Meneladani Cara Nabi Ibrahim Mendidik Ismail Kecil
oleh : Galuh Andi Luxmana, M.Pd (Majelis Tabligh PWM Jateng)

Meneladani Cara Nabi Ibrahim Mendidik Ismail Kecil
Setiap manusia yang terlahir kedunia sesungguhnya memiliki tugas yang mulia. Kelahiran seorang anak menjadi sebuah harapan baru untuk keberlangsungan hidup di bumi, sebagaimana tujuan Allah ciptakan manusia semata-mata bukan untuk sekedar peramai atau pengisi yang tak memiliki peran, namun lebih dari itu yaitu sebagai pemimpin, pembawa kebaikan dan perbaikan.
Maka sudah selayaknya ketika orang tua diberikan amanah seorang anak oleh Allah SWT ia akan merawatnya dengan sebaik mungkin, karena ia paham yang diturunkan kepadanya adalah khalifah, pembawa kebaikan dan pembawa perbaikan dimuka bumi.
Berkaca dari kisah para Nabi yang mempersiapkan generasinya dengan sebaik mungkin. Meskipun kita memang jauh panggang dari api, namun itu dapat menjadi inspirasi. Para Nabi sadar betul bahwa anaknya adalah calon penerusnya dimuka bumi meskipun Allah tetap akan memilih dari rahim siapapun. Mereka mempersiapkan dari keterampilan hidup, kemampuan berfikir, ketermapilan sosial, dan lainnya.
Salah satu nabi yang mulia yang mendapat gelar Ulul Azmi yaitu Nabiyullah Ibrahim AS. Kisahnya bersama Ismail kecil yang terabadikan hingga hari ini sampai akhir cerita dunia menjadi kisah serta ibadah bagi umat muslim. Betapa sangat berkesan peristiwa itu hingga Allah abadikan dalam Al Qur’an dan menjadi rangkaian ibadah haji dan umroh.
Mimpi Nabi Ibrahim Sebagai Penanda Keimanannya
Allah tentu akan memberi petunjuk kepada siapapun terkhusus nabi yang ditunjuk membawa risalah tauhid baik berupa wahyu atau hidayah. Nabi Ibrahim adalah contoh dari ketabahan orang tua yang sangat mengagumkan. Kekuatan imannya yang sangat kokoh menjadikan beliau nabibterpilih mendapatkan gelar sebagai Ulul Azmi.
Kita terpukau dengan ketegarannya, bagaimana mungkin anak yang telah dinantikan sekian lamanya kemudian diminta oleh Allah untuk menyembelihnya. Sungguh itu sebuah persitiwa ynag sangat memilukan karena Ibrahim harus memilih antara sayang dan taat sedangkan hari ini jika kita diminta memilih dunia dan ketaatan maka banyak yang tidak mampu dan tergoda dengan memilih dunia. Ini bukan sekedar peristiwa biasa namun sangat menyayat hati karena permintaan Allah disembelih oleh ayahnya sendiri.
Nabi ibrahim telah terdidik menjadi manusia yang amat kokoh imannya. Keimanan yang telah dipupuk dan dirawat sedari kecil hingga tumbuh kecintaan kepada Tuhannya yang luar biasa. Peristiwa di masalalu berhadapan dengan raja Namrud, pembakaran, sulit mendapat keturunan menjadi pondasi yang dahsyat. Nabi ibrahim tidak hanya menyingkirkan kecintaan tapi juga menyingkirkan hawa nafsunya.
Allah pernah menyampaikan dalam surat al Baqoroh: 212 sebagai berikut : “Kehidupan dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kufur dan mereka (terus) menghina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di atas mereka pada hari Kiamat.”
Nabi Ibrahim paham betul bahwa dunia ini dihiasi dengan keindahan namun imannya menyelamatkannya untuk taat kepada Arrahman dan Arrahim.
Strategi Nabi Ibrahim Mendidik Anak
Ismail kecil adalah anak sebagaimana jutaan manusia lainnya, jika putra nabi Nuh menjadi pembangkang maka putra nabi Ibrahimpun sangat berpeluang menjadi hal yang sama, hal ini bukan dalam rangka merwndahkan Nabi Nuh namun ada pelajaran yang dapat kita ambil jika putra nabipun dapat tersesat sebagaimana putra nabi Ayub.
