AqidahArtikelTuntunan

Persamaan dan Perbedaan Manhaj Salafi Dengan Muhammadiyah

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag ( Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng

Persamaan manhaj Salafi dan Muhammadiyah terletak pada keduanya sama-sama menjadikan al-Qur`an dan as-Sunnah al-Maqbulahsebagai rujukan utama dalam istinbath hukum.

Muhammadiyah dan Salafi juga sama-sama tidak berhujjah dengan hadis-hadis lemah dan apalagi palsu.

Ijmak yang diakui adalah ijmak sahabat. Keduanya juga tidak memberlakukan qiyas dalam persoalan ibadah. Dalam batas tertentu juga sama-sama mengikis TBC namun pendekatan Muhammadiyah lebih soft dan tidak frontal atau vulgar.

Di samping ada persamaan, tentunya juga ada perbedaan. Adapun perbedaan manhaj yang cukup menonjol di antara keduanya adalah, dalam hal fikih, Salafi memiliki kecenderungan mengikuti atau sekurangnya dekat kepada mazhab Hanbali yang dikenal kuat berpegang pada zahir teks. Sedang Muhammadiyah tidak terikat dengan mazhab fikih tertentu, walau dalam praktek bisa saja diidentifikasi lebih dekat dengan mazhab Syafi’i dibanding 3 mazhab lainnya.

Salafi cenderung melarang keras taklid dan anti mazhab,[1]sedang Muhammadiyah menganjurkan ittiba’ dan bukan taklid. Dalam persoalan mazhab, Muhammadiyah tidak sampai anti mazhab namun tidak terikat kepada mazhab tertentu namun masih apresiatif terhadap mazhab.

Salafi juga cenderung tidak menta’lil nash sampaipun dalam masalah muamalah sehingga terkadang fikihnya terkesan kaku dan ‘aneh’, sedang Muhammadiyah menta’lil nash dalam soal muamalah sehingga fikihnya lebih luwes dan lentur.[2]

Salafi cenderung mengidolakan dan mengidealkan pengamalan dan pemahaman Islam pada 3 abad pertama generasi Islam, sedang Muhammadiyah dalam pengamatan penulis melihat masa lalu, kini dan mempersiapkan masa depan. Membawa muamalah ke masa lalu jelas sebuah ‘kemunduran’, namun jika diterapkan pada bidang aqidah dan ibadah tentu tidak jadi soal karena dua bidang ini tidak banyak berubah atau nyaris tak berubah.

Masalah muamalah oleh Muhammadiyah didekati dengan pertimbangan kekinian dan kedisiniansehingga bisa lebih berdaptasi dan tepat diterapkan di tengah masyarakat.

Pendekatan istishlah atau masalahat juga sering digunakan Muhammadiyah khususnya dalam merespon persoalan muamalah kontemporer,[3]sementara Salafi cenderung dengan pendekatan tekstualnya.

Berikutnya, Salafi cukup mudah menjatuhkan vonis bid’ah dan kadang juga musyrik dan kafir, bagi kelompok lain yang tidak sepaham, sementara Muhammadiyah jarang atau bahkan menghindari penggunaan kata-kata itu.

Muhammadiyah banyak menerapkan prinsip at-Taisirdalam beragama, namun Salafi dalam banyak hal justru cenderung ke hukum yang kaku dan berat serta sempit. Misalnya dalam soal aurat wanita, wajah dan suara dianggap aurat oleh Salafi, sementara menurut Muhammadiyah tidak termasuk. Musik dan gambar makhluk bernyawa dilarang mutlak oleh Salafi, oleh Muhammadiyah ditafshil dan lain-lain.

Salafi cenderung membatasi aktifitas wanita, sementara Muhammadiyah lebih longgar dalam soal aktifitas dan peran wanita di masyarakat. Wanita diwajibkan memakai cadar, Muhammadiyah tidak mewajibkan. Wanita didorong ke sektor domestik alias wilayah privat, Muhammadiyah lebih proporsional, boleh aktifitas di luar tanpa mengorbankan peran sebagai istri dan ibu.

Muhammadiyah masih cukup apresiatif dengan keberadaan budaya dan seni, hanya seni dan budaya yang jelas-jelas bertentangan syariat yang ditentang. Sedang Salafi lebih keras dan kaku dalam menolak seni dan budaya, bahkan terkesan anti seni. Banyak budaya atau kebiasaan ditolak dengan alasan tasyabbuh dengan umat lain serta tidak ada di zaman Nabi.

Salafi cenderung menolak urf dan adat. Urf di mata Syaikh al-Albani bukan sumber hukum fikih.[4]Di mata Muhamamdiyah urf yang sahih bisa dipakai. Maka dalam menyikapi halal-bihalal misalnya, Salafi cenderung menolaknya/membid’ahkannya sedang Muhammadiyah menerimanya.

Berikutnya dalam hal penggunaan akal, Salafi cenderung membatasi dan mempersempit penggunaan akal sampaipun kadang-kadang dalam persoalan muamalah-dunyawiyah, sedang Muhammadiyah memberi porsi yang cukup besar pada akal khususnya ketika membahas persoalan muamalah-dunyawiyah.[5]

[1] Salah satu buku yang ditulis Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi menjelaskan bagaimana muslim menyikapi keberadaan mazhab empat. Intinya beliau menegaskan bahwa bermazhab bukan kewajiban dan juga bukan kesunnahan. Bahkan cenderung menilai sebagai sebuah bid’ah. Lihat dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Benarkah cara anda bermazhab?( Jakarta : Dar al-Haq, 2005)
[2] Asymuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 155 dst.
[3] Muhammad Hilali Basya, Muhammadiyah dan Salafisme di Masa Transisi Demokrasi Indonesia, Cet. II, ( Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2020), hlm. 48-49.
[4] Qumaidi, al-Ittijahat al-Ijtihadiyyat al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (t.t.p : Dar Ibnu Hazm, 2013), I : 482.
[5] Din Wahid, “ Gerakan Fundamentalisme Agama dan Keberagamaan Salafisme”, dalam Ali Munhanif dkk., Perspektif Manhaj Muhammadiyah Aktualisasi Islam Berkemajuan dalam Kehidupan Kontemporer, Cet. I, (Jakarta Selatan : al-Wasath Publising House, 2018), hlm. 285.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button