KhutbahKhutbah Idul Fitri

Khutbah Idul Fitri : Mencapai Ketaqwaan Dengan Sikap Washatiyah

Oleh : Miftahuddin, S.E., M.M. (MPKSDI PDM Kabupaten Pekalongan, Sekretaris PDPM Kab. Pekalohan)

Khutbah Idul Fitri 1446 H / 2025 M: Mencapai Ketaqwaan dengan Sikap Wasathiyah

Miftahuddin, S.E., M.M. (Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PDM Kabupaten Pekalongan, Sekretaris PDPM Kab. Pekalongan)

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُاللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا

اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَباَرِكْ عَلىَ مُحَمَّـدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ .فَيَآأَيُّهَاالمُؤْمِنُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ, يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

اَللَّهُ اَكْبَر, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ…….

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Sholat Idul Fitri Rohimakumullaah

Segala puji hanya milik Allah semata, yang telah memberikan kita nikmat Iman, Islam, dan kesehatan, sehingga kita dapat menyempurnakan ibadah di bulan suci Ramadhan. Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, hari ini kita dipertemukan dengan hari kemenangan, hari yang penuh berkah dan kebahagiaan, yakni ‘Idul Fitri.

Shalawat serta salam marilah kita curahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, seorang teladan utama dalam keimanan, kesabaran, dan kasih sayang. Semoga dengan seringnya kita bershalawat, Allah SWT memperkuat hati kita dalam meneladani setiap ajaran dan sunnah beliau. Dan semoga kita semua diberikan kekuatan untuk berittiba’ (mengikuti) jejak Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan dalam ibadah, akhlaq, serta dalam bermuamalah dengan sesama manusia. Dengan mengikuti jejak beliau, semoga kita senantiasa berada di jalan yang diridhai oleh Allah SWT, hingga kelak kita dikumpulkan bersama Beliau di dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Aamiin yaa Robbal ‘Aalamiin.

اَللَّهُ اَكْبَر, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Sholat Idul Fitri Rohimakumullaah

Di pagi yang penuh keberkahan ini, kita semua berkumpul untuk merayakan Idul Fitri, hari yang menjadi tanda kembalinya kita kepada fitrah. Setelah sebulan penuh kita menempa diri dengan puasa, shalat malam, dan amal kebajikan, kini saatnya kita mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan. Namun, Idul Fitri bukan sekadar momen eouforia maupun pestapora kegembiraan, melainkan juga momentum untuk memperkuat keimanan, memperbaiki hubungan dengan sesama, serta merefleksikan ajaran Islam yang mengedepankan keseimbangan wasathiyah. Sebab, Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap moderat, tidak berlebihan dalam beragama, tetapi juga tidak lalai dalam menjalankan kewajiban. Oleh karena itu, dalam khutbah ini, kita akan mengelaborasikan bagaimana sikap wasathiyah dalam beragama menjadi kunci untuk meraih ketaqwaan dan membangun hubungan harmonis dengan Allah dan sesama manusia.

اَللَّهُ اَكْبَر, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Sholat Idul Fitri Rohimakumullaah

Wasathiyah dalam beragama adalah konsep keseimbangan dan moderasi dalam menjalankan ajaran Islam, tanpa bersikap berlebihan/ifrath (إفرط) atau terlalu longgar/tafrith (تفرط). Islam Wasathiyah mengajarkan umatnya untuk tidak ekstrem dalam menjalankan agama, baik dalam bentuk fanatisme yang berlebihan maupun sikap yang meremehkan aturan agama.

Wasathiyah sebagai sikap dasar keagamaan yang memegang pondasi kukuh pada nash Al-Quran tentang ummatan wasathan,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Seorang mufassir Ibnu Katsir menyebut bahwa ummatan wasathan merupakan cerminan ideal umat terbaik (خَيْرَ اُمَّةٍ) sebagaimana yang termaktub dalam QS. Ali-Imron ayat 110,

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Hampir semua mufassir bersepakat bahwa wasathiyyah mengandung makna yang terbaik, yang ideal, seimbang, adil, karena posisinya berada di tengah di antara dua kubu ekstrem. Wasathiyyah memiliki kandungan makna essensial yang lebih komprehensif, lebih luas dari sekadar moderat karena keterikatannya dengan syari’at Islam.