Putra nabi Ibrahim tidak hanya memiliki perangai shaleh namun juga sabar dan taat. Jika kita bertanya kepada setiap orang tua tentu akan menjawab “itu harapan kami ustadz”. Ini hal yang realistis karena begitulah do’a setiap orang tua kepada putranya disamping mengharap kemakmuran kehidupan anaknya.
Bagaimana pola yang diterapkan oleh beliau dalam mendidik ismail kecil hingga menjadi keturunan yang baik:
1. Keteladanan (Uswatun khasanah)
Nabi Ibrahim bukan type orang tua spiker hanya menyuruh namun beliau mencontohkan dalam setiap aspek keimanan dan ketaatan. Banyak dari kalangan orang tua yang mengedepankan kenyaman dirinya dan memilih memerintah anaknya tanpa memberikan contoh sehingga anak melaksanakan namun tidak ada kesan yang membersamai aktifitasnya.
Dalam ilmu sosiologi keteladanan memiliki aspek gambaran yang lengkap jika diperlihatkan kepada anak, anak akan memahami sebab akibatnya dan sekaligus mentransfer emosional orang tua bahwa mereka tidak mendidik semaunya namun ikut terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan karakternya.
Dalam teori perkembangan anak Albert Bandura menyampaikan “bahwa anak adalah mahluk peniru”. Itulah mengapa Rosulullah menjadi memberikan contoh kepada umatnya karena dengan meberi teladan akan snagat mudah diterima dimasyarakat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” QS. Al-Ahzab[33]:21
2. Komunikasi dan dialog terbuka
Nabi Ibrahim tidak hanya menyontohkan namun juga membangun komunikasi yang baik. Bagaimna hal tersebut tergambar dalam surat Assafat :102
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.””QS. As-Saffat[37]:102
Dialog tersebut sebagai bukti bahwa Nabi Ibrahim sangat menghargai pemikiran orang lain meskipun itu anaknya, kita sangat tertampar dengan peristiwa ini karena banyak dari kita sebagai orang tua yang jarang membuka dialog terbuka, bahkan sepihak memutuskan suatu perkara.
Dalam Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget menyampaikan bahwa komunikasi terbuka adalah kunci untuk memahami bagaimana anak memproses informasi dan mengembangkan pemikiran mereka. Melalui dialog, orang tua dapat memfasilitasi “disequilibrium” kognitif yang mendorong anak untuk belajar dan beradaptasi.
Komunikasi juga menjadi media membangun kepercayaan anatara orang tua dengan anak, meningkatkan pemahaman timbal balik, mengembangkan pemecahan permasalahan, mendorong kemandirian dan tanggung jawab, mendeteksi permasalahan sejak dini, meningkatkan keterampilan sosial dan emosional.
3. Lingkungan Afirmatif
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Seseorang itu tergantung kepada agama teman karibnya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa teman karibnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Lingkungan menjadi salah satu faktor yang juga membentuk karakter dan pola berfikir anak. Baik lingkungan keluarga atau masyarakatnya keduanya saling melengkapi.
Dalmam hadits lain Rosulullah menyampaikan bahwa anak akan menjadi baik buruk tergantung orang tuanya. Nabi Ismail dibawah asuhan ibunya dan ayahnya tumbuh dibawah asuhan yang baik serta tinggal dilembah yang dirahmati Allah yaitu Mekah.
4. Do’a
Belajar dari perjalanan Nabi Ibrahim adalah lelaki yang tidak mudah putus asa, meskipun diusianya yang tidak lagi muda ia tetap berusaha dengan mengetuk pintu langit agar kemudian dikaruniai keturunan meskipun bukan dari istri 1 awalnya, namun itu menanandakan ketahanan Nabi Ibrahim dalam mengadahkan tangan kepada Allah.
Bagi muslim do’a satu kesatuan dari hidupnya, sebagaimna sabda rosulullah SAW:
الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ
“Doa adalah senjata kaum mukminin dan merupakan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.”(HR. Hakim)
Dalam do’a ada keterikatan antara hamba dengan Rabbnya, terhubung antara harapan dengan pencipta alam semesta. Maka orang beriman hendaknya yakin bahwa Allah akan menuntun putra/inya menjadi makhluk terbaik didunia dan akhirat.
Kisah nabi ibrahim dan Ismail menjadi pelajaran berharga dalam membangun generasi yang sholeh, sabar, dan taat. Meskipun jaman sudah modern namun keteladanan ini tetap akan relevan hingga akhir zaman. Dipenghujung tulisan ini ada 1 peringatan dari Allah kepada orang-orang yang beriman, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”QS. At-Tahrim[66]:6.