Kunci Sukses Menjalani Hidup
Oleh : Deni Prasetyo, S.Ag. (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng Angkatan I)
Dikisahkan dahulu kala, hidup seorang petani miskin di sebuah desa di pelosok negeri. Ia dikenal sebagai petani yang bersahaja. Tidak banyak harta yang ia miliki. Satu-satunya harta yang paling berharga miliknya hanyalah seekor kuda. Kudanya ini berwarna putih, posturnya tinggi besar, gagah dan elok dipandang mata. Keelokannya sudah terkenal seantero negeri sehingga banyak orang yang jatuh hati ingin memilikinya.
Suatu hari datanglah seorang saudagar kaya raya menemui Pak Tani dengan maksud ingin membeli kudanya itu dengan harga yang sangat tinggi, berkali-kali lipat dari harga kuda pada umumnya. Namun sayang, Pak Tani enggan menjualnya karena sudah terlalu sayang kepada kudanya yang telah lama dirawatnya itu. Tetangga dan teman-temannya menyayangkan hingga mengejeknya karena ia tidak mau menjual kudanya.
Keesokkan harinya, kuda itu menghilang dari kandangnya. Lalu tetangga dan teman-temannya yang mengetahui hal itu mengejek pak Tani dengan berkata: “Bodoh kamu! Kenapa kemarin tidak kamu jual kudamu itu, padahal kalau kamu jual, sekarang kamu sudah kaya raya. Sekarang lihat kudamu sudah tiada.” Pak Tani pun hanya terdiam seribu bahasa.
Beberapa hari kemudian si kuda ternyata kembali dengan membawa lima ekor kawanan kuda ke dalam kandangnya. Tetangga dan teman-temannya berkata: ” Wah beruntung sekali ya nasibmu! ternyata hilangnya kudamu kemarin membawa keberuntungan, sekarang kamu punya enam ekor kuda.” Pak Tani hanya tersenyum tanpa berkata-kata.
Beberapa hari kemudian, ketika anak Pak Tani sedang melatih kuda-kuda barunya itu, ia terjatuh dan kakinya patah. Kemudian tetangga dan teman-temannya lagi-lagi mengejeknya sembari berkata: ” Waduh! Malang sekali nasibmu! Ternyata kuda-kudamu itu membawa sial. Lihat sekarang anakmu tidak bisa berjalan. “Pak Tani pun masih tetap terdiam tanpa berkata-kata.
Sepekan kemudian, di negeri itu terjadi peperangan hebat. Sang Raja memaksa seluruh pemuda di desa itu untuk ikut berperang melawan musuh. Kecuali si anak petani tadi karena tidak bisa berjalan. Mengetahui hal ini tetangga dan teman-temannya mendatanginya sambil menangis dan berkata: ” beruntung sekali nasibmu! karena anakmu tidak ikut berperang, sementara kami harus kehilangan anak-anak kami tercinta.”
Pak Tani akhirnya berkata: ” Jangan mudah menyimpulkan suatu kejadian dengan mengatakan ini nasib baik, ini nasib buruk, ini beruntung, ini celaka. Karena setiap peristiwa yang kita alami adalah rangkaian proses yang belum selesai. Suatu yang baik menurut kita hari ini belum tentu baik pula untuk hari esok dan suatu yang buruk menurut kita hari ini juga belum tentu buruk untuk hari esok. Terima dan syukuri setiap takdir yang kita jalani. Kita tidak pernah tahu mana yang sebenarnya baik dan mana yang sebenarnya buruk bagi kita. Tapi yang jelas Allah sangat tahu yang terbaik bagi kita.
Pembaca yang budiman, ada 5 nasihat berharga yang bisa kita ambil dari kisah Pak Tani dan kudanya ini, yaitu:
- Pentingnya sikap menerima takdir
Salah satu dari rukun iman adalah mengimani adanya takdir. Seorang mukmin yakin betul bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya, baik ataupun buruk merupakan ketentuan dan kehendak Allah Subhanu wa Ta’ala. Pada hakikatnya kita tidak tahu apakah sesuatu yang terjadi padanya itu baik bagi kita atau justru sebaliknya. Karena bisa jadi suatu yang tidak kita sukai atau benci itulah yang baik bagi kita, dan sebaliknya sesuatu yang kita sukai atau cintai bisa jadi sebenarnya tidak baik bagi kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS.Al Baqarah (2): 216)
Kemudian dalam Hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ
“Seorang hamba tidak dikatakan beriman sampai beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Dan, hingga dia mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpanya, maka tidak akan pernah meleset, dan apa yang tidak ditakdirkan menimpanya, maka tidak pernah akan menimpa (Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Disamping itu, semua peristiwa yang kita alami di dunia ini baik berupa kesenangan maupun kesusahan pada hakikatnya merupakan ujian. Apakah kita lulus atau gagal. Jika kita ridha terhadap apapun takdir yang Allah berikan, maka berarti kita lulus dan berhasil. Dan sebaliknya jika kita tidak ridha (seperti mengeluh dan mencelanya) maka berarti kita tidak lulus dan gagal. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إن عظم الجزاء مع عظم البلاء وأن الله إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضى ومن سخط فله السخط
“Besarnya ganjaran (pahala) tergantung pada besarnya ujian. Dan Allah jika mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridho (menerima ujian) maka baginya ridha. Siapa yang marah, tidak terima (takdir Allah), maka baginya kemarahan (Allah).” (HR. At Tirmidzi)
Ayat dan hadis ini harus dipegang teguh, selalu diingat serta dijadikan prinsip oleh setiap mukmin. Karena dengan prinsip inilah akan tumbuh sikap menerima takdir.