اَللَّهُ اَكْبَر, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Sholat Idul Fitri Rohimakumullaah

Arus wasathiyyah dipopulerkan oleh Yusuf Qardhawi, seorang cendikiawan muslim masyhur asal negeri Mesir yang hijrah ke Dhoha Qatar, namun beliau mengakui bahwa gagasan itu bukan asli dari dirinya, melainkan sebuah prinsip dasar yang melandasi semua ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah, muamalah maupun akhlaq.

Sebelum datangnya agama Islam, umat manusia terbagi menjadi dua golongan. Pertama, Golongan Maddiyun (materialis) yang hanya mementingkan keduniawian (materi) seperti halnya orang-orang Yahudi dan Musyrikin. Kedua, Golongan Ruhaniyyun (spiritualis) yang terlalu berpegang pada adat-adat kijiwaan saja, sehingga meninggalkan keduniawian, seperti golongan Nashrani, Shabiah, dan golongan Hindu yang menyembah berhala.

Umat Yahudi terlalu condong kepada dunia, benda dan harta, sehingga di dalam catatan kitab suci mereka sendiri, kurang sekali dikisahkan perihal akhirat. Sedangkan ajaran Nashrani lebih mementingkan akhirat saja, meninggalkan segala macam kemegahan dunia, sehingga mereka membangun biara-biara tempat bertapa, dan menganjurkan kepada pendeta-pendeta supaya tidak menikah.

Ghiroh Rasulullah SAW dalam membawa Dinul Islam bagi kaum muslimin untuk menjadi umat wasathan, suatu umat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataan. Meyakini keberadaan akhirat, lalu beramal shalih di dunia. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, dan kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi khalifah Allah di muka bumi, untuk bekal menuju akhirat.

Islam merupakan agama Allah yang mengajak umatnya untuk bersikap moderat atau pertengahan i’tidal pada segala aspek kehidupan yakni bersikap seimbang dalam beragama, dalam aspek aqidah, syari’at, ibadah, peraturan, sikap, dan akhlaq. Dalam ruang lingkup Islam, metode, konsepsi dan peradabannya, tidak ditemukan suatu pengaruh dari perpecahan, melainkan Islam adalah agama yang mengajak pada kedamaian dan persatuan bahkan agama Islam sebagai agama rahmatan lil‘alamin.

اَللَّهُ اَكْبَر, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Sholat Idul Fitri Rohimakumullaah

Rasulullah SAW pernah menunjukkan sikap wasathiyah saat berdiskusi dengan para sahabat. Kisah yang disampaikan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menggambarkan tiga sahabat yang mengklaim menjalankan ajaran agamanya secara benar. Masing-masing dari ketiga sahabat itu mengaku rajin berpuasa dan tidak berbuka; selalu shalat malam dan tidak pernah tidur; dan tidak menikah lantaran takut mengganggu ibadah.

Dari Anas bin Malik, ia berkata: Datang tiga orang ke rumah-rumah para istri Nabi SAW untuk menanyakan tentang ibadah Nabi SAW, maka tatkala mereka diberitahu, seolah-olah mereka menganggapnya sedikit. Mereka berkata, “Di mana keadaan kita jika dibanding dengan Nabi SAW? Beliau adalah orang yang telah diampuni dosa-dosanya yang dahulu maupun yang akan datang.” Maka salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam sepanjang malam.” Yang lain berkata, “Dan saya akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka.” Sedangkan yang ketiga berkata, “Saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan menikah selamanya.” Maka datanglah Rasulullah saw kepada mereka, beliau bersabda, “Kaliankah orang-orang yang telah berkata begini dan begini? Ingatlah, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan orang yang paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini mengelaborasikan tentang standar ketaqwaan dalam beragama adalah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau menjalankan syariat Islam sesuai dengan fithrah manusia, karena masing-masing memiliki hak yang harus ditunaikan, yaitu hak Allah, hak anak, hak istri, hak jasad. Maka beliau kadang berpuasa dan kadang berbuka, di sebagian malam beliau shalat dan di sebagian lainnya beliau tidur untuk memberikan hak mata dan istirahat bagi tubuhnya, dan beliau menikah karena itu bagian dari kebutuhan biologis manusia. Inilah wujud dari moderasi beragama yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam beribadah maka tidak diperkenankan bersikap ghuluw, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 171,

يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ

“Wahai Ahlulkitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dalam (menjalankan) agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar.”

Begitupun perihal muamalah maka juga tidak diperkenankan berlebih-lebihan (israf), sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 31,

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَࣖ

“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”

اَللَّهُ اَكْبَر, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Sholat Idul Fitri Rohimakumullaah

Salah satu analogi sederhana untuk memahami konsep wasathiyah dalam hal ibadah bisa kita lihat dalam permainan sepak bola. Dalam sepak bola, setiap pemain memiliki peran yang berbeda: ada penjaga gawang, bek, gelandang, dan penyerang. Tim yang baik adalah tim yang bisa menjaga keseimbangan antara bertahan dan menyerang. Jika terlalu fokus menyerang tanpa menjaga pertahanan, mereka bisa kebobolan. Sebaliknya, jika hanya bertahan tanpa berusaha mencetak gol, mereka sulit meraih kemenangan.

Hal ini mirip dengan bagaimana kita menjalankan ibadah dalam Islam. Seorang Muslim harus menjaga keseimbangan antara ibadah ritual dan sosial. Jika seseorang hanya fokus pada ibadah pribadi seperti shalat, puasa, i’tikaf dan membaca Al-Qur’an, tetapi mengabaikan kepedulian terhadap sesama, ia seperti tim yang hanya bertahan tanpa mencetak gol. Sebaliknya, jika hanya sibuk dengan aktivitas sosial tetapi melupakan hubungan dengan Allah, ia seperti tim yang menyerang tanpa memperhatikan pertahanan. Begitupun hasil output dalam didikan madrasah Ramadhan yang akan kita implementasikan pada bulan-bulan berikutnya, maka selain kita fokus pada menjaga dan meningkatkan kualitas ibadah ritual kita kepada Allah, namun membangun keharmonisan dan kebaikan dalam persaudaraan kepada sesama merupakan bagian dari merawat ketaqwaan dalam sikap wasathiyah. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 133-134:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”

Islam mengajarkan bahwa keseimbangan ini sangat penting. Rasulullah SAW merupakan uswah terbaik dalam menjaga keseimbangan antara ibadah ritual dengan ibadah sosial. Oleh karena itu, konsep wasathiyah mengajarkan kita untuk beribadah dengan penuh ketaqwaan yang sebenarnya, yakni memiliki sikap seimbang dalam memadukan hubungan baik bagi seorang hamba kepada Rabbnya maupun kemampuan menghadirkan kemanfaatan untuk sekitarnya. Rasulullaah SAW bersabda,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: خَصْلَتَانِ لاَ شَيْءَ أَفْضَلُ مِنْهُمَا، الإِيْمَانُ باللهِ والنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ

Ada dua perkara yang lebih afdhol yang tidak bisa diungguli dengan keutamaan lainnya. Yang Pertama, Iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hubungan antara hamba dengan Penciptanya itu harus ada sebuah Iman. Al-Imanu Billah merupakan rukun yang paling pokok (paling azas) bagi seorang hamba. Perbuatan seorang hamba akan terhenti, jikalau tidak ada Iman. Kalau pun seseorang melakukan perbuatan yang sangat baik tanpa adanya Iman, maka di akhirat nanti perbuatan tersebut tidak ada nilainya, nihil. Seumpama Allah membalas, maka Allah membalasnya hanya di dunia saja. Jadi persyaratan seorang mendapat balasan di akhirat nanti adalah mati denga membawa iman. Yang kedua, memberikan manfaat kepada sesama muslim. Memberi manfaat kepada sesama muslim bisa dengan ucapan, kekuasaan, harta benda maupun tenaga. Rasulullah SAW bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, sedangkan amal yang paling dicintai oleh Allah adalah kebahagiaan yang engkau diberikan kepada diri seorang muslim atau engkau menghilangkan kesulitannya atau engkau melunasi hutangnya atau membebaskannya dari kelaparan.

