Wacana Pemikiran Islam

Spesialisasi Ilmu itu Suatu Keharusan

Ditulis Oleh : *Ust. Wahyudi, Lc., MM. (Korps Mubaligh Muhammadiyah Jawa Tengah dan Anggota Majelis Tarjih Dan Tajdid PDM Temanggung)

Kemarin sore, kami mendapatkan kunjungan dari Ust. Fajar Shodiq, Mudzir MBS Yogyakarta. Hujan mengguyur dan udara cukup dingin. Maklum, rumah kami di lereng gunung Prahu dengan k etinggian 1176. M dpl.

Kami ngobrol santai di ruangan sederhana kami yang dindingnya hanya berhias kitab turas, ditemani teh manis dan cemilan sekadarnya. Dalam pembicaraan tersebut, beliau bertanya tentang sistem di Pondok kami, Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun.

Saya sampaikan bahwa pondok kami, menggabungkan dua sistem, KMI dan pondok salaf. Materi kebahasaan, seperti percakapan bhs arab dan inggris, mufradat, muhadharah dll, kami adopsi dari sistem KMI. Namun materi keislaman dan teori kebahasaan (nahwu, sharaf, balaghah dan i’lal), kami gunakan kitab turas.

Kami memang konsentrasi pada kajian keislaman. Sekolah formalnya baik jenjang SMP maupun SMA, kita indukkan ke sekolah Muhammadiyah. Mapel dan jam mengajarnya pun disesuaikan dengan kebutuhan di Pondok.

Dalam perbincangan santai dan sederhana itu, ada satu hal yang agak menggelitik. Beliau pernah bertemu dengan salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beliau menyampaikan tentang program khusus di MBS Yogyakarta yang difokuskan pada kajian keislaman dan diproyeksikan agar ke depan, santri melanjutkan studi ke Timur Tengah. Hal ini sebagai upaya untuk menanggulangi krisis dai dan ulama di Muhammadiyah.

Namun ternyata tanggapan dari salah seorang ketua PP Muhammadiyah ini kurang menggembirakan. Bagi ketua PP, saat ini yang dibutuhkan santri adalah penguasaan ilmu umum dan agama sekaligus. Sudah bukan waktunya lagi, pesantren Muhammadiyah hanya konsentrasi pada keilmuan Islam. Menurut beliau, Muhammadiyah butuh sosok seperti Ibnu Rusyd baru.

Apa yang beliau sampaikan, di satu sisi sangat menarik. Membentuk ulama ensiklopedis yang menguasai banyak cabang ilmu adalah ide yang luar biasa. Jika ini tercapai, Muhammadiyah akan jadi percontohan gerakan Islam di seluruh dunia.

Hanya, menurut hemat kami, ilmu pengetahuan saat ini sangat luas. Cukup berat bagi seseorang untuk dapat menguasai semua cabang ilmu sekaligus. Sekarang pun, belum ada lagi tokoh sehebat Ibnu Rusyd.

Di berbagai belahan dunia, karena cakupan ilmu sangat luas, yang muncul adalah spesialisasi ilmu. Seseorang cukup menguasai satu atau beberapa cabang ilmu saja, namun mendalam.

Dulu di sekitar kita, banyak Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun belakangan, SMA kalah saing dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Karena SMK lebih spesifik dan fokus pada salah satu cabang ilmu. Siswa dapat menguasai satu materi sekaligus dapat dipraktekkan di masyarakat.

Di lapangan, banyak pesantren Muhammadiyah yang mengajarkan semua materi keislaman, sains dan humaniora . Harapannya, mereka akan menjadi Ibnu Ruysd modern yang menguasai banyak cabang ilmu, baik fikih, ushul, filsafat, kalam, kedokteran, astronomi dan lainnya. Sayangnya, kebanyakan dari mereka justru lebih tertarik pada ilmu eksakta. Alih-alih ingin jadi Ibnu Rusyd, banyak lulusan pondok itu, yang tak sanggup baca kitab turas yang berbahasa arab.

Ketika lulus Pondok dan hendak masuk kuliyah, semua universitas baik di dalam dan luar negeri, mengajarkan spesialisasi ilmu, termasuk di universitas Muhammadiyah. Di jurusan kedokteran, tidak diajarkan materi tafsir, ushul fikih, fikih perbandingan, kalam, dan lainnya. Di jurusan Syariah, juga tidak ada materi tehnik mesin, psikotrapi, perawatan dan lainnya.

Jadi mimpi ingin menjadi Ibnu Rusyd berhenti di bangku Pondok pesantren. Hingga saat ini, belum ada lulusan pondok pesantren Muhammadiyah yang mampu mencetak Ibnu Rusyd baru.

Karena saat ini sudah masuk era spesialisasi ilmu, idealnya pesantren punya pilihan, konsentrasi ke sains seperti Trensains atau konsentrasi ke ilmu-ilmu keislaman seperti MBS Program Khusus itu. Kelak, satu sama lain saling kolaborasi dengan melengkapi kekurangan masing-masing. Tujuannya agar santri fokus terhadap bidangnya masing-masing sehingga mereka mampu melakukan pendalaman atas cabang ilmu tertentu.

Biarkan pesantren Muhammadiyah konsentrasi ke kajian keislaman. Demikian juga dengan trensains yang konsentrasi ke kajian ilmu eksakta dan humaniora. Selain trensains, toh muhammadiyah banyak punya SMA dan SMK. Mereka kelak yang akan mengembangkan ilmu eksakta dan humaniora di Muhammadiyah.

Jika pesantren-pesantren Muhammadiyah justru asyik menggarap materi sains dan humaniora, maka krisis kader dan ulama tetap akan menjangkiti jamaah Muhammadiyah. Ketimpangan antara ulama dan ilmuan tetap akan terjadi.

Apakah berbahaya? Tentu berbahaya. Tiap minggu saya keliling ke ranting-ranting Muhammadiyah. Banyak jamaah akar rumput yang mengeluh karena tak ada pengajian ranting. Ternyata akar masalahnya karena tidak ada dai yang siap mengampu.

Apa akibatnya? Kekosongan ini diambil oleh orang lain. Terkadang terjadi, jamaah Muhammadiyah, namun pemikiran dan ideologi serasa dari kelompok lain. Banyak juga jamaah Muhammadiyah yang keluar dan ikut gerakan Islam lain. Lebih parah lagi, ada masjid Muhammadiyah yang dikelola oleh kelompok lain.

Ruh muhammadiyah itu ada di pengajian. Jika pengajian hilang, maka Muhammadiyah yang mengaku sebagi gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar akan hampa.

Ini baru dai, kita belum bicara soal krisis ulama yang lebih parah. Maka Muhammadiyah butuh pesantren spesialisasi ilmu agama ini agar ketimpangan di lapangan dapat ditanggulangi. Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan

Back to top button