Seni dan Keindahan: Dasar dan Wujudnya dalam Islam*
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani (Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jateng)
*Seni dan Keindahan: Dasar dan Wujudnya dalam Islam*
Musik danan sastra adalah bagian dari seni. Seni adalah ungkapan keindahan dalam berbagai obyek. Musik adalah seni yang terkait dengan bunyi, puisi seni dari teks, tari adalah seni gerak, dan lukisan adalah seni gambar. Meski kesenian adalah wujud dari keindahan, tetapi tidak semua keindahan adalah seni. Keindahan alam tidak masuk kategori seni karena seni adalah perwujudan dari keindahan hasil cipta rasa dan karsa manusia.
Ada dua pendapat mengenai dari mana keindahan itu datang. Ada yang berpendapat, seperti Immanuel Kantor, bahwa keindahan dalam seni itu datang dari pikiran dan hati yang mentransendensikan keindahan dari benda atau sesuatu. Kata kunci keindahan adalah pikiran, hati, dan kebenaran yang ada pada diri manusia, sebagai subyek penikmat seni.
Namun, Henry G. Hartman, dalam _Aesthetics: A Critical Theory of Art_ berpendapat bahwa keindahan itu tidak bisa dilepaskan dari obyek, bukan semata subyek. Masing-masing obyek memiliki ungkapan keindahan berbeda sehingga keindahan dalam musik tidak dapat dipersamakan dengan keindahan puisi, demikulian pula keindahan lukisan tidak dapat dipersamakan dengan keindahan tarian.
Namun ada kriteria umum yang melandasi keindahan seni yaitu, harmoni, proporsi, simetris, kesatuan, kesempurnaan, makna dan kebenaran. Seni musik yang indah memiliki harmoni suara, sekitar puisi punya harmoni kata, seni lukis mengandung harmoni warna. The Liang Gie, sebagaimana dikutip Nyoman Kutha Ratna dalam _Estetika, Sastra, dan Budaya_ mengemukakan ciri estetika, yaitu kesatuan, keharmonisan, kediketrisan, keseimbangan, dan pertentangan. Jadi, semua seni mengandung harmoni, meski dengan bentuk berbeda-beda.
Kemampuan untuk menciptakan seni dan sekaligus kebutuhan akan seni sudah setua usia manusia sendiri. Manusia yang hidup di goa-goa mengembangkan seni lukis dan tari, yang semua itu mulanya tidak murni utk keindahan. Gagasan seni untuk seni itu gerakan modern karena pada awalnya seni lahir dari kebutuhan manusia untuk menghadapi tantangan alam. Seni tidak lepas dari cara manusia memberi makna pada hidupnya sehingga seni pra modern dicirikan dengan seni mengikuti makna. Sementara itu, seni modern mengikuti bentuk dan seni postmodern mengikuti permainan penanda-petanda.
Karena seni itu melayani makna, maka kesenian zaman dahulu selalu bermuatan religi. Lukisan di goa-goa oleh manusia purba adalah cara mereka untuk merefleksi diri untuk mencari kekuatan ketika harus berburu. Demikian pula tari-tarian. L.M Navolle dalam Novelnya _Kuda Zaman Remang_ memberikan gambaran bagaimana manusia purba di goa-goa itu melukis dan memaknau-lukisannya.
Karena itu, Alija Ali Izetbegovic, mantan Ketua Kepresidenan Bosnia dan Herzegovina, dalam _Uslam, Between East and West_ mengatakan bahwa seni masa lalu bernilai reliji. Religi atau beragama, terlepas benar atau salah, adalah instink khas manusia sehingga tidak ada hewan lain, yang meskipun cerdas, yang berusaha untuk beragama dan memiliki reliji. Seni berakar pada keagamaan. Drama berkembang sebagai praktik ritual di Mesir 4000 SM. Lukisan, nyanyian dan tari berakar pada ritual, yang kemudian dipisahkan secara independen dari ritual dan wujud secara independen.
Karena itu, Jack Maritain mengatakan: Puisi adalah buah hubungan antara jiwa dan realitas dengan sumbernya – Tuhan.” Bedanya, agama menekankan pada moral abadi dan absolut mengenai kebaikan dan kebebasan, sedangkan seni menekankan pada kreasi manusia dalam mengungkapkan realitas dalam dirinya. Oleh karena itulah, estetika klasik pada dasarnya meletakkan seni sebagai kendaraan bagi makna sehingga estetika bersifat dogmatis. Namun pada perkembangannya, terjadi pemisahan seni dengan dogmatika.
Persoalan hubungan dogmatika da seni inindalam Islam menjadi pembicaraan panjang. Meski ada berbagai riwayat yang mengharamkan musik, namun ada pula yang membolehkannya, baik dalam konteks pernikahan maupun sambutan pasukan perang. Mungkin ada yang meletakkan kebolehan itu sebagai perkecualian dan larangan sebagai asas, namun hal itu bertentangan dengan kaidah ushul yang menjadikan hukum asal muamalah itu boleh. Saat ini, seni tidak lagi menjadi bagian ritual, seperti masa lampau, tetapi telah mandiri sebagai ekspresi keindahan manusia. Bahkan larangan untuk menggambar hewan atau makhluk hidup dalam hadis pun banyak dipahami terikat pada alasan, yaitu agar tidak mengikuti dukun dan praktik ritual mereka.
Sejarah Islam diwarna dengan pengembangan seni. Dalam Islam, seni puisi dipergunakan sebagai ekspresi keagamaan. Kalangan sufi menjadikan seni sebagai kendaraan untuk mengungkapkan kedalaman pengalaman Ruhani _Mantiq al-Thair_ karya Fariduddin Al Atthar atau _Matsnawi_ karya Jalaluddin ar Rumi diakui sebagai puisi yang memiliki makna mendalam dan sekaligus keindahan. Ar Rumi bahkan menggabungkan puisinya dengan seni tari dan musik melalui praktik tari sama’.
Bahkan di kalangan yang lebih puritan pun seni dipakai untuk menjelaskan ajaran agama seperti dalam _al-Qashidah al-Nabawiyyah_ karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Demikian pula karyanya _Rawdlah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin_ penuh dengan kutipan puisi. Syair dijadikan sarana untuk pendidikan pula dalam berbagai bidang ilmu. Ilmu Ushul fikih, fikih, tajwid, hadis, hingga Mantiq banyak disusun dalam bentuk syair dan digabungkan pembacaannya dengan nada sehingga menjadi lagu.
Meski menggambar beda hidup itu ada larangannya, kita mendapati banyak lukisan indah dari masa Islam yang menggambarkan berbagai hal. Muncul pula Arabesque sebagai wujud seni gambar dalam Islam yang polanya banyak dipakai di masjid-masjid. Sementara itu, dalam masjid-masjid Nusantara pola sulur seperti tunas pohon menjalar banyak ditemukan, hingga bentuk hewan (kura-kura) di dekat mihrab dan gambar Kekayon atau gunungan di pintu masjid. Kekayon itu di dalamnya mengandung siluet hewan dan tumbuhan.
Semua itu merefleksikan Hadi Nabi Muhammad yang diriwayatkan Muslim, Ahmad dan al-Hakim: “Allah itu indah dan menyukai keindahan.” Meski itu hadis, bukan Alquran, tetapi ia mewujudkan satu makna umum mengenai arti penting estetika atau keindahan dalam Islam. Keindahan (al-Jamal) itu menjadi sifat Allah, berdampingan dengan sifat perkasa (al-Jalal). Dalam keindahan Tuhan itulah ada sifat Maha Pengasih, Maha Lembut, Maha Pengampun dan sebagainya.