
Saat ini, kerusakan di muka bumi dalam berbagai aspek kehidupan bisa kita simak setiap hari. Kerusakan tersebut kadang kita acuhkan karena tidak berdampak langsung pada diri dan keluarga kita.
Padahal, kerusakan itu sesuatu yang sangat dekat. Baik yang memang direncanakan maupun yang bersifat katastropik. Dan parahnya lagi, tanpa kita sadari justru kita sendiri jadi pelakunya. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqoroh ayat 11-12.
وَاِذَا قِيۡلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُوۡا فِىۡ الۡاَرۡضِۙ قَالُوۡاۤ اِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُوۡنَ ١١
اَلَا ۤ اِنَّهُمۡ هُمُ الۡمُفۡسِدُوۡنَ وَلٰـكِنۡ لَّا يَشۡعُرُوۡنَ ١٢
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!”1 Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.
Oleh karena itu, kerusakan sejatinya memang tidak dapat kita hindari.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin ternyata juga memberikan perhatian secara khusus mengenai kerusakan di muka bumi. Ada setidaknya 50 kali kata bermakna kerusakan disebut dalam Alquran dalam berbagai bentuk. Begitu juga dengan kata ishlah yang merupakan kebalikannya juga memiliki jumlah yang sama.
Kesamaan antara jumlah kata fasad dan ishlah menunjukkan bahwa kadangkala kerusakan memang sengaja dibuat oleh manusia bukan untuk merusak tapi justru sebaliknya. Yaitu, membangun ulang apa yang sudah diupayakan oleh generasi sebelumnya.
Dalam konteks tersebut kita bisa membedah sebuah ayat yang sangat menarik terkait teori rekonstsruksi dalam aktivitas manusia.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفۡسِدُوۡا فِى الۡاَرۡضِ بَعۡدَ اِصۡلَاحِهَا وَادۡعُوۡهُ خَوۡفًا وَّطَمَعًا ؕ اِنَّ رَحۡمَتَ اللّٰهِ قَرِيۡبٌ مِّنَ الۡمُحۡسِنِيۡن
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”
Secara eksplisit ayat tersebut memberikan kita tiga informasi yang saling bertautan namun dengan redaksi yang terkesan kontradiktif.
Pertama, larangan membuat kerusakan di dunia.
Membuat kerusakan di muka bumi secara umum memang menimbulkan huru hara dan mala petaka. Apalagi jika kerusakan itu diadakan saat kondisi tatanan sosial sudah terasa mapan. Atau bahasa Alqurannya بعد اصلاحھا.
Namun demikian, karena hidup itu dinamis maka nafsu untuk memperbaiki keadaan terus berjalan. Hal inilah yang menimbulkan friksi atau gesekan.
Jika langkah perbaikan berhenti pada tahap ini maka perbaikan yang dimulai dari proses dekonstruksi akan berujung pada petaka.
Berbeda halnya jika manusia melakukan sebuah aktivitas deskonstuktif tapi juga melibatkan rencana lanjutan untuk tujuan rekonstruksi maka arah perubahan dan kemaslahatan yang lebih baik mungkin dapat dirasakan.
Sebagai contoh, untuk melakukan renovasi rumah, kadang kita harus mengorbankan sebagian bangunan untuk dibongkar. Jika ini berhenti maka renovasi hanya bernilai merusak. Tapi, jika kemudian dilakukan penataan ulang yang terencana dengan baik, pasti hasilnya akan sangat berbeda. Soal, hasil akhir sesuai harapan atau tidak itu tergantung bagaimana sikap kita terhadap qodo dan qodar Allah atas apa yang kita upayakan.
Oleh sebab itu, ayat ini tidak berhenti pada proses dekronstruktif disertai upaya rekonstruksi semata. Ada informasi yang bersifat teologis yang bisa menekan nafsu supaya tidak menyeret dalam jurang keburukan bernama kerusakan, yaitu kita harus iringi upaya rekonstruksi dengan amalan spiritual sebagaimana termaktub dalam ayat di atas, yaitu berdoa.
