FiqhTuntunan

Bijak Menyikapi Masalah Khilafiyyah Fikih

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah)

Pengertian Khilafiyyah

Khilaf dan ikhtilaf secara harfiyah (literally) berarti perbedaan, perselisihan, dan pertentangan. Khilafiyah berarti masalah-masalah fikih yang diperselisihkan, dipertentangkan, diperdebatkan status hukumnya di kalangan ulama atau fuqaha` akibat dari pemahaman dan penafsiran mereka terhadap nash yang masih zhanni dilalahnya maupun hasil ijtihad dalam masalah-masalah yang belum ditunjuki nash secara langsung.

Jadi khilafiyyah terjadi pada wilayah-wilayah zhanni, baik zhhani dilalah maupun zhanni wurud yang memungkinkan terjadi perbedaan interpretasi, pemahaman dan pendapat antara satu ulama dengan yang lain. Masing-masing dapat menunjukkan sandaran hujjahnya secara cukup meyakinkan.

 Khilafiyyah sebuah keniscayaan

 Di dunia fikih terdapat sebuah ungkapan, barang siapa yang tidak mengenal khilaf maka hakikatnya ia belum mengerti fikih. Ini adalah sebuah ungkapan yang tidak berlebihan dan cukup realistis. Jangankan antar mazhab, sering terjadi dalam satu mazhab terdapat dua atau lebih pendapat ulama tentang hukum suatu permasalahan. Sehingga di belakangnya ada ulama yang merasa terpanggil untuk menentukan mana yang lebih kuat diantara pendapat-pendapat itu. Kelompok ulama ini lazim disebut sebagai mujtahid tarjih.

Dalam mazhab Hanafi misalnya terdapat pendapat Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani. Ketiganya tak jarang terlibat dalam perbedaan pendapat dalam satu masalah. Demikian pula yang terdapat dalam mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Sering dalam satu masalah dijumpai beberapa pendapat yang berbeda-beda, ada qaul yang dianggap masyhur dan syadz.

Melihat fakta seperti itu, kiranya bisa ditegaskan bahwa perbedaan pendapat pada umumnya, dan perbedaan dalam urusan fikih pada khususnya merupakan sebuah keniscayaan yang tidak perlu dan mustahil untuk dihilangkan. Perbedaan telah ada, saat ini juga ada dan kedepan pun tentunya juga akan selalu ada. Maka pemikiran ataupun seruan maupun usaha untuk menyatukan umat Islam dalam arti satu pemahaman dan penafsiran dalam hukum agama adalah seruan yang kurang realistis walau secara normatif patut didukung.

Dewasa ini sekelompok orang yang oleh Syekh Yusuf al-Qardhawi disindir dengan sebutan neo Zhahiri menyerukan atau mendakwakan diri bahwa mereka sanggup menyatukan umat dalam satu pemahaman/pendapat  asal kembali   mengamalkan al-Qur`an dan as-Sunnah yang tentu saja dipahami dan ditafsiri menurut kelompok mereka. Mereka menolak dan bahkan menyerang keberadaan imam-imam mazhab dan para pengikutnya serta kelompok lain yang tidak seide. Mereka mengecam taqlid (imitation) yang dilakukan oleh orang lain, ironisnya  dalam waktu yang bersamaan mereka juga melakukan taqlid pada ulama/ustadz yang diikutinya. Mereka mengajak meninggalkan mazhab empat namun tanpa mereka sadari bahwa pada dasarnya mereka mengajak untuk mengikuti ‘mazhab kelima’ yang diciptakan kelompoknya. Mereka juga melarang fanatik pada golongan-golongan yang ada, namun dalam waktu bersamaan mereka juga fanatik dengan ustadz dan kelompoknya, bahkan melarang pengikut atau jamaahnya mengaji pada ustadz lain yang berbeda manhaj sembari dilabeli ustadz syubhat.

Khilafiyah Tak semestinya berujung perpecahan

Mengingat perbedaan sebagaimana disinggung di atas sebagai sebuah keniscayaan dan sekaligus menjadi rahmat, maka tak semestinya perbedaan itu mengantarkan kepada perselisihan dan pertengkaran maupun permusuhan yang tercela dan terlarang.

