
Menapak Jejak Ibn Taimiyyah yang Hilang
Pendahuluan
Ketika mendengar nama Ibn Taimiyyah (w. 1328), sebagian besar pengkaji studi Islam mungkin langsung membayangkan seorang ulama kontroversial abad ke-14 yang kerap dikaitkan dengan semangat literalisme, kritik keras atas praktik tasawuf, dan pembukan pintu ijtihād sekaligus pendobrakan otoritas tradisional. Di sisi lain, ia juga dilihat sebagai simbol kebangkitan pemikiran Salafi yang mengemuka sejak abad ke-18 melalui gerakan Wahhabi, reformasi modernis di Mesir, hingga aktivisme Islam kontemporer. Namun satu pertanyaan penting sering luput ditanyakan: apa yang terjadi dengan warisan intelektual Ibn Taimiyyah dalam rentang waktu antara wafatnya pada abad ke-14 hingga kemunculannya kembali dalam diskursus-diskursus reformis abad ke-18? Apakah ia hilang dalam ‘tidur panjang’ dari radar sejarah intelektual Islam? Ataukah ia tetap hidup, tersembunyi dalam jejak-jejak samar (disamarkan)?
Inilah pertanyaan utama yang akan diulas dalam tulisan sederhana ini dengan menganalisa sejumlah kajian terkait dengan legacy Ibn Taimiyyah dalam kurun 3 abad ini (14-17). Tulisan ini menelusuri penerimaan (reception) atas pemikiran Ibn Taimiyyah selama tiga abad pertama pasca wafatnya, dalam konteks geografis yang luas dan sosial-keilmuan yang kompleks, dari Damaskus hingga Granada, dari Yaman hingga India.
Membaca Ulang Ibn Taimiyyah
Istilah reception (penerimaan) di sini tidak dimaknai sekadar sebagai ‘pembacaan’ atau ‘pengaruh’, tetapi sebagai serangkaian bentuk keterlibatan yang lebih luas: afirmasi, adaptasi, negasi, hingga penyamaran identitas diri. Dengan pendekatan ini, tulisan ini menolak narasi simplistik bahwa Ibn Taimiyyah terlelap dalam ‘hibernasi’ hingga dibangkitkan kembali oleh Wahhabi (Muḥammad ibn ‘Abd al-Wahhāb). Sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana warisan Ibn Taimiyyah tetap berdenyut dalam berbagai kanal transmisi pengetahuan, meski tidak selalu tampil eksplisit atau dominan.
Salah satu kata kunci dalam pendekatan ini adalah pembedaan antara dua tipe penerimaan: pertama, penerimaan oleh Ibn Taimiyyah atas pemikiran pendahulunya (seperti interaksinya dengan al-Ghazālī dan al-Rāzī)(Michot 2013; El-Tobgui 2020), dan kedua, penerimaan para ulama Muslim setelah wafatnya Ibn Taimiyyah terhadap karya-karyanya(Krawietz dan Tamer 2013). Kedua bentuk ini menegaskan posisi Ibn Taimiyyah sebagai bagian dari dialog dalam tradisi dalam Islam Sunni.
Damaskus Abad Ke-14
Tak lama setelah wafatnya, pemikiran Ibn Taimiyyah menjadi sumber perdebatan sengit, khususnya di Damaskus. Gambaran perdebatan ini diulas dengan baik oleh Rodrigo Adem yang menyoroti kontroversi seputar pandangan Ibn Taimiyyah tentang keabadian tindakan Tuhan dalam penciptaan (eternal creative action), sebuah pandangan yang menyinggung doktrin Ibn Sina mengenai kemestian (necessity) dan implikasi mengenai kekekalan dunia(Adem, n.d.).
