Salah satu kaidah brilian yang dibangun para juris muslim adalah, hukum bisa berubah karena adanya perbedaan waktu, tempat, kondisi, niat dan adat istiadat.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah membuat satu fasal dalam kitabnya yang terkenal I’lam al-Muqi’in sebagai berikut :
فصل في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد (إعلام الموقعين (3/ 3)
Fasal mengenai perubahan dan pergeseran fatwa mengingat adanya perubahan zaman, tempat, kondisi, niat dan adat istiadat.
Dalam redaksi yang sedikit berbeda dari di atas dinyatakan dengan ungkapan:
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الزمان” والمكان والأعراف والأحوال. )الوجيز في أصول الفقه الإسلامي (2/ 10)
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat, ‘urf dan keadaan.
Salah satu faktor yang diperhatikan dalam penetapan hukum dalam fikih adalah memperhatikan ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Makanya dalam kitab-kitab ushul fiqh pembahasan ‘urf menjadi pembahasan tersendiri yang diurai cukup luas dan dalam.
Dalam muamalah, penggunaan ‘urf kiranya relatif sudah diterima dan banyak diamalkan. Memperhatikan ‘urf dengan bahasa lain fikih itu perlu memperhatikan faktor ‘kedisinian’. Memperhatikan kondisi (ahwal) bisa dibahasakan lain sebagai memperhatikan fakor ‘kekinian’. Jika muamalah tidak atau kurang memperhatikan kekinian dan kedisinian maka bisa dipastikan akan menghasilkan fikih yang kaku, wagu[1], aneh, dan bisa jadi malah dijauhi manusia.
Berkenalan dengan ‘Urf
Secara etimologi kata ‘Urf berarti “Sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan. Istilah ‘Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adad istiadat).[2]
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;
- Al-‘urf al-Shahih. Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
- Al-‘urf al-fasid.Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-‘urf ash-shahih, maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.[3]
Fatwa yang dihasilkan majelis tarjih tentu saja memperhatikan aspek kekinian dan sekaligus kedisinian terutama di bidang muamalah. Karena memperhatikan faktor ini maka fatwa tarjih cenderung lebih luwes dan mudah diterima tanpa menimbulkan keanehan, kekagetan atau kegemparan di tengah-tengah masyarakat.
Fatwa yang memperhatikan faktor kekinian misalnya mengesahkan akad nikah via telepon/video call karena memperhatikan perkembangan teknologi dan semakin luasnya penggunaan teknologi tersebut di tengah masyarakat. Bolehnya wanita menjadi pemimpin mengingat wanita sekarang sudah terdidik dan terpelajar sama seperti kaum laki-laki. Membolehkan jual beli pupuk kandang untuk pertanian karena hajat masyarakat untuk menggunakan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman dan lain-lain.
Sedang fatwa majelis tarjih yang memperhatikan aspek kedisinian misalnya boleh membayar zakat fitri dengan beras atau uang mengingat masyarakat di sini lebih membutuhkan beras daripada kurma. Dibolehkan pakai uang karena orang miskin sekarang lebih butuh pegang uang dibanding beras. Boleh menyelenggarakan halal bihalal sebagai tradisi yang baik, tidak masalah dengan mencantumkan nama suami di belakang istri. Boleh menyemir rambut dengan warna hitam karena umumnya di sini warna rambut adalah hitam asal tidak digunakan untuk maksud jahat semisal menipu dan lain-lain.[4]
Dalam kebiasaan sehari-hari pun Muhammadiyah berpegang pada aspek kedisinian. Cara berpakaian lebih sering pakai batik yang produk asli lokal. Cara berkomunikasi pakai bahasa setempat. Lebih terbiasa dengan bahasa bapak/ayah dari abi, lebih familiar dengan sebutan ibu, emak, simbok dari pada umi dan lain-lain.
Kelebihan dari prinsip ini adalah, fatwa-fatwa yang dikeluarkan relatif tidak menimbulkan kekagetan dan kegaduhan di masyarakat, serta akan lebih mudah diterima masyarakat. Selain itu tentunya lebih maslahat dan menjauhkan dari kesempitan (‘adam al-haraj) di tengah-tengah masyarakat.
Dalam memandang musik dan nyanyian di zaman kini misalnya, tidak semua musik dan nyanyian berisi keburukan dan maksiat. Sebagian musik dan nyanyian bisa dimanfaatkan untuk media dakwah, pengajaran, pendidikan dan hiburan sekedarnya. Musik dan nyanyian juga bisa membangkitkan semangat juang dan memupuk jiwa patriotisme. Maka dengan memperhatikan faktor kekinian dan kedisinian, maka tarjih Muhammadiyah memilah hukum musik menjadi berbeda, dalam kondisi tertentu bisa mubah dan dalam kondisi lain bisa terlarang. Fatwa ini tentu lebih bijak dan pas diterapkan di tengah masyarakat apalagi masyarakat yang majemuk. Wallahu a’lam.
Berbeda dengan kelompok yang kurang memperdulikan kekinian, bahkan ia fokus ke kemasalaluan. Muamalah sekarang ditarik atau dijawab dengan perpekstif masa lalu, maka yang terjadi fatwanya janggal dan wagu bahkan terkadang sulit dijalankan. Fatwa supaya wanita kalau bepergian wajib didampingi mahram jika diterapkan sekarang tentu akan menyulitkan, apalagi bepergian yang hanya sebentar dan tidak jauh. Atau fatwa yang Arab sentris alias tidak memperhatikan kedisinian. Ada khatib yang dalam khutbahnya mengecam demonstrasi dengan mengatakan pelakunya bughah dan ‘halal darahnya’, padahal di Indonesia demonstrasi itu legal dan dilindungi UU, tentunya dilakukan dengan tertib dan tidak anarkis.
[1] Wagu dalam bahasa Jawa berarti aneh/janggal/musykil.
[2] Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, (Dimasyq : Dar al-Fikr, 1986), hlm. 828.
[3] Ibid., hlm. 830.
[4] Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama 4, ( Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003), hlm. 246-250.