Tokoh

Jejak Keilmuan Al-Ghazālī dan Ibn Taimiyyah

Oleh : Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil (Majelis Tabligh PWM Jateng)

Bayang-bayang Salafiyyah dalam Jejak Al-Ghazālī dan Ibn Taimiyyah

Di sepanjang sejarah intelektual Islam, dua nama yang terus menimbulkan perdebatan dan kekaguman baik dari pemuji maupun pembenci adalah Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111) dan Taqī al-Dīn Ibn Taimiyyah (w. 1328). Keduanya hidup dalam masa krisis dan transisi, dan masing-masing mencoba menawarkan solusi melalui jalan yang mereka yakini kebenarannya. Al-Ghazālī dikenal luas sebagai pembaru spiritual yang mempertemukan antara ortodoksi dan tasawuf, sementara Ibn Taimiyyah seringkali diasosiasikan dengan sikap kritis terhadap filsafat dan tasawuf serta sebagai peletak dasar salafisme.

Namun, di balik perbedaan-perbedaan mencolok itu, adakah titik temu antara mereka? Dan bagaimana keduanya memaknai warisan para salaf (generasi awal umat Islam yang sering dijadikan teladan dalam kehidupan beragama)

Tulisan singkat ini membongkar citra tunggal tentang Ibn Taimiyyah sebagai pemikir fundamentalis dan menempatkannya berdampingan (kadang paralel, kadang berseberangan) dengan al-Ghazali dalam isu-isu fundamental seperti rasionalitas, tasawuf, dan hubungan dengan kekuasaan.

Ibn Taimiyyah: Radikal dalam Moderasi
Kita tak bisa membicarakan Ibn Taimiyyah tanpa menyentuh reputasinya yang kontroversial. Ia sering dicitrakan sebagai tokoh kaku, anti-filsafat, dan anti-modernitas.(Maihula 2021; Maghribi, Matlail Fajar, dan Hidayah 2023; Hidayah dan Maghribi 2022) Banyak Taymiyyan (pengkaji Ibn Taimiyyah) meneliti dan mengajak untuk melampaui persepsi ini dengan menunjukkan bahwa Ibn Taimiyyah adalah seorang ulama yang sadar akan warisan intelektual para pendahulunya, termasuk al-Ghazālī.(Di Donato 2019; Michot 2013; Hoover 2020) Dalam membahas tema-tema tasawuf, tak kurang dari lima karya al-Ghazali yang dijadikan referensi utamanya.(Maghribi 2024)

Ia menguasai karya-karya al-Ghazālī dengan baik, dan meski tak jarang mengkritiknya dengan tajam, Ibn Taimiyyah juga meminjam dan memanfaatkan argumen-argumen al-Ghazālī untuk memperkuat posisinya sendiri.(Michot 2013) Bahkan pada persoalan yang sangat filosofis seperti hubungan antara keadilan Tuhan dan keberadaan kejahatan, atau posisi jiwa dalam penciptaan, Ibn Taimiyyah justru banyak sejalan dengan pemikiran al-Ghazali — bahkan juga dengan Ibn Sina dan Ibn Arabi(Di Donato 2019).
Dengan kata lain, Ibn Taimiyyah bukanlah menara gading yang terputus dari tradisi. Ia adalah anak zamannya: terlibat, reflektif, dan kritis terhadap warisan keilmuan Islam yang digeluti.

Salah satu persinggungan penting antara al-Ghazālī dan Ibn Taimiyyah adalah tentang relasi akal dan wahyu. Dalam kitabnya, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql (Menolak Kontradiksi antara Akal dan Wahyu), Ibn Taimiyyah dengan jelas menolak dominasi logika Aristotelian.(Kazi 2013; Sharif El-Tobgui 2019; Abrahamov 1992) Namun bukan berarti ia menolak akal. Justru ia menganggap bahwa akal adalah sarana penting untuk memahami wahyu, asalkan tidak melebihi batasnya.

Al-Ghazālī juga menyuarakan hal serupa dalam al-Qānūn al-kullī. Bagi keduanya, wahyu adalah puncak kebenaran, dan akal hanya dapat berfungsi jika tunduk pada prinsip-prinsip ilahiah. Bukan berarti menolak akal, tetapi menempatkannya pada posisi yang tepat.