Penentang terbesarnya adalah Taqī al-Dīn al-Subkī, hakim agung dari mazhab Syāfi‘ī, yang menuduh Ibn Taimiyyah mengadopsi pemikiran filsafat. Namun, tak sedikit pula ulama Ḥanbalī yang bangkit membela Ibn Taimiyyah, seperti Yūsuf al-Surramurrī dan Ibn Qāḍī al-Jabal. Mereka menyusun respons dalam berbagai genre, dari risalah kalām hingga puisi teologis. Ini menunjukkan bahwa meskipun dukungan terhadap Ibn Taimiyyah minim, ia tetap hadir secara aktif dalam lanskap intelektual Damaskus(Krawietz dan Tamer 2013).
Ibn Taimiyyah: dari Granada hingga India
Kasus menarik datang dari Muslim Spanyol. Islam Dayeh menunjukkan bagaimana Abū Isḥāq al-Syāṭibī, ulama Mālikī dari Granada, mengutip pemikiran Ibn Taimiyyah dalam al-I‘tiṣām tanpa menyebutkan namanya secara eksplisit(Dayeh, n.d.). Dalam wacana fiqih dan bid‘ah, al-Syāṭibī tampak sejalan dengan argumen Ibn Taimiyyah, tetapi menyamarkannya dengan label “seorang ulama Ḥanbalī.” Fenomena ini mencerminkan dua hal: pertama, penyebaran gagasan Ibn Taimiyyah melampaui batas mazhab dan geografi; kedua, reputasi Ibn Taimiyyah pada masa itu masih dianggap bermasalah, sehingga mendorong para simpatisannya untuk menyembunyikan afiliasi mereka. Ini merupakan strategi kultural yang khas dalam sejarah transmisi ide; sebuah bentuk “penerimaan tanpa pengakuan.”
Tidak hanya dalam komunitas intelektual Granada, pemikiran Ibn Taimiyyah juga bisa ditelusur ke Yaman pada abad ke-15 dalam sosok Ibn al-Wazīr, seorang Zaidī yang berpindah ke Sunni dan kemudian terpengaruh oleh Ibn Taimiyyah serta Ibn al-Qayyim. Dalam pembelaannya atas kenabian dan otoritas wahyu, Ibn al-Wazīr mengadopsi pendekatan Ibn Taimiyyah yang kritis terhadap mujizat dan lebih menekankan rasionalitas jenis (jins) kenabian. Ini bukan hanya contoh penerimaan tekstual, tetapi juga transformasi epistemologis, gagasan tentang nubuwwah (kenabian) sebagai entitas rasional (bukan hanya mukjizat) membuka jalur baru bagi debat Sunni-Zaidī dan memperlihatkan fleksibilitas warisan Ibn Taimiyyah dalam membentuk ortodoksi baru(Zouggar, n.d.).
Mungkin ironi terbesar dalam sejarah penerimaan Ibn Taimiyyah terletak pada ranah tasawuf. Mustapha Sheikh mengangkat figur Ahmad al-Rumi al-Aqhisari (w. 1632), seorang sufi Naqsybandi dari Anatolia yang membangun format baru “tasawuf sunni” dengan merujuk pada kritik Ibn al-Qayyim terhadap penyimpangan dalam praktik sufi saat itu(Sheikh, n.d.).
Dalam Ighāṡah al-Lahfān, Ibn al-Qayyim menyerang keras praktik ziarah kubur dan pengalaman mistik yang meniadakan syariat. Al-Aqhisari menerjemahkan kritik ini ke dalam model tasawuf yang ia kampanyekan, yang menekankan zikir khafī (diam), spiritualitas rasional, dan kesesuaian ketat dengan syariat. Maka terbentuklah spektrum baru yang disebut oleh Sheikh sebagai Tasawuf ala Ibn Taimiyyah (Taymiyyan Sufism), yang memperlihatkan bahwa Ibn Taimiyyah bukalah anti-sufi, justru ia melakukan reformasi dalam tasawuf.
Memasuki paruh kedua abad ke-17, muncul tokoh kunci seperti Ibrāhīm al-Kurānī (w. 1690), seorang sufi Syāfi‘ī dari Madinah yang membela Ibn Taimiyyah dari tuduhan tajsīm (antropomorfisme). Putranya, Abū Ṭāhir al-Kurdī, membawa gagasan ini ke India dan bertemu dengan Shah Wali Allāh al-Dahlāwī (w. 1762). al-Dahlāwī, berperan penting sebagai penghubung warisan intelektual antara Ibn Taimiyyah dan gerakan Ahl-i Hadith di anak benua India(Ahmad dan Greer 2022; Nizami 1990).
