Amal Yang Baik atau Amal yang Banyak?
Oleh: Alfian Tasqi Ridiawan (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng di UMPP)

Amal yang Baik atau Amal yang Banyak?
Oleh: Alfian Tasqi Ridiawan (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng di UMP Pekalongan)
Alkisah, suatu hari seseorang bermimpi bertemu dengan Imam Al-Ghazali yang saat itu sudah wafat. Dalam mimpi itu orang tersebut bertanya perihal nasibnya setelah meninggalkan dunia ini. Imam al-Ghazali kemudian menjawab pertanyaan orang itu dengan sebuah cerita bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya.
Al-Ghazali pun menyebut satu per satu semua prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia. Di luar dugaan, Allah ternyata menolak semua amal ibadahnya. Kecuali satu kebaikannya ketika bertemu dengan seekor lalat, dan karenanya ia mendapat kemuliaan surga.
Pertemuan dengan lalat yang dimaksud dimulai ketika Imam al-Ghazali sedang tengah sibuk menulis kitab. Seekor lalat yang haus ini mengusiknya sejenak lalu hinggap ke wadah tinta. Sang Imam yang merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk memberi kesempatan si lalat melepas dahaga dari tintanya itu. Cerita ini tertulis di antaranya dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani.
Ada pesan yang sangat kuat dalam hikayat Imam Al-Ghazali dan lalat ini. Bahwa ternyata titik tekan dalam ibadah bukanlah pada berapa banyak yang sudah dilakukan melainkan setinggi apa kualitas ibadah yang kita jalankan. Dimana Islam sangat menekankan kualitas dalam setiap hal, baik dalam Hablum Minallah maupun Hablum Minannaas. Ketika kita beribadah kepada Allah, maka sebisa mungkin kita melakukan ibadah yang berkualitas dan ketika bermuamalah dengan sesama manusia, maka sebisa mungkin kita melakukan muamalah yang berkualitas.
Karena Allah swt menuntut hamba-Nya untuk mengerjakan dan memprioritaskan ibadah serta kegiatan yang berkualitas. Sebagaimana firman-Nya,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Dialah (Tuhan) yang menjadikan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia Maha perkasa, lagi Maha Pengampun. (Q.S. al-Mulk: 2).
Berkenaan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menafsirkan kata Ahsanu ‘Amala dengan sebaik-baik amal seseorang. Artinya, amal yang berkualitas lebih diutamakan ketimbang amal yang berkuantitas (banyaknya amalan). Pada zaman Rasulullah, para sahabat sering kali membawa buah kurma yang baru mereka petik untuk dibawah ke masjid supaya dimakan oleh fakir miskin. Pada suatu hari, salah seorang dari mereka membawa buah kurma dengan kualitas yang rendah ke masjid. Pemberian yang tidak berkualitas ini ditegur oleh Allah melalui firman-Nya dalam Surah al-Baqarah ayat 267.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
“Wahai mereka yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan sedangkan kamu sendiri enggan mengambilnya kecuali dengan memejamkan mata terhadapnya, Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS.Al-Baqarah ayat 267)
Jadi, amal yang berkualitas lebih Allah sukai daripada amal yang berkuantitas. Untuk mencapai amal yang berkualitas tentunya tidak lepas dari niat yang ikhlas karena Allah SWT. Dalam Islam, niat menjadi unsur penentu bagi sah tidaknya setiap ibadah yang dikerjakan. Artinya, seluruh kegiatan itu harus dilakukan secara sengaja dan penuh kesadaran dalam hati. Sebagaimana sabda Nabi:
إنَّما الأعْمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّمَا لِكُلّ امرىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللّه وَرَسولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلى اللّه وَرَسولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى دُنْيا يُصِيبُها أَوِ امْرأةٍ يَنْكِحُها فَهِجْرَتُه إلى ما هَاجَرَ إلَيْهِ
“Sesungguhnya sahnya setiap amal perbuatan adalah dengan niat. Setiap orang hanya memperoleh dari apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia berhijrah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Banyak sekali amal perbuatan sehari-hari yang bisa bernilai lebih ketika dimulai dengan niat positif. Sebagai contoh, mengenakan baju. Pekerjaan yang sangat lumrah dan biasa dalam keseharian kita ini akan lebih bermutu bila diniatkan, misalnya, untuk menutup aurat, menjaga kehormatan, melindungi diri dari penyakit, dan lain sejenisnya. Sebaliknya, banyak pula amal ibadah yang rutin kita jalankan menjadi buruk lantaran keliru dalam niat. Misalnya, shalat jamaah sekadar untuk menghindari cemoohan orang sebagai orang yang tidak soleh. Atau zakat untuk menarik simpati orang banyak, dan seterusnya. Oleh karena itu, luruskan niat kita dalam beramal.
Setelah meluruskan niat, hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas amal adalah ikhlas. Ikhlas mengandaikan tidak adanya pamrih apapun dalam sebuah perbuatan. Ikhlas bukan berbuat dengan menghitung keuntungan apa yang akan didapat. Dalam kondisi inilah Allah memerintahkan kita dalam beribadah.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan ketaatan kepada-Nya) dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah: 5)
Ikhlas adalah melakukan sesuatu semata-mata karena Allah SWT tanpa mengharapkan pujian atau balasan dari manusia. Keikhlasan merupakan hal yang tidak mudah diukur, namun ada beberapa tanda yang bisa dikenali pada orang yang berlaku ikhlas.
Pertama, tidak memberi pengaruh apa-apa kepada si pelaku ketika perbuatan tersebut dipuji atau dicaci orang. Amal yang dikerjakan secara ikhas bukan untuk meraih balasan apapun dari manusia, karena itu komentar apa pun dari mereka tidak akan berdampak apa-apa. Kedua, melupakan kebaikan yang telah dilakukan. Tanda ini menempel secara otomatis pada diri si pelaku yang menganggap bahwa mengingat-ingat kebaikan adalah suatu kesalahan dalam hidup di dunia. Mengingat-ingat atau menghafal kebaikan hanya berlaku bagi orang yang berharap sebuah balasan atau imbalan, seperti penagih hutang yang berharap uangnya kembali atau seorang pedagang yang mendambakan keuntungan. Ketiga, kalaupun berharap imbalan, ia berharap balasan yang baik di akhirat bukan di dunia.
Dengan demikian, seorang muslim dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas amal hidupnya sehingga keberadaannya bermakna dan bermanfaat tidak hanya kepada Allah swt, melainkan kepada sesama manusia.