Yang menarik, keduanya sepakat bahwa dalam memahami teks wahyu, manusia tidak harus -bahkan tidak boleh- selalu mencari makna batiniah yang tersembunyi.(Maghribi 2024; Aḥmad 2000; Ibn Taimiyyah 1995) Kebenaran bisa jelas dan cukup melalui makna lahiriah, sebagaimana yang dipahami oleh generasi pertama umat Islam.

Salafiyyah: Dari Retorika ke Metodologi
Di sinilah titik temu paling penting antara al-Ghazālī dan Ibn Taimiyyah, peran generasi awal umat Islam (al-salaf al-ṣāliḥ) sebagai teladan utama dalam beragama. Dalam karya al-Ghāzalī yang kurang dikenal namun penting, Iljām al-‘awām ‘an ‘ilm al-kalām (Mencegah Orang Awam dari Ilmu Kalam), kita menemukan apresiasi luar biasa terhadap pendekatan salaf. Dalam karya ini, al-Ghazālī merumuskan tujuh prinsip pemahaman agama yang bersumber langsung dari cara salaf memahami wahyu, di antaranya adalah: kesucian teks (taqdīs), pembenaran penuh terhadap naṣṣ (taṣdīq), kesadaran akan keterbatasan akal (i‘tirāf bi al-‘ajz), dan diam dari penafsiran spekulatif (sukūt). Dengan kata lain, al-Ghazālī di akhir hayatnya justru semakin dekat dengan pendekatan salafi; dalam arti kepercayaan terhadap validitas pemahaman generasi awal, bukan dalam makna ideologi modern.

Baik al-Ghazali maupun Ibn Taimiyyah adalah pemikir yang tak bisa dipisahkan dari konteks politik zaman mereka. Al-Ghazālī hidup dalam bayang-bayang kekuasaan Saljūq dan menulis karya Faḍā’iḥ al-Bāṭiniyyah atas permintaan Khalifah Abbasiyah. Dalam karya ini, ia menyerang keras kaum Ismā‘īliyyah dan Syi‘ah ekstrem, sembari membela posisi kekuasaan Sunni yang berkuasa. Demikian pula Ibn Taimiyyah, yang memberi legitimasi pada kekuasaan Mamlūk melalui fatwa-fatwa keras terhadap kelompok Syī‘ah dan kaum sufi ekstrem. Dalam banyak hal, mereka adalah ulama negara yang berusaha mengawal ortodoksi demi stabilitas.
Namun, bukan berarti serta merta mereka menjadi corong kekuasaan istana. Keduanya tetap mempertahankan daya kritis dan membatasi dukungan politiknya dalam kerangka syariah.

Tasawuf: Antara Kritik dan Pengakuan
Satu lagi area menarik adalah pendekatan mereka terhadap tasawuf. Al-Ghazālī adalah sufi, tetapi juga pengkritik para sufi falsafi.(Ormsby 2007) Ibn Taimiyyah, meski sering dicitrakan anti-sufi(Sirriyeh 2014), sejatinya membedakan antara tasawuf sejati (ṣūfiyyah al-ḥaqāʾiq) dan tasawuf imitasi (pencitraan) (ṣūfiyyah al-rasm).(Ibn Taimiyyah 1993) Ia menghargai zuhud dan ibadah yang otentik, bahkan mengutip tokoh-tokoh sufi yang ia nilai lurus.(Maghribi 2024) Dengan demikian, tidak ada dikotomi tajam, yang mereka lawan adalah ekses, bukan inti.

Yang patut dicatat, terutama dari sisi al-Ghazālī, adalah kesimpulan spiritual yang ia capai di akhir hayatnya. Sebuah pendekatan agama yang lugas, sederhana, dan bisa dijangkau oleh semua; khawwāṣ dan ‘awwām. Ia menyarankan agar kaum awam tidak disibukkan dengan debat kalām yang rumit. Cukuplah bagi mereka mengikuti jalan salaf: diam, percaya, dan patuh.(Al-Ghazālī 2018) Ibn Taimiyyah mengambil jalan serupa, namun dengan cara yang lebih sistematis dan tegas. Ia menganggap bahwa para salaf bukan hanya menghindari spekulasi kalām, tapi secara aktif menggunakan akal sehat (al-‘aql al-ṣaḥīḥ) untuk meneguhkan wahyu.(Al-Jalaynid 1988) Dengan kata lain, salafiyyah bukan kebekuan, tapi metodologi aktif yang bersandar pada fiṭrah(Al-Barīdī 2021) (naluri ilāhiyyah manusia).

