
DUA BEJANA ILMU
(Hikmah Menahan Lisan)
Oleh : Didi Eko Ristanto
Abu Hurairah—sahabat Nabi yang dikenal sebagai perawi hadits terbanyak—pernah mengucapkan kalimat yang mengguncang perenungan banyak ulama sepanjang zaman:
«حفظتُ من رسول اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وِعاءَينِ: فأمَّا أحدُهما، فبثَثْتُهُ، وأما الآخَرُ، فلو بثثتُهُ قُطِعَ هذا البلعومُ»
“Aku menghafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dua bejana ilmu. Salah satunya telah aku sebarkan. Adapun yang satu lagi, jika aku sebarkan, niscaya akan dipotong leherku.”
Hadits ini bukan sekadar tentang dua “bejana”. Ia adalah tanda bahwa tidak semua ilmu harus diucap. Tidak semua kebenaran layak diumbar di tengah manusia yang belum siap.
Abu Hurairah menyampaikan bejana pertama bisa jadi itu tentang iman, shalat, akhlak, hukum-hukum syariat, surga dan neraka. Bejana ini dibuka untuk umat. Ia menerangi jalan. Ia memandu hidup. Ia menyelamatkan manusia.
Namun, bejana kedua—ditahannya. Karena isinya bisa jadi adalah hal-hal yang, jika dibuka, bisa menimbulkan fitnah besar: seperti nama-nama orang munafik, peristiwa politik yang akan datang, siapa yang akan menumpahkan darah, siapa yang akan mengkhianati Islam dari dalam.
Abu Hurairah diam. Bukan karena takut. Tapi karena tahu, ada waktu di mana diam adalah bentuk tertinggi dari hikmah dan keberanian.
Kita hidup di zaman di mana segala hal ingin diumbar. Di mana lisan berlomba untuk paling tajam, dan jempol bersaing untuk paling cepat menyebar. Tapi hadits ini mengajarkan: ada ilmu yang bukan untuk dibuka sembarangan. Ada kebenaran yang jika disampaikan tanpa hikmah, justru menebar luka, bukan pencerahan.
Abu Hurairah adalah simbol amanah ilmu. Bukan hanya soal berapa banyak yang kita tahu, tapi apakah yang kita tahu itu membawa maslahat? Apakah lisan kita menenangkan umat, atau menambah bara?
Seringkali, orang menuntut “transparansi”, tapi bukan karena ingin memperbaiki, melainkan ingin membuka aib. Ingin membongkar kehormatan. Ingin menyulut fitnah.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ في الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ»
“Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, Allah akan menutupinya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)
Ilmu itu bukan senjata untuk menyakiti. Di media sosial hari ini, “ilmu” sering dijadikan senjata: untuk menghina, menjatuhkan, menyindir, menyebar aib, bahkan mengkafirkan. Padahal, Abu Hurairah yang memegang ilmu yang cukup banyak dari Nabi pun menahan diri. Karena ia tahu: ilmu bukan untuk menyulut api, tapi untuk menyiram bara.
Sebagian orang mengira, menyampaikan semua hal adalah keberanian. Tapi Abu Hurairah menunjukkan bahwa menahan ilmu pada waktunya bisa jadi bentuk ketakwaan. Diam bukan berarti takut. Diam bisa berarti menyelamatkan. Menenangkan. Memadamkan fitnah sebelum membesar.
Pelajaran untuk Penuntut Ilmu dan Para Dai
1. Jangan semua disampaikan. Pilihlah waktu, tempat, dan audiens yang tepat. Sebab kebenaran yang disampaikan tanpa hikmah bisa berbuah petaka.
2. Jagalah lisan dan jempol. Tidak semua hal perlu dikomentari. Tidak semua berita perlu disebar. Tidak semua aib layak dibuka.
3. Berani menahan diri. Terkadang, menahan ilmu tertentu adalah bentuk kasih sayang kepada umat dan tanda kedewasaan dalam dakwah.
Bayangkan jika Abu Hurairah tidak menahan bejana itu. Mungkin sejarah Islam akan berdarah lebih awal. Mungkin fitnah akan meledak sebelum waktunya. Tapi beliau memilih diam yang bijak. Dan kita belajar dari diamnya, sebagaimana kita belajar dari sabdanya Nabi.
Semoga Allah menjadikan kita ahli ilmu yang tidak hanya tahu, tapi juga bijaksana. Yang tak hanya menyampaikan, tapi juga menjaga. Yang tak hanya menasihati, tapi juga meneduhkan.
Karena terkadang, diam itu bukan takut, tapi taqwa yang dalam.
Cilacap, Jum’at, 16 Mei 2025