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ اَصْبَحَ لَايَنْوِى الظُّلْمَ عَلَى اَحَدٍ، غُفِرَلَهُ مَاجَنَى. وَمَنْ اَصْبَحَ نُصْرَةَ الْمَظْلُوْمِ وَقَضَاءَ حَاجَةِ الْمُسْلِمِ، كَانَتْ لَهُ كَاَجْرِ حَجَّةٍ مَبْرُوْرَةٍ

“Barangsiapa berada pada pagi hari tanpa bermaksud mendholimi seorang pun, maka perbuatan dosa yang telah dilakukannya akan diampuni (oleh Allah). Dan barangsiapa yang berada pada pagi hari dan berniat untuk menolong orang yang teraniaya serta memenuhi kebutuhan seorang muslim, maka ia akan mendapatkan pahala seperti haji yang mabrur.”

Capaian madrasah ramadhan ini merupakan momen yang tepat bagi kita untuk menjaga sekaligus mempertahankan, merawat sekaligus meningkatkan terhadap kualitas diri, tidak hanya untuk memperdalam iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT, tetapi juga untuk memperbaiki kualitas kesalehan sosial antar sesama. Sehingga di hari kemenangan ini, kita bisa merayakannya dengan hati yang bersih dan suci serta menjadi manusia yang menyemai predikat sebenar-benarnya taqwa, yakni menjadi manusia yang unggul berdasarkan nilai ilahiyah maupun unggul berdasarkan nilai insaniyah.

Sebagai penutup khutbah ini, marilah kita renungkan bahwa ketaqwaan yang sejati dapat dicapai dengan menerapkan sikap wasathiyah dalam kehidupan kita. Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan akhirat (ukhrowi) dan kehidupan dunia (duniyawi), antara hak dan kewajiban, serta antara kecintaan kepada sesama dan keteguhan dalam prinsip.

Di hari yang suci ini, marilah kita jadikan Idul Fitri sebagai momentum untuk memperbaharui keimanan, mempererat ukhuwah Islamiyah, dan meneguhkan komitmen dalam menjalankan ajaran Islam secara adil dan seimbang. Semoga kita semua termasuk ke dalam umatan wasathan, umat yang senantiasa berada di jalan tengah yang lurus dan diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.

 

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَـمِيْنَ، حَمْدَ النَّاعِمِيْنَ، حَمْدَ الشَّاكِرِيْنَ، حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَ يُكَافِئُ مَزِيْدَهُ، رَبَّـنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَ عَظِيْمِ سُلْطَانِكَ

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْاَمْوَاتْ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

اَللُّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً، اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

اَللُّهُمَّ لاَ تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا اِلاَّ غَفَرْتَهُ، وَلاَ هَمًّا اِلاَّ فَرَّجْتَهُ، وَلاَ عَيْبًا اِلاَّ سَتَرْتَهُ، وَلاَ دَيْنًا اِلاَّ قَضَيْتَهُ، وَلاَ سَقَمًا اِلاَّ شَفَيْتَهُ، وَلاَ حَاجَةً اِلاَّ قَضَيْتَهَا وَيَسَّرْتَهَا، فَيَسِّرْ لَنَا اُمُوْرَنَا، وَاشْرَحْ صُدُوْرَنَا، وَنَوِّرْ قُلُوْبَنَا، وَاخْتِمْ بِالصَّالِحَاتِ اَعْمَالَنَا

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَ صِيَامَنَا وَ نُسُكَنَا، إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ .رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ

.سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِـزَّةِ عَمَّا يَصِـفُوْنَ، وَ سَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِـيْنَ،  وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button