Menikah itu ibadah, itu point utamanya. Maka ojo kesusu, jangan buru-buru, alon-alon, sabar, yg penting niat dan prosesnya nggenah. Karena menikah tak seindah yg dibayangkan, juga tak se-horor yg ditakutkan.
Menikah itu tentang kompromi, emosi, keterpautan hati, ego yang harmoni. Dan tentu dompet yang harus terisi. Ini modal dasar, modal awal bertahan hidup, termasuk hidupnya rumah tangga. Apa wajib kaya? Tidak! tapi harus cukup. Kurang? gak papa asal mampu bertahan.
Persiapan utama menikah bukan materi, tapi mental, jiwa, pikiran, perasaan untuk siap berbagi, berbeda, berselisih, berubah, mengerti dan yang pasti sadar posisi dan tanggung jawab. Maka ilmu berumah tangga itu penting. Cari dulu ilmu ini. Baru menyusul materi (harta). Kedua kenali diri sendiri, kecenderungan, amarah, kemauan, tabiat, kebiasaan serta jurus penangkal jika hal itu sudah sifatnya udah merusak. Lalu sampaikan pd pasangan. “Say kalau aku sedang marah, kamu harus gini ya… Nanti kalau udah reda, baru km begini atau begitu”. Wa bil khuṣūṣ bagi wanita, penting membuka semua tafsir dan takwil dari ekspresinya yg kerap kali susah di mengerti dengan pasti. Kadang satu ekspresi wanita mengandung tiga atau tak terbatas makna. Disini laki-laki harus cerdas dan jeli dalam membaca dan mengamati.
Masalahnya, tak banyak laki-laki peka terhadap pola tingkah, sikap, dan ekspresi wanita. Sehingga kerap kali memantik bara salah paham, yang pada akhirnya susah padam. Maka wanita juga harus berani terbuka, berbicara bagaimana ekspresinya jika tak suka, dan bagaimana jika suka.
Saat menikah, suami kerap kali terjebak dalam dalil ”Istri harus patuh sama suami” dalil ini jika tak dipahami secara bijak, kerap kali membuat laki-laki egois, arogan dan bahkan kasar. Dalil ini harusnya dipegang Istri bukan suami. Suami cukup mengerti dn mengingatkan. Yang harus ada dalam dada suami ”Perlakukan Istrimu dengan sebaik-baik perlakuan, sebaik-baik pemberian, dan sebaik-baiknya tanggung jawab”. Jangan sampai air matanya mengalir karena kau tak bijak dalam menjaganya.
Menikah bukan masalah kecepatan, tapi masalah ketepatan memilih pasangan, kemampuan untuk bertahan, dan kesepakatan untuk saling mengingatkan dan menjaga amanah. Dalam pernikahan, masalah semakin banyak. Itu pasti. Namanya juga hidup. Tapi masalah itulah yang membuat hidup kita menemukan artinya, keringat kerja kita menemukan maknanya, keberadaan kita lebih berharga. Tentunya dengan masalah, kita menemukan jalan-jalan menuju arti bahagia, arti bersama, arti aku dan engkau ada dan berumah tangga.
Pada dasarnya semua masalah keluarga sama; Ekonomi, emosi, ambisi, dan birahi. Tapi setiap orang punya kerangka, pola, dan cara yang berbeda dalam memahami, mencegah, menanggulangi dan menyelesaikan masalah. Maka, samakan pola ini dengan pasangan agar tahu cara menyelesaikan. Jika suami salah, maka istri jangan ikut berbuat salah, pun sebaliknya. Karena salah satu di antara mereka harus tetap berdiri di lingkaran yg benar, agar mampu menarik kembali jika yang lain dalam jalur salah.
Yang paling penting, istri itu amanah dari Allah untuk dijaga diajak menuju DIA. Suami juga amanah dari Allah untuk diikuti, dipatuhi dalam perjalanan menuju DIA. Dalam samudra luas, pengemudi dan penumpang bahtera harus berpegang pada Allah, baik saat tenang atau saat ombak datang.
“Istri Wajib Patuh Sama Suami”, maka tugas suami menjaga agar istrinya mampu memenuhi kewajiban tersebut. Caranya? Jangan semena-mena, jangan asal perintah ini itu. Khawatir perintah suami tersebut membuat istri nelongso, sedih, sebab lelah, capek, sehingga dia membangkang.
Demikian juga istri, harus turut membantu suami menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap keluarga. Makanya istri jangan asal minta ini itu, mau ini itu, tanpa sadar kondisi suami. Cobalah sebelum minta, tanya kondisinya dulu, baru bicara.
Wallāhu A‘lam
#PhiloSufi