
Saat kita kecil; ’ngejar layangan, mancing ikan, nyemplung rame² di sungai, main kelereng, ’njajan pinggir jalan 500an. Tidak ada gengsi tak ada beban. Bahagia begitu mudah, sangat sederhana. Padahal saat itu kita belum kenal Tuhan, shalat ya baru latihan, ngaji di masjid atau mushola buat rame²an sama teman². Sekarang, saat dewasa, kenapa kita memberi banyak syarat untuk bahagia?; pasangan yg menarik, harta melimpah, pekerjaan mapan, tetangga yang baik, makanan yang mahal, baju bermerek, dan sederet syarat² yang semakin hari makin berlipat². Padahal kita sudah ‘sok kenal Tuhan, shalat kita berjam², tahajud sembari nangis sesenggukan, tiap jum’at rajin ngisi ‘celengan akhirat.
Lalu apa yg salah?
Jangan² kita ini masih kufur belum syukur, segala kebaikan masih berpamrih, ingin dibilang shaleh, baik, hebat. Haji kita sebatas status sosial saja. Jangan² ritual kita belum ‘nyampe istiqāmah, jangan² masih sebatas istidāmah; melakukan berkali² tapi hampa tanpa makna. Kenapa doa² kita begitu memaksaNya, minta ini itu seolah kitalah tuan, Tuhan yang hamba, yg wajib menyediakan setiap ingin kita.
Status kita; Dosen, Guru, Muballigh, Politisi, Petani, Pengusaha, Mahasiswa, dan yg lainnya, jangan² membawa kita pada kekufuran, bukan mendekatkan pada ketaatan. Marilah kita renungkan, melihat wajah lugu anak² kita, ketulusan adik² kecil kita. Mari belajar bahwa bahagia itu murah dan sederhana, kitalah yang membuatnya mewah dan begitu rumitnya.
Iso Rum0ngso, Ojo Rumongso Iso, Bisalah merasa, jangan merasa bisa, karena untuk bahagia saja kita kalah dengan anak² kita, adik² kita.
#PhiloSufi