bukunya Tasauf Moderen dapat dibaca sebagai manual “tasawuf Do It Yourself”, panduan pengembangan diri tanpa perlu masuk ke tarekat. Dalam pandangannya, kehidupan spiritual bisa dibangun oleh siapa pun yang serius melakukan muḥāsabah, tazkiyah, dan ẓikrullāh secara tulus dan dalam koridor syariat.

Spiritualitas yang Tetap Menjaga Rasionalitas

Salah satu aspek paling menarik dalam tasawuf HAMKA adalah keterbukaannya terhadap pengalaman spiritual transenden seperti makrifat dan fanā’, namun tanpa terjebak pada glorifikasi mistik yang irasional. Ia menulis dengan nada apologetik bahwa kaum Salaf mengalami “pengalaman unik” (extraordinary states), seperti Nabi Muhammad dalam Isrā’-Mi‘rāj, namun tidak berarti hal itu bertentangan dengan rasionalitas.

Dalam membangun argumen ini, HAMKA menghadirkan pendekatan rasional sekaligus empatik terhadap tasawuf. Ia sadar betul bahwa Islam harus tampil sebagai agama yang rasional di hadapan modernitas. Tetapi ia juga menyadari bahwa logika semata tidak cukup untuk menjawab krisis eksistensial manusia modern. Dalam Perkembangan Tasauf, ia menyatakan:

“Zaman atom membutuhkan kekuatan ruhani yang dapat menyeimbangkan kehampaan spiritual akibat kemajuan material yang kosong dari nilai.”

Maka, ia menggabungkan rasa (żauq) dengan akal (‘aql), dan memperlihatkan bahwa spiritualitas Islam dapat berkembang dalam dunia modern tanpa harus kehilangan akarnya dalam teks wahyu.

Spirit Nasionalisme dan Tasawuf HAMKA

Salah satu ciri khas pemikiran HAMKA adalah kemampuannya mengaitkan spiritualitas Islam dengan cita-cita kebangsaan Indonesia. Dalam Mengembalikan Tasauf ke Pangkalnya, ia menyatakan bahwa makrifat sejati akan melahirkan rasa kemanusiaan universal. Ia menulis:

“Dari makrifat lahirlah kesadaran bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan, dan oleh sebab itu patut saling menghormati di atas perbedaan bangsa dan mazhab.”

Dengan pandangan ini, HAMKA merumuskan tasawuf bukan hanya sebagai urusan pribadi antara hamba dan Tuhan, tetapi juga sebagai landasan etis untuk membangun masyarakat madani. Dalam semangat ini pula, ia menyelaraskan tasawuf dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Penutup

Tasawuf Salafi ala HAMKA bukan sekadar eksperimen pemikiran, tetapi warisan intelektual yang masih dan akan terus relevan dalam konteks keislaman dan keindonesiaan hari ini. Dalam dunia yang serba cepat, serba gaduh, dan kian terpolarisasi, tasawuf HAMKA menawarkan sebuah spiritualitas yang moderat, inklusif, dan membumi. Ia berupaya menjauhkan kita dari dua sikap ekstrem: syariat tanpa makna dan tasawuf tanpa kendali.

Di satu sisi, tasawuf HAMKA mengakui pentingnya pengalaman batin, makrifat, dan latihan spiritual sebagai bagian integral dari kehidupan Islami. Di sisi lain, ia tetap mengedepankan kemurnian tauhid, rasionalitas, dan loyalitas kepada teks wahyu, sebagai batas-batas teologis yang tak boleh dilanggar.

Tasawuf HAMKA adalah ajakan untuk menata hati tanpa meninggalkan akal, menggapai Tuhan tanpa meninggalkan dunia, dan meraih makrifat tanpa menanggalkan syariat. Di tengah nestapa manusia modern, -yang gamang di antara fondasi teks dan gejolak rasa-warisan ini perlu dibaca, direnungkan, dan -barangkali yang terpenting- dihidupkan kembali.

Bahan Bacaan

Hamka. 2016. Perkembangan & Pemurnian Tasawuf: Dari Masa Nabi Muhammad Saw. hingga Sufi-Sufi Besar. Jakarta: Republika.

Howell, Julia Day. 2012. “Sufism and neo-sufism in Indonesia today.” RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs.

Qadhi, Yasir. 2025. Understanding Salafism: Seeking the Path of the Pious Predecessors. London: Oneworld Publications.

Sirriyeh, Elizabeth. 2014. Sufis and anti-Sufis: The defence, rethinking and rejection of Sufism in the modern world. Routledge.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button