Ini memperlihatkan satu hal penting bahwa penerimaan Ibn Taimiyyah sejak abad ke-17 telah memasuki jaringan ulama transregional; melintasi mazhab, tarikat, bahkan batas geokultural. Penerimaan terhadap Ibn Taimiyyah bukan sekadar warisan ulama Ḥanbalī dari Damaskus, melainkan bagian dari dialog intelektual global Islam pra-modern.
Penutup
Tulisan ini menunjukkan bahwa jejak Ibn Taimiyyah dari abad ke-14 hingga ke-17 bukanlah jejak linear atau menghilang, tetapi justru plural, penuh transformasi, dan sering tidak terduga. Ia hadir dalam ragam rupa; kutipan anonim, argumen rasionalis, inspirasi tasawuf reformis, bahkan sebagai identitas komunitas minoritas yang menolak kazaliman penguasa. Yang menarik dari hal ini bukan hanya isinya, tetapi pendekatannya. Membaca Ibn Taimiyyah tak harus melalui muridnya, Ibn al-Qayyim. Ada ragam eksplorasi dari figur pinggiran dan puritan, teks-teks minor, dan ruang-ruang informal dalam sejarah Islam. Ini memungkinkan kita untuk melihat Ibn Taimiyyah tidak hanya sebagai ikon ideologis yang tunggal, melainkan sebagai medan tafsir yang dinamis, tergantung siapa yang membaca, kapan, dan dalam konteks apa.
Melalui perpektif ‘penerimaan’ (reception), kita melihat bahwa warisan intelektual bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hasil dari negosiasi berkelanjutan. Dan dalam kasus Ibn Taimiyyah, warisan itu tetap hidup dan diperebutkan, dari Granada yang jauh hingga Hijaz dan India, dari pengadilan kalām hingga ruang-ruang zikir para sufi yang sunyi.
Bahan Bacaan
Adem, Rodrigo. n.d. “Ibn Taymiyya as Avicennan? Fourteenth-Century Cosmological Controversies in Damascus.” The Muslim World 108 (1): 124–153.
Ahmad, Muzzammil, dan Ian Greer. 2022. “Shāh Walī Allāh in Defence of Ibn Taymiyyah.” Islamic Studies 61 (1): 25–44.
Dayeh, Islam. n.d. “Reading Ibn Taymiyya in Granada.: A Study of Inexplicit Citation.” The Muslim World 108 (1): 154–171.
El-Tobgui, Carl Sharif. 2020. Ibn Taymiyya on Reason and Revelation: A Study of Darʾ Taʿāruḍ Al-ʿaql Wa-l-Naql. Leiden: Brill.
Krawietz, Birgit, dan Georges Tamer, ed. 2013. Islamic Theology, Philosophy and Law: Debating Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim al-Jawziyya. Berlin: De Gruyter.
Michot, Yahya. 2013. “An Important Reader of Al-Ghazālī: Ibn Taymiyya.” The Muslim World 103 (1): 131–60.
Nizami, Khaliq Ahmad. 1990. “The Impact of Ibn Taymiyya on South Asia.” Journal of Islamic Studies 1 (Februari): 120–49.
Sheikh, Mustapha. n.d. “Taymiyyan Taṣawwuf Meets Ottoman Orthodoxy: Reformed Sufism in the Thought of Aḥmad Al‐Rūmī Al‐Āqḥiṣārī.” The Muslim World 108 (1): 186–206.
Zouggar, Nadjet. n.d. “Ibn Taymiyya on the Proofs of Prophecy and His Legacy: Ibn Qayyim Al‐Jawziyya (d. 751/1350) and Ibn Al‐Wazīr (d. 840/1436.” The Muslim World 108 (1): 172–185.