Pembaca yang budiman, sebuah doa atau permintaan akan lebih mudah terkabul jika bisa menghimpun enam hal ini dalam satu doa. Apa saja enam hal itu ?
Pertama, kondisi batin yang berdoa. Orang yang berdoa hendaknya ikhlas karena Allah semata, meresapi dan menghayati doa-doanya, yakin dan mantab akan dikabulkan, jauh dari maksiat dan dosa-dosa, tidak suka memakan makanan dan minuman yang haram, dekat dengan Allah karena banyak beramal saleh.
Kedua, kondisi saat berdoa. Orang yang berdoa itu dalam keadaan sedang safar atau menjadi musafir, atau ia sedang terzhalimi, atau sedang kepepet, atau saat ia menjadi pemimpin yang adil.
Ketiga, posisi saat berdoa, misalnya ketika sujud dalam salat, ketika berbuka puasa, ketika menghadapi musuh saat jihad fi sabilillah.
Keempat, waktu saat berdoa. Sebagaimana telah diterangkan di bab lain, waktu-waktu mustajab untuk berdoa cukup banyak, maka usahakan berdoa di waktu-waktu tersebut, seperti di sepertiga akhir malam, pada malam lailatul qadar, saat turun hujan, dan lain-lain.
Kelima, tempat mustajab. Tempat-tempat tertentu terdapat keterangan sebagai tempat yang makbul untuk berdoa maka manfaatkan tempat-tempat tersebut seperti saat di Multazam, di belakang maqam Ibrahim, di depan Ka’bah dan lain-lain.
Keenam, berdoa dengan doa ma’tsur baik yang diambil dari Al-Qur`an maupun hadis-hadis sahih dari Rasulullah SAW, walau doa yang lain juga boleh dipraktekkan asal sejalan dengan syariat.
Jika ketika berdoa, kita bisa menghimpun dan memenuhi syarat-syarat dan adab-adab berdoa, Insya Allah cepat atau lambat doa kita akan terkabul.
Ada baiknya juga pembaca merenungkan penjelasan dari salah seorang ulama terkemuka Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya al-Jawab al-Kafi di bawah ini :
فَصْلٌ: أَوْقَاتُ الْإِجَابَةِ
وَإِذَا جَمَعَ مَعَ الدُّعَاءِ حُضُورَ الْقَلْبِ وَجَمْعِيَّتَهُ بِكُلِّيَّتِهِ عَلَى الْمَطْلُوبِ ، وَصَادَفَ وَقْتًا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ السِّتَّةِ ، وَهِيَ :
الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ ، وَعِنْدَ الْأَذَانِ ، وَبَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ ، وَأَدْبَارُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ ، وَعِنْدَ صُعُودِ الْإِمَامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى تُقْضَى الصَّلَاةُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ ، وَآخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ .
وَصَادَفَ خُشُوعًا فِي الْقَلْبِ ، وَانْكِسَارًا بَيْنَ يَدَيِ الرَّبِّ ، وَذُلًّا لَهُ ، وَتَضَرُّعًا ، وَرِقَّةً .
وَاسْتَقْبَلَ الدَّاعِي الْقِبْلَةَ .
وَكَانَ عَلَى طَهَارَةٍ .
وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى اللَّهِ .
وَبَدَأَ بِحَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ .
ثُمَّ ثَنَّى بِالصَّلَاةِ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – .
ثُمَّ قَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ حَاجَتِهِ التَّوْبَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ .
ثُمَّ دَخَلَ عَلَى اللَّهِ ، وَأَلَحَّ عَلَيْهِ فِي الْمَسْأَلَةِ ، وَتَمَلَّقَهُ وَدَعَاهُ رَغْبَةً وَرَهْبَةً .
وَتَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَتَوْحِيدِهِ .
وَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ دُعَائِهِ صَدَقَةً ، فَإِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ لَا يَكَادُ يُرَدُّ أَبَدًا ، وَلَا سِيَّمَا إِنْ صَادَفَ الْأَدْعِيَةَ الَّتِي أَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا مَظَنَّةُ الْإِجَابَةِ ، أَوْ أَنَّهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِلِاسْمِ الْأَعْظَمِ . الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي مشكل (ص: 0)
Ibn al-Qayyim –rahimahullah– menjelaskan dalam al-Jawab al-Kafi pada fasal waktu-waktu yang mustajab sebagai berikut :
“Jika bersama doa berkumpul kehadiran hati, juga keterkumpulannya secara tepat dengan hal yang diinginkannya, lantas bertepatan pula dengan waktu di antara waktu-waktu mustajab yang enam, yaitu (1) sepertiga malam terakhir, (2) pada saat azan, (3) di antara azan dan iqamat, (4) pada penghujung shalat-shalat wajib, (5) ketika imam naik mimbar di hari Jumat hingga selesai shalat, (6) dan akhir waktu selepas asar pada hari Jumat, lantas juga bertepatan dengan kehadiran hati yang khusyuk dan tak berdaya di hadapan Rabb-nya seraya merendahkan diri, tunduk, dan santun kepada-Nya. Dan orang yang berdoa itu menghadap ke arah kiblat, dan di berada dalam keadaan suci seraya mengangkat kedua tangannya kepada Allah ta’ala. Dia memulai dengan memuji dan menyanjung Allah kemudian bershalawat kepada Muhammad, hamba dan rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengemukakan taubat terlebih dahulu sebelum mengutarakan kebutuhannya kepada Allah, juga beristighfar, dan dia meyampaikan permintaannya kepada Allah, merengek dan menghinakan diri seraya berharap dan takut kepada-Nya. Dia juga bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama, sifat-sifat, dan keesaan-Nya. Dia juga terlebih dahulu bersedekah sebelum berdoa, maka doa seperti ini nyaris takkan ditolak selamanya. Apalagi jika bertepatan dengan menghaturkan bacaan-bacaan yang dikabarkan oleh Nabi bahwasanya hal tersebut makbul atau mengandung nama Allah yang agung.”