Meraih Manisnya Keimanan
Ditulis oleh: Wiji Rahayu (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng di UMKABA

Kalaulah lidah kita tidak bisa merasakan manisnya gula, manisnya madu, tentu yang sedang bermasalah bukanlah gulanya, yang sedang bermasalah bukanlah madunya, tetapi yang sedang bermasalah adalah lidah kita.
Kalaulah penglihatan sudah tidak jelas, apa yang nampak di depan mata tidak bisa dilihat dengan jelas, tentu yang bermasalah bukan apa yang ada di depan matanya, tetapi boleh jadi yang sedang bermasalah adalah mata kita. Kalaulah keimanan dan ketaatan tidak lagi dirasakan oleh hati, maka boleh jadi yang sedang bermasalah adalah hati kita.
Rosulullah SAW dalam hadistnya mengatakan yang namanya keimanan dia memiliki rasa. Lalu bagaimana dari anggota tubuh kita yang bisa merasakan manisnya keimanan.
Apa yang dimaksud dengan manisnya iman?
Kalau saja para raja dan pangeran atau putra mahkota itu tahu betapa indahnya rasa iman, mka mereka akan cemburu dan berusaha untuk merebut itu dengan segala cara, mengeksekusi atau melibas kita dengan pedang, karena begitulah pola pikir para raja dulu. Kalau ada sesuatu yang dimiliki oleh pihak lain dan mereka tidak punya, mereka ingin memilikinya dengan berbagai macam cara.
Kata Imam An Nawawi rahimahullah, yang bisa merasakan manisnya keimanan adalah hati seorang hamba.
Imam An Nawawi kemudian menjelaskan, ketika seorang hamba sudah bisa merasakan lezatnya dalam menjalankan ketaatan. Ketika seorang hamba sudah biasa memikul berartnya kesulitan, maka saat itu seorang hamba sudah bisa merasakan manisnya keimanan.
Ketika duduk berlama-lama membaca ayat suci Al Qur’anul Kariim begitu dinikmati oleh seorang hamba, maka saat itu sang hamba sejatinya sedang merasakan manisnya iman, dan ini bisa kita rasakan kalau hati kita sehat.
Kalaulah kesehatan bada yang sering kita jaga, tentunya kesehatan hati jangan sampai dikesampingkan begitu saja. Karena kesehatan hati sangatlah penting untuk bisa kita jaga.
Usman bin Affan RA beliau memiliki alat ukut sejauh mana kesehatan hati. Sekiranya hati kita memiliki hati yang bersih, maka kita tidak pernah kenyang dan puas berinteraksi dengan firman Allah SWT, artinya bila hati seorang hamba ia betah berlama-lama dengan firman Tuhannya. Semakin bersih hati sang hamba, semakin nyaman mendengarkan bacaan Al Qur’an di telinganya. Semakin bersih hati sang hamba, semakin betah dan khusyuk saat dia membaca firman Tuhannya. Semakin bersih hati seorang hamba, semakin semangat terus menambah kualitas dan kuantitas dalam hafalannya. Sebaliknya jika deadaan hatinya kurang bersih, tidak bersih atau bahkan sangat kotor maka akan sangat berat bagi kita untuk menikmati firman Allah SWT. Kenikmatan-kenikmatan itu hilang rasanya bukan karena Al Qur’an tidak memberi rasa, bukan karena ketaatan tidak memiliki kelezatan, tetapi karena yang sedang bermasalah adalah hati kita.
Hadist Rosulullah SAW tentang manisnya keimanan ada 3 jalan, 3 obat, 3 resep bagi kita sebagai ummatnya hingga bisa merasakan manisnya keimanan.
Halawatul Iman
Rosulullah SAW bersabda:
Ada 3 golongan, jika kita berada pada golongan itu kita akan merasakan manisnya keimanan. Tiga resep yang ketika kita usahakan, ketika kita ikhtiarkan, ketika kita jalankan maka kita akan merasakan lezatnya menjalankan ketaatan. Betah duduk berlama-lama di majelis ilmu, berdzikir mengingat Allah sampai menangis, membaca Al Qur’an dengan khusuk, duduk di rumah Allah SWT dengan penuh kenikmatan, dengan penuh kekhusukan.
Yang Pertama kata Rosulullah SAW
Orang yang menjadikan Allah dan Rosul-Nya sebagai cinta pertama melebihi cintanya kepada segala-galanya.
