Artikel

Antara Hijrah dan Kesombongan (Sebuah Renungan)

Oleh: Deni Prasetyo (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng di UMPP))

Dulu, sebelum hijrah, saya hidup tanpa kesadaran akan hakikat diri. Saya tidak peduli dengan ajaran agama, tidak mengenakan jilbab, sering menyingkap aurat tanpa rasa malu. Namun, kini setelah hijrah dan mengenakan cadar, hati saya dipenuhi dengan rasa benci pada mereka yang tidak berhijab sesuai syariat.

Dulu, sebelum hijrah, saya tak pernah peduli dengan sunnah Nabi ﷺ, bahkan saya membenci dan mengolok-olok orang yang berjenggot. Kini, setelah saya menumbuhkan jenggot sebagai bentuk mencintai sunnah, saya mulai merasa superior terhadap saudara-saudara saya yang tidak mengikuti sunnah yang sama. Saya merasa seakan mereka kurang sempurna dalam menjalani agama.

Dulu, sebelum hijrah, saya tidak pernah datang ke masjid selain sholat Jumat dan idul fitri. Saya lebih memilih shalat di rumah atau bahkan tidak shalat sama sekali. Kini, setelah hijrah dan mendekatkan diri kepada Allah, saya mulai menghakimi saudara-saudara yang tidak datang ke masjid. Saya menganggap mereka pemalas dan kurang bersemangat dalam beribadah.

Dulu, sebelum hijrah, saya hidup dalam kemaksiatan. Minum-minuman keras, berjudi, bahkan terjerumus dalam zina. Kini, setelah hijrah, saya merasa seakan dunia ini penuh dengan orang-orang yang salah. Saya mulai mencela saudara-saudara saya hanya karena beda penentuan hari raya.

Dulu, celana saya selalu berada di atas lutut, tidak peduli dengan adab berpakaian dalam Islam. Kini, setelah hijrah, saya merasa bangga dengan celana yang berada di atas mata kaki (cingkrang), dan tak segan mengkritik keras saudara-saudara saya yang mengenakan celana di bawah mata kaki alias Isbal. Karena menurut hadis Nabi, Isbal tempatnya di neraka.

Dulu, sebelum hijrah, saya lebih memilih gaya hidup bebas, berpakaian seperti preman dan tidak memikirkan pandangan orang lain. Kini, setelah hijrah, saya merasa lebih baik karena mengenakan gamis dan jilbab panjang. Saya meras jijik kepada orang yang tidak mengenakan pakaian seperti yang saya kenakan.

Dulu, saya gemar mendengarkan musik, dan tidak ada yang salah menurut saya. Kini, setelah hijrah, saya merasa lebih paham akan hukum-hukum agama dan bahkan menganggap ustadz yang menghalalkan musik sebagai ustadz subhat, sesat menyesatkan, dan harus ditahdzir.

Dulu, saya merasa diri saya adalah orang yang paling berdosa, penuh dengan penyesalan dan rasa takut akan azab-Nya. Kini, setelah hijrah, saya merasa seolah-olah saya lebih alim dan lebih suci dari orang lain, amal saya banyak dan dijamin masuk syurga.

Dulu, saya menganggap bahwa setiap orang muslim, yang mengucap dua kalimat syahadat pasti akan masuk surga. Kini, setelah hijrah, saya meyakini bahwa hanya kelompok saya saja yang benar, hanya manhaj kelompok saya yang selamat sehingga saya lebih mudah menghakimi saudara seiman hanya karena perbedaan pemahaman tentang maulid Nabi SAW. Saya juga meyakini bahwa selain kelompok kami dan yang tidak sepaham dengan kami berarti mereka firqoh dholah, kafir, ahlu bidah, finnaar.

Pembaca yang Budiman, tulisan ini bukan bertujuan untuk mendeskreditkan istilah hijrah dan pelaku hijrah atau kelompok tertentu. Penulis merasa gembira dan bersyukur dengan maraknya fenomena hijrah di kalangan milenial dan gen Z belakangan ini. Akan tetapi, sayangnya, hijrah seringkali disalah artikan dan disalah gunakan oleh sebagian kalangan. Banyak di antara mereka belum memahami makna hijrah yang sebenarnya. Maka pesan yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini adalah bahwa hijrah seharusnya mengajarkan kita untuk menjadi lebih baik dalam setiap aspek kehidupan. Jika hijrah justru membawa kita pada kesombongan dan kebencian terhadap saudara sesama Muslim, maka berarti hijrah kita belum sempurna atau mungkin salah arah.

