
Tiap shalat jum’at yang rutin kita lakukan seminggu sekali, bisa dipastikan semua masjid penuh, jama’ahnya berlipat-lipat dari jumlah jama’ah subuh. Namun, yang lazim kita lihat dan juga rasa (alami) saat khatib naik mimbar dan memulai khutbah, tetiba ngantuk langsung menyerang. Tak jarang dari kita, meski lumayan sumuk, baru lima menit khatib memulai khutbah, kita sudah terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Kenapa? Bisa jadi, faktor khatib. Tidak sedikit jamaah yang merasakan tersiksa saat khutbah. Main HP tidak boleh, setidaknya, tidak nyaman sama jamaah sebelah, bisa juga ditegur karena diminta mendengar khutbah. Tidur juga salah, keluar masjid keliru.
Seringkali, khutbah yang disuguhan diulang-ulang dan terasa amat membosankan. Tema yang disampaikan itu-itu saja. Tidak ada pembahasan menarik lainnya. Belum lagi isi khutbah yang ‘tidak’ ilmiyah; selalu berputar tentang surga-neraka, ancaman-pahala, tak jarang ‘ndongeng’ cerita mengada-ada, kalimat pembuka yang amat panjang dan kurang menarik, dilengkapi intonasi yang datar, menambah syahdu suasana. Padahal setiap pembicara harus mengevaluasi dan mengembangkan skill kemampuan publik speaking dan wawasannya.
Setidaknya, ini adalah refleksi diri yang ditulis dalam tangkapan layar di atas ini. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Setidaknya, saat khutbah tak perlu berlama-lama dengan kata-kata panjang yang sulit ditangkap maknanya.
_Hikmah al-Tasyrī’ wa Falsafatuhu_ ‘Alī Aḥmad al-Jurjāwī al-Azharī, hal. 90