Orang yang mencintai Allah dan Rosul sebagai cinta pertamanya, orang yang mencintai Allah dan Rosul sebagai prioritas utamanya. Maksud dari perkataan Rosulullah SAW itu artinya ada kalanya Allah SWT menempatkan kita berada di jalan persimpangan cinta. Ada kalanya Allah SWT menghadapkan kita pada pilihan-pilihan manakah pilihan yang akan kita ambil, manakah yang akan kita prioritaskan, apakah perintah Allah dan RosulNya yang akan kita prioritaskan.
Sebagai contoh:
Allah SWT mengangkat kepada kita kisah Nabi Ibrohim AS. Sangat wajar seorang suami mencintai istrinya, sangat normal ketika suami mencintai pasangannya dan sangat wajar ketika seorang ayah mencintai anaknya. Tetapi Allah SWT ingin mengajarkan kepada kita sebagai umat, sebagai hamba-Nya bahwa nabi Ibrohim ketika dihadapkan di jalan persimpangan cinta, Nabi Ibrohim senantiasa memilih Allah SWT. Turunlah perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrohim AS, untuk meninggalkan anak dan istrinya di lembah yang tidak memiliki tanam-tanaman. Kalaulah cintanya kepada istri lebih diprioritaskan tentu perintah Allah akan diabaikan. Ketika cintanya kepada Allah diprioritaskan tentu, meskipun istrinya maka Allah SWT yang akan dinomorsatukan.
Pembaca sholeh dan sholehah yang dirahmati Allah. Boleh jadi jika perintah Allah diabaikan maka kita akan kehilangan segala-galanya. Tetapi ketika kita berkorban untuk Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya. Ketika Allah yang dikorbankan. Ketika Allah yang diabaikan maka kita akan kehilangan segala-galanya. Ketika Allah tahu, melihat, menyaksikan, bahwa kita banyak berkorban untuk Allah SWT. Bahkan Nabi Ibrohim meninggalkan anak dan istrinya di lembah yang tidak ada tanam-tanaman dengan bahasa kita hari ini. Boleh jadi saat itu Nabi Ibrohim mengorbankan cintanya kepada keluarga, mengorbankan kebersamaannya demi perintah Allah SWT dan Allah tidak pernah menyia-nyiakan hambanya. Maka Allah pun membalas kepada Nabi Ibrohim AS dengan ganjaran yang begitu luar biasa. Diabadikan kisahnya diangkat cerita keluarganya dan akhirnya dijadikan salah satu bagian dari ibadah kita.
Ketika istri Nabi Ibrohim “Hajar” mencari air, mencari makanan, mencari penghidupan untuk putranya Ismail AS. Akhirnya menjadi proses ibada kita dalam ibadah haji. Kemudian ketika Nabi Ibrohim dihdapkan dalam persimpangan cinta, mencintai anaknya adalah kewajaran bagi seorang ayah, tetapi turun perintah dari Allah SWT melalui mimpinya Nabi Ibrohim AS untuk menyembelih Ismail AS. Di situ Nabi Ibrohim dihadapkan dengan dua pilihan cinta, mencintai anaknya berarti mengabaikan perintah Allah, mencintai Allah berarti harus siap bahkan berkorban dengan anaknya. Dan sekali lagi Allah tidak pernah menyia-nyiakan pengorbanan hamba ketika pengorbanan itu untuk Allah SWT .
Ketika seorang berkorban untuk Allah maka dia akan merasakan manisnya keimanan, lezatnya ketaatan dan siap kuat untuk menanggung kesulitan karena semuanya demi cinta kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW.
Yang kedua, kata Rosulullah SAW orang yang akan merasakan manisnya keimanan adalah ketika seorang hamba mencintai manusia hanya karena Allah SWT. seorang suami mencintai istrinya karena Allah, Seorang ayah mencintai anaknya karena Allah, seorang anak mencintai orang tuanya karena Allah.