Tradisi sebagai Dinamika, Bukan Dogma
Membaca dan menganalisa karya-karya al-Ghazālī dan Ibn Taimiyyah, kita belajar bahwa mereka berdua tidak hidup dalam dua dunia yang terpisah. Mereka adalah bagian dari dialog dan diskusi besar umat Islam tentang makna kebenaran, peran akal, dan bagaimana cara hidup sesuai wahyu. Salafiyyah, dalam pengertian mendalam, bukanlah ideologi beku, tetapi kerinduan mendalam akan otentitas, dan dalam konteks al-Ghazālī, kerinduan akan kesucian pengalaman beragama.
Kita juga belajar bahwa revisi sejarah pemikiran sangat penting. Mengeluarkan Ibn Taimiyyah dari karikatur fundamentalis membukakan jalan bagi pemahaman lebih luas atas warisan intelektual Islam. Ia, seperti halnya al-Ghazālī, adalah jembatan antara teks dan konteks, antara masa lalu dan masa depan.

Bahan Bacaan
Abrahamov, Binyamin. 1992. “Ibn Taymiyya on the Agreement of Reason with Tradition.” The Muslim World 82 (3–4): 256–73.
Aḥmad, ‘Abd al-Fattāḥ Muḥammad Sayyid. 2000. Al-Taṣawwuf baina al-Ghazālī wa Ibn Taimiyyah. Mansoura-Mesir: Dār al-Wafā’.
Al-Barīdī, ‘Abd Allāh. 2021. Ibn Taimiyyah Failasūf al-Fiṭrah: Naḥwa Kabsalah al-Failasūf. Dammām: Dār Aṡar.
Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. 2018. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Kediri: Ats-Tsuroyya.
Al-Jalaynid, Muḥammad al-Sayyid. 1988. Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql li Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah. Kairo: Markaz al-Ahrām li al-Tarjamah wa al-Nasyr.
Donato, Marco Di. 2019. “Al-Ġazālī ed Ibn Taymiyya: la questione dei pii antenati.” Studi Magrebini 17 (1–2).
Hidayah, Alfina, dan Hamdan Maghribi. 2022. “The Misinterpretation of Ibn Taymiyyah’s Mardin Fatwa by the Modern Jihadist.” Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan 10 (02). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/fikrah.v10i2.16961.
Hoover, Jon. 2020. Ibn Taymiyya: Makers of The Muslim World. London: Oneworld Academic.
Ibn Taimiyyah, Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm. 1993. Fiqh al-Taṣawwuf. Diedit oleh Zuhair Syafīq Al-Kabbī. Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī.
———. 1995. Qā‘idah fī al-Radd ‘alā al-Ghazālī fī al-Tawakkul. Diedit oleh ‘Alī ibn ‘Abd al-‘Azīz ibn ‘Alī Al-Syibl. Riyāḍ: Dār al-Ṣamī‘ī.
Kazi, Yasir. 2013. “Reconciling Reason and Revelation in the Writings of Ibn Taymiyya (d. 728/1328.” Yale University.
Maghribi, Hamdan. 2024. Tasawuf Salafi: Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah. Malang: Madani.
Maghribi, Hamdan, Abbas Sofwan Matlail Fajar, dan Alfina Hidayah. 2023. “The Contextual Origin of Ibn Taymiyyah’s Thought on Jihad.” Progresiva : Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 12 (01). https://doi.org/10.22219/progresiva.v12i01.25062.
Maihula, Jabir Sani. 2021. Ibn Taymiyya in the Literature of Contemporary Jihadists. Mansoura-Mesir: Dār al-Ghad al-Jadīd.
Michot, Yahya. 2013. “An Important Reader of Al-Ghazālī: Ibn Taymiyya.” The Muslim World 103 (1): 131–60.
Ormsby, Eric. 2007. Ghazali: The Revival of Islam (Makers of the Muslim World). Oxford: Oneworld.
Sharif El-Tobgui, Carl. 2019. “Reason and Revelation in Islam before Ibn Taymiyya.” In Ibn Taymiyya on Reason and Revelation.
Sirriyeh, Elizabeth. 2014. Sufis and anti-Sufis: The defence, rethinking and rejection of Sufism in the modern world. Routledge.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button