- 2. Pentingnya syukur dan sabar dalam menjalani hidup
Syukur dan sabar adalah tanda seseorang menerima takdir. Karena orang yang pandai bersyukur dan bersabar tidak akan mungkin mengeluh apalagi mencelanya. Selain itu, syukur dan sabar merupakan modal utama menjalani kehidupan. Seorang mukmin hendaknya membiasakan diri untuk memiliki dua sifat utama ini. Karena setiap peristiwa yang kita alami baik atau buruk semua bernilai kebaikan jika dihadapi dengan syukur dan sabar. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam:
عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.
“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
- Pentingnya selalu husnudhan kepada Allah
Semua peristiwa yang kita alami dalam hidup ini adalah ketepatan Allah yang Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana. Allah tidak mungkin menakdirkan sesuatu kepada hamba-Nya selain kebaikan. Apa yang Allah tetapkan kepada hamba-Nya itulah yang terbaik bagi mereka. Allah Mengetahui, sedangkan kita idak mengetahui. Oleh karena itu, kita wajib berbaik sangka kepada Allah terhadap takdir yang kita jalani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Hadits Qudsi :
أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي
“Sesungguhnya Aku berdasarkan pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Al Bukhari)
Inilah pentingnya selalu husnudhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala keadaan. Dengan senantiasa husnudhan kepada Allah maka akan timbul sikap optimis, semangat berikhtiar, dan juga sikap tawakkal. Dengan demikian, berbaik sangka kepada Allah akan mendatangkan kebaikan-kebaikan, dan berburuk sangka kepada Allah, akan mendatangkan keburukan-keburukan.
- Jangan sibuk mengomentari orang lain tapi sibuklah introspeksi diri
Peribahasa mengatakan: “Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak.” Peribahasa ini menggambarkan betapa manusia sangat mudah dan pandai menilai, mengomentari atau mengoreksi kesalahan-kesalahan orang lain. Sementara kesalahan-kesalahan dirinya sendiri yang bahkan lebih besar sangat sulit ia temukan atau akui.
Maka, dalam hal ini Rasullullah Salallahu Alaihi wa Salam menasihati umatnya agar lebih sibuk introspeksi diri daripada menilai orang lain. Beliau Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda:
وَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ
“Hendaknya engkau sibuk dengan urusan privasimu.” (HR. Ath-Thabrani)
Orang yang sibuk mengomentari urusan orang lain sebenarnya ia telah kehilangan suatu yang berharga dari dirinya yaitu kesempatan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini sebagaimana nasihat yang disampaikan oleh para ulama:
مَنِ اشْتَغَلَ بِمَا لا يَعْنِيهِ فَاتَهُ مَا يَعْنِيهِ
“Barangsiapa yang sibuk dengan perkara yang tidak bermanfaat bagi dia maka banyak perkara yang bermanfaat yang luput dari dia.”
Oleh karena itu, daripada sibuk menilai, mengoreksi, dan mengomentari urusan orang lain, alangkah baiknya kita sibuk menilai dan mengevaluasi diri sendiri sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
5 Jangan terlalu risau dengan komentar negatif orang lain tentang hidup kita
Di dunia ini, tidak ada satupun manusia yang selamat dari komentar, penilaian, hinaan dan cacian orang lain. Bahkan manusia paling mulia -Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wa salam saja dibully oleh orang-orang kafir. Mereka menghina Rasulullah dengan menyebut beliau sebagai penyair, tukang sihir, bahkan orang gila. Padahal Rasulullah dikenal oleh mereka sendiri sebagai Al Amin (orang yang terpercaya). Al Qur’an mengabadikan bully-an orang-orang kafir kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam dalam banyak ayat. Salah satunya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَ قَا لُوْا يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْ نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ اِنَّكَ لَمَجْنُوْنٌ
“Dan mereka berkata, “Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur’an, sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar orang gila.” (QS. Al-Hijr 15: Ayat 6)
Kalau Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam saja dihina, lantas siapakah kita? Tidaklah mungkin kita terbebas dari komentar, hinaan dan cacian orang lain. Karena sebaik dan sehebat apapun kita tetap saja pasti ada yang tidak suka. Adalah hal mustahil bagi kita mencapai ridho semua manusia. Maka, tidak perlu kita mencari ridho manusia cukuplah ridha Allah yang kita cari. Janganlah terlalu risau dengan omongan atau penilaian orang tentang hidup kita. Orang bijak mengatakan: “Apabila kamu mendengar omongan orang-orang yang menjelek-jelekkan kamu, tidak perlu kau tutup mulut mereka. Tapi cukuplah tutup telingamu saja.”
Oleh karena itu, ahibati fillah, kunci sukses menjalani hidup ini adalah terima dengan sabar dan syukuri semua yang Allah takdirkan tanpa harus risau dengan omongan orang-orang tentang kita. Selalu instrospeksi diri dan lakukan yang terbaik yang kita bisa untuk mencari Ridha Allah tanpa mengharap ridho semua manusia.
Wallahu a’lam bisshowab