Untuk itu sikap-sikap maupun pendirian berikut mesti diwaspadai karena hanya akan memperkeruh dan memperuncing perbedaan yang pada ujungnya dapat menyeret kepada permusuhan antar umat Islam yang berbeda pendapat :

  1. Sikap dan anggapan merasa paling benar sendiri. Sikap ini akan mendorong orang untuk menyalahkan atau terkadang menyesatkan kelompok lain yang tidak sama pemahaman dengan kelompoknya. Jika hanya merasa benar saja itu masih bisa dipahami, namun merasa paling benar mestinya perlu dihindari. Ulama salaf sering berkomentar dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan menyatakan, “ Pendapat mazhab kami benar namun mengandung kemungkinan salah, pendapat di luar mazhab kami salah namun masih mengandung kemungkinan benar”. Jadi mereka terbiasa tidak memonopoli kebenaran dalam hal  ini bagi kelompoknya saja, namun ‘membagikannya’ juga pada kelompok lain.
  2. Tidak mau berdialog (tabayyun) atau klarifikasi jika ada perbedaan pendapat dengan kelompok lain. Dialog, musyawarah, diskusi, klarifikasi merupakan cara-cara yang bijak yang dianjurkan agama guna melakukan tabayun atau klarifikasi serta menciptakan mutual understanding. Sebaliknya tanpa dialog orang mudah su`udhan, memberikan label-label negatif, mengembangkan sikap curiga dan penghakiman sepihak. Tentu hal ini akan meperuncing dan memperkeruh keadaan. Betapa banyaknya perbedaan pendapat namun setelah keduanya bertemu dan dijelaskan duduk satu meja ternyata hanya sebuah kesalahpahaman, atau hanya berbeda pada hal-hal yang tidak substansial dan sebagainya.
  3. Mencukupkan diri dengan satu aliran, ustadz, kitab, mazhab serta tidak mau mengakaji aliran maupun kitab karangan di luar mazhab yang dianutnya. Akibatnya ia sering sempit dan picik pikiran ( narrow minded view) dalam menilai kelompok lain, padahal kelompok lain itu yang berdiri di atas kebenaran atau sekurang-kurangnya sama-sama dapat dibenarkan.

Khilafiyyah adalah Rahmat

Agar perbedaan yang ada menjadi rahmat, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dikembangkan terutama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perbedaan itu yakni sikap-sikap sebagai berikut :

  1. Menghindari truth claim ( klaim bahwa kebenaran hanya ada pada kelompoknya sendiri ) sepihak. Merasa paling benar sendiri seharusnya dihindari dalam soal-soal khilafiyah, paling tinggi cukup kita merasa benar, tidak perlu sampai merasa paling benar.
  2. Memahami hakikat perbedaan atau khilafiyyah dengan baik serta mencontoh adab dan etika yang dicontohkan oleh para imam dalam menghadapi perbedaan pendapat itu. Juga perlu mempelajari sejarah kemunculan mazhab-mazhab, situasi historis dan setting social yang melingkupi mazhab atau munculnya sebuah pemikiran. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, orang akan lebih arif dan bijak dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat itu.
  3. Membiasakan mempelajari suatu masalah dari berbagai aliran atau mazhab maupun sudut pandang yang dipakai. Juga mempelajari bagaimana kerangka berpikir dan model pendekatan yang mereka gunakan mengapa mereka sampai pada pendirian seperti itu. Model kajian fikih secara perbandingan tentu memiliki kontribusi yang besar untuk ini.
  4. Bersikap terbuka dan toleran serta tidak fanatik dan ekslusif. Siap dialog dan diskusi serta tidak menutup diri. Biasanya aliran atau kelompok yang dicap ‘sesat’ salah satu cirinya adalah bersikap ekslusif dalam arti menutup diri dan tidak terbuka ke dunia luar, fanatik, tidak toleran dan mudah menyalahkan/menyesatkan/mengkafirkan kelompok lain.
  5. Mengambil manhaj wasathan atau pertengahan. Ciri umat yang selamat adalah yang biasa bersikap pertengahan, moderat dan tidak ekstrim atau berlebih-lebihan atau dalam bahasa agama disebut Tidak liberal atau terlalu bebas mengumbar akal namun juga tidak rigid dan kaku dalam memahami nash. Imam Ali diriwayatkan pernah berkata, “Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah”. Juga beliau diriwayatkan pernah berpesan, “ Tetaplah kalian berada di golongan tengah-tengah, di mana kelompok yang di depan akan mundur dan yang tertinggal akan menyusul”.

Nikmati perbedaan fikih dengan bijak dan lapang, tidak perlu disesali dan dijadikan ajang perdebatan berlarut-larut yang tidak produktif. Karakter fikih adalah beragam dan tidak akan pernah bisa seragam. Yang seragam dan satu adalah syariat Islam, sedang fikih atau pemahaman akan nash selalu beragam sampai kiamat kelak. Wallahu a’lam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button