Benci terhadap keburukan adalah hal yang baik, akan tetapi membenci orang yang melakukan keburukan (yang mana kita juga pernah atau bisa melakukannya) adalah tidak bijaksana. Apalagi hanya karena peda pemahaman semata. Ketika melihat kesalahan atau keburukan orang lain maka bencilah keburukannya tapi jangan benci orangnya karena bisa jadi setelah ia melakukan keburukan ia bertaubat dan dosa-dosanya diampuni. Sementara di sisi lain, amal kebaikan kita tidak ada yang menjamin diterima.

Mari kita merenung, bahwa hijrah dan sunnah Nabi bukanlah tentang penampilan luar semata, tetapi tentang perubahan sikap yang lebih baik, akhlaq yang lebih mulia, hati yang lebih lembut dan lebih penuh kasih sayang. Kebaikan dalam agama bukan hanya diukur dari pakaian, penampilan fisik dan retorika yang kita ucapkan, tetapi juga sejauh mana kita bisa menjadi pribadi yang rendah hati dan menghormati sesama.

Akhibati fillah, jangan sampai hijrah justru mengantarkan kita ke tempat yang salah. Membawa kita semakin jauh dari Ridha Allah. Jangan sampai semangat ingin berubah menjadi lebih baik kita, justru menambah keburukan yang lebih parah. Jangan sampai hijrah kita justru menjadi ajang untuk berbangga diri dan merendahkan orang lain.

Dalam hal ini kita bisa belajar dari kesombongan seorang mahluk Allah yang bernama Iblis. Kesombongan Iblis mengandung pelajaran berharga yang sangat relevan terutama bagi kita yang sedang semangat-semangatnya melakukan kebaikan. Berikut adalah beberapa pelajaran penting yang dapat diambil diantaranya:

1. Kesombongan Menghancurkan Kebaikan

Iblis memiliki kedudukan tinggi sebelum jatuh dalam dosa. Ia adalah makhluk yang pernah beribadah kepada Allah dengan tekun ribuan tahun lamanya. Namun, semua amal kebaikannya hancur karena kesombongannya. Allah SWT berfirman :

قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)

2. Kesombongan Adalah Penolakan terhadap Kebenaran

Iblis menolak perintah Allah karena merasa dirinya lebih mulia dibanding Adam. Ia tidak mampu menerima kebenaran yang bertentangan dengan keinginan dan egonya. Ketika seseorang merasa lebih baik, ia cenderung sulit menerima kebenaran, bahkan jika kebenaran itu datang langsung dari Allah.

Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim)

3. Kesombongan Memutuskan Hubungan dengan Allah

Iblis diusir dari surga dan diusir dari rahmat Allah. Ia kehilangan segala kehormatan karena tidak mau tunduk dan patuh pada perintah-Nya. Allah SWT berfirman:

قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُوْنُ لَكَ اَنْ تَتَكَبَّرَ فِيْهَا فَاخْرُجْ اِنَّكَ مِنَ الصّٰغِرِيْنَ

Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu darinya (surga) karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.” (QS. Al-A’raf: 13)

4. Kesombongan Menimbulkan Kebencian dan Permusuhan

Iblis tidak hanya sombong, tetapi juga memendam kebencian terhadap Adam dan keturunannya. Ia berjanji akan menyesatkan manusia hingga hari kiamat. Kesombongan melahirkan sifat dengki, iri hati, dan keinginan untuk merusak orang lain. Hal ini dapat menciptakan permusuhan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana Allah SWT menceritakan:

قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

.  Ia (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.” (QS. Al-A’raf: 16)

5. Kesombongan Menyebabkan Kerugian Abadi

Akibat kesombongannya, Iblis tidak hanya kehilangan kedudukannya di sisi Allah, tetapi juga dijanjikan hukuman abadi di neraka. Allah SWT berfirman:

لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ

Aku pasti akan memenuhi (neraka) Jahanam denganmu dan orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.'” (QS. Shad: 85)

6. Kerendahan Hati Adalah Kunci Keselamatan

Kesombongan Iblis adalah kebalikan dari sifat para nabi dan orang saleh, yang senantiasa tunduk, patuh, dan rendah hati di hadapan Allah. Keselamatan hanya datang kepada mereka yang merendahkan diri di hadapan Allah dan berbuat baik kepada sesama. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)

Kisah Iblis mengajarkan bahwa hijrah, amal ibadah, dan kebaikan tidak cukup jika hati kita terisi dengan kesombongan. Sebaliknya, kesadaran bahwa kita adalah hamba yang lemah dan selalu membutuhkan rahmat Allah adalah kunci untuk selamat di dunia dan akhirat. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا

“Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’: 37)

Wallahu a’lam bishshawaab…

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button