Ketika cinta karena harta, banyak harta, banyak cinta, hilang harta hila cinta. Ketika cinta karena rupa, punya rupa banyak cinta, pudar rupa pudar pula cinta, cintanya karena kuasa, punya kuasa dia cinta, hilang kuasa hilang cinta. Ketika cinta karena Allah SWT, maka cintanya tidak akan pudar, cintanya tidak akan hilang, cintanya juga tidak akan berkurang. Itu sebabnya ketika keluarga yang saling mencintai karena Allah SWT, Allah kekalkan cinta di antara mereka Allah langgengkan kebersamaan mereka hingga ke surga. Ketika mencintai bukan karena Allah, seringkali cinta itu membutakan mata, tetapi ketika cinta karena Allah SWT, justru cinta akan membukakan mata kita. Meskipun Nabi Muhammad SAW mencintai putrinya Sayyidah Fatimah r.a, tetapi cintanya karena Allah, tidak membuat mata Rosulullah SAW menutup, tertutup kala Fatimah melakukan kesalahan. Hingga Rosulullah SAW dalam kalimatnya yang begitu tegas mengatakan, “Seandainya Fatimah mencuri maka Muhammad SAW yang akan langsung memotong tangannya. Ketika cinta bukan karena Allah SWT, kesalahan yang dilakukan oleh yang dicintai seringkali membuat mata kita tertutup.
Ketika cinta karena Allah SWT, kesalahan itulah yang akan menjadi semangat kita untuk memperbaiki dengan semangat amar makruf nahi mungkar.
Yang ketiga kata Rosulullah SAW orang yang merasakan lezatnya iman adalah orang yang dulu pernah melakukan kemaksiatan yang pernah tercebur dalam lubang kekufuran, dulunya adalah orang-orang yang pernah mengalami hitamnya kezaliman, dulunya adalah orang-orang yang pernah mengalami kemaksiatan, tetapi kemudian dia bertaubat, dia hijrah dia pindah, dia insaf dan dia tidak ingin kembali ke masa lalu. Orang yang berjuang tidak kembali ke masa lalunya yang hitam adalah orang yang akan merasakan manisnya keimanan. Allah SWT mengangkat satu kisa yang begitu luar biasa di Al Qur’an. Kisah tentang penyihirnya firaun, yang setelah bertarung dengan Nabi Musa AS, kemudian mereka bertaubat, mereka beriman pada Allah, mereka beriman kepada Nabi Musa dan sesaat setelah mereka menyatakan mendeklarasikan keimanannya, Firaun mengancam mereka memotong tangan mereka dan memotong kaki mereka bahkan menyalip mereka di depan publik.
Pembaca Budiman yang dirahmati Allah, tentu kita sudah berpuluh-puluh tahun beriman kepada Allah SWT, tetapi kita tidak pernah merasakan apa yang dirasakan oleh tukang sihirnya Firaun sesaat mereka beriman, saat itu mereka mendapatkan ujian, bukan sembarangan ujian bahkan ujiannya adalah ujian kematian. Belum 10 tahun mereka menyatakan keimanan, belum satu tahun mereka menyatakan keislaman, belum satu hari mereka menyatakan keyakinan, baru satu saat mereka mengatakan kami beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun langsung mendapatkan tekanan dan ancaman dari Firaun.
Allah tahu keimanan kita, sehingga Allah memberikan ujian yang sesuai dengan kadar keimanan kita. Bagaimana ketika kita berada di posisi penyihir Firaun saat itu baru saja menyatakan keimanan langsung mendapatkan ujian yang begitu luar biasa. Di sinilah manisnya keimanan bisa membuat para penyihir Firaun bertahan dalam keimanan meskipun ditengah-tengah berbagai macam ujian.
Kata tukang sihir Firaun, Wahai Firaun jika engkau ingin memutus tangan dan kaki kami, lakukan saja, mudah-mudahan dengan itu kami akan mendapatkan ampunan dari Tuhan kami.
Wahai Firaun memang engkau yang mengendalikan dunia hari ini, tetapi nanti di akhirat Allah-lah yang akan mengendalikan segala-galanya. Hanya di dunia ini sajalah engkau bisa mengendalikan. Lakukan apa yang engkau mau wahai Firaun, maka sesaat setelah menyatakan keimanannya tukang sihir Firaun yang sudah insaf, yang sudah hijrah, yang sudah bertaubat dipotong tangannya, dipotong kakinya, disalib di depan masa dan akhirnya mereka meninggal dunia dalam keimanan yang belum satu tahun, belum satu bulan, belum satu minggu, bahkan masih kurang dari satu hari.
Ketika seorang hamba pernah mengalami masa-masa lalu yang kelam, kemudian dia insaf, kemudian dia taubat, dan dia yakin dia percaya, dia berjuang tidak lagi kembali ke masa lalunya, saat itulah dia sedang merasakan manisnya keimanan.
Barakallahu Fiikum