Kedua, Perintah berdoa dengan melibatkan jiwa yang tawadhu’.
Secara tekstual dalam Alquran kerap disebutkan bahwa Allah memerintahkan hambanya supaya berdoa kepadaNya dengan sikap harap-harap cemas. Dan bagi kita yang beriman maka doa itu pasti dikabulkan.
ادعونى استجب لكم
Namun demikian etika berdoa kepada Allah sebagai penentu hasil akhir juga harus dilakukan pula. Dan etika itu jelas disebutkan harus dengan sikap tawadu’, bernada lirih nan menggetarkan jiwa. Sehingga ujungnya bisa menjadi pusat episentrum ketawakalan kita padaNya.
Dalam Al-Quran bertebaran kisah para rosul yang menunjukkan bagaimana mereka mempraktikkan doa yang akhirnya dikabulkan sesuai harapan bahkan tidak sedikit yang melebihi ekspektasi.
Begitu juga kita mestinya senantiasa berdoa kepada Allah SWT tatkala sedang berupaya melakukan rekonstruksi. Selain menunjukkan bahwa kita ini bisanya hanya berusaha dan bukan penentu akhir, doa juga mengindikasikan bahwa selama proses rekonstruksi kita mengharap Allah selalu membersamai kita.
Tentu saja apapun usaha kita jika Allah sudah membersamai akan berakhir bahagia. Beda halnya jika kita mengandalkan kepandaian akal dan juga sumber daya yang kita miliki. Bisa-bisa rencana rekonstruksi malah berhenti menjadi sebuah destruksi saja.
Dari poin itulah, berdoa dengan penuh harapan juga perlu diselipkan rasa khawatir jangan-jangan upaya atau ikhtiar kita malah sebenarnya merupakan kekeliruan langkah yang berujung petaka.
Dengan memperhatikan keseimbangan antara penuh harap dan cemas dalam berdoa, kita juga bisa lebih memperoleh kejernihan hati untuk terus berpikir dan berupaya melakukan rekonstruksi sesuai hidayah, inayah, dan rahmatNya. Yang apabila itu semua bisa kita lalui maka kebaikan demi kebaikan bisa kita dapati.
Dari perspektif tersebut, tautan dari informasi ketiga dalam ayat ini menjadi pemompa semangat mereka yang berkecimpung dalam bidang rekontruksi.
Ketiga, kabar gembira bagi mereka yang berbuat baik.
Dalam akhir ayat, Allah menegaskan bahwa rahmatNya begitu dekat dengan mereka yang mau berbuat baik. Rahmat bisa kita maknai sebagai curahan kasih sayang Allah atau bisa pula bersifat eskantologis berupa surga di kampung akhirat. Sedangkan mukhsin bisa pula kita artikan sebagai langkah kongkrit berbuat baik ataupun melakukan aksi nyata tapi sepenuhnya sadar dalam pengawasanNya.
Kedua pemaknaan tersebut bila dikaitkan dengan upaya rekonstrusi bisa saja membuat kita lebih dekat dengan rahmatNya. Rekonstruksi itu sendiri harus kita niati untuk menabur kebaikan yang lebih luas kebermanfaatannya. Seperti halnya dalam upaya persyarikatan Muhammadiyah yang bersifat indigeneous sebagaimana dikatakan oleh Haedar Nasir yaitu gerakan praksis pencerahan melalui kerja-kerja amaliyah yang membebaskan, mencerahkan,dan memajukan kehidupan umat manusia di dunia nyata. ( SM no. 24,2012)
Upaya tersebut tentunya dihadapkan dengan tantangan bagaimana kita melakukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi yang bak pisau bermata dua. Oleh karenanya ujung ayat ini menjadi kunci utama para penggerak persyarikatan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat di sekitarnya. Yaitu, senantiasa menyadari bahwa Allah itu selalu mengawasi baik dari niat awal sampai sebuah karya bisa dimonumentalkan. Dan berkat rahmatNya pula kebaikan itu bermula bukan karena semata kerja keras kita yang tidak ada apa-apanya jika Dia tidak membersamai kita semua.
Wallahu a’lam bisshowab.