
Pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir dan batin (Mitsaqan Ghalizha) antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama selama-lamanya. Mitsaqan ghalizhan adalah istilah dalam bahasa Arab yang sering diterjemahkan sebagai “perjanjian yang kokoh” atau “perjanjian yang kuat”. Istilah ini muncul dalam Al-Qur’an dan memiliki makna yang mendalam, terutama dalam konteks pernikahan.
Ayat dimaksud terdapat dalam surat an-Nisa` ayat 21.
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Perjanjian kuat itu, sebagaimana dijelaskan al-Qurthubi dalam tafsirnya, ditafsirkan oleh al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, adh-Dhahhak dan as-Suddi dengan imsak bimakruf au tasrih bi ihsan ( dipertahankan dan diperlakukan dengan baik atau jika dicerai juga baik-baik).
(فَإِمْساكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسانٍ) قاله الحسن وابن سيرين وقتادة والضحاك والسدي. تفسير القرطبي (5/ 103)
Makna Harfiah “Mitsaq” berarti perjanjian atau ikatan, sedangkan “Ghalizhan” berarti tebal, kuat, atau kokoh. Secara harfiah, “Mitsaqan ghalizhan” merujuk pada suatu perjanjian yang sangat kuat dan tidak boleh dilanggar.
Sedang menurut Quraish Shihab, tafsiran kalimat Mitsaqan Ghalidza adalah keyakinan yang dituangkan istri kepada suaminya dan dianggap bahwa perkawinan itu sebagai sebuah amanah. Sebagaimana hadis Nabi yang redaksinya menyatakan: akhadztumuhunna biamanatillah (kalian menerima istri berdasarkan amanah Allah). Karena itu kesediaan seorang istri yang hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan mengganti semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki “asing” yang menjadi suaminya, serta membuka “rahasianya yang paling dalam”, merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya bersama ibu dan bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan yang dituangkan istri kepada suaminya itulah yang dimaksud Al-Qur’an sebagai Mitsaqan Ghalidza (perjanjian yang amat kokoh).
Mitsaqan ghalizhan dalam pernikahan menegaskan bahwa ikatan pernikahan bukan hanya sekadar kontrak sosial atau legal, tetapi juga sebuah komitmen spiritual yang berat. Ini melibatkan tanggung jawab moral dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Pelanggaran terhadap perjanjian ini tidak hanya berdampak pada hubungan pribadi, tetapi juga memiliki konsekuensi di hadapan Allah.
Dengan menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalizhan, Al-Qur’an menekankan betapa serius dan pentingnya ikatan ini. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng atau dilanggar tanpa alasan yang sangat kuat. Ini adalah komitmen yang melibatkan janji kepada Allah dan memiliki dampak besar terhadap kehidupan individu dan komunitas.
Secara keseluruhan, Mitsaqan ghalizhan menegaskan bahwa pernikahan adalah ikatan yang sangat kokoh dan serius, yang memerlukan kesetiaan, komitmen, dan tanggung jawab yang mendalam di antara pasangan, serta di hadapan Allah. Dia tidak layak diputus hanya karena urusan ringan dan tidak prinsip, apalagi tanpa masalah atau kesalahan apa-apa.
Di sisi lain, kita juga sering mendengar sebutan pernikahan sebagai perjanjian agung. Pernikahan sebagai “perjanjian agung” mengandung makna yang sangat mendalam dalam konteks agama dan budaya, khususnya dalam Islam. Istilah ini sering dikaitkan dengan pemahaman bahwa pernikahan bukan hanya ikatan antara dua individu, tetapi juga suatu perjanjian suci di hadapan Allah dan memiliki konsekuensi spiritual serta sosial yang luas, seperti :
- Perjanjian di Hadapan Allah: Dalam Islam, pernikahan dilihat sebagai ibadah dan kontrak yang disahkan oleh syariat. Perjanjian ini melibatkan tanggung jawab moral dan spiritual antara suami dan istri, dengan komitmen untuk menjalankan perintah Allah dalam kehidupan rumah tangga.
- Tanggung Jawab Sosial dan Moral: Pernikahan sebagai perjanjian agung juga berarti bahwa kedua belah pihak berjanji untuk saling menjaga, menghormati, dan melindungi satu sama lain. Mereka berjanji untuk mendidik anak-anak dengan baik, menjaga kehormatan keluarga, dan menjalani kehidupan bersama sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan agama.
- Pentingnya Kesetiaan dan Keadilan: Sebagai sebuah perjanjian agung, pernikahan menuntut kesetiaan dan keadilan dalam hubungan suami istri. Hal ini mencakup saling menghormati hak dan kewajiban, serta menjaga hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang.
- Keterikatan dengan Komunitas dan Umat: Pernikahan tidak hanya berdampak pada pasangan yang menikah, tetapi juga pada komunitas dan umat secara keseluruhan. Sebagai perjanjian agung, pernikahan mencerminkan kontribusi pasangan dalam membangun masyarakat yang lebih baik, dengan membentuk keluarga yang kuat dan berlandaskan nilai-nilai agama.
Dengan demikian, pernikahan sebagai perjanjian agung bukan hanya sekadar ikatan legal antara dua individu, tetapi merupakan komitmen mendalam yang mencakup aspek spiritual, moral, sosial, dan komunitas.
Maka dari itu sudah semestinya pasangan suami istri berkomitmen kuat untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga, tidak gampang bercerai atau mengucapkan talak atau menggugat cerai hanya perkara remeh temeh. Jaga dan pertahankan sekuat mungkin keutuhan dan keharmonisan rumah tangga dengan mencari solusi bersama.
Sungguhpun demikian, pintu cerai bukan ditutup rapat dalam syariat Islam. Jika memang terdapat alasan yang kuat untuk itu tetap saja pintu itu dibuka, atau jika dirasa melangsungkan perkawinan lebih besar mudaratnya, maka jalan cerai bisa ditempuh.
Daftar Bacaan
- Saeful Amri, “Mitsaqan Ghalidza Di Era Disrupsi (Studi Perceraian Sebab Media Sosial),” Ulul Albab: Jurnal Studi Dan Penelitian Hukum Islam 3, no. 1 (2020): 89–106.
- Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hlm. 287.