Menuntut ilmu itu wajib, secara bersamaan terdapat ‘ilmu yang wajib didahulukan atau diprioritaskan. Az-Zarnuji menyatakan ilmu harus di utama itu adalah ‘ilm al-haal tertuju kepada ilmu fiqih untuk panduan muslim keseharian, al-Ghazali mengklasifikasi terdapat ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Selaras dengan ulama zaman ini berjuluk neo-Ghazalian; Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam konsep pendidikan Islam yang beliau ejawantahkan diberbagai forum dan karayanya menekankan kembali ilmu fardhu ‘ain setiap muslim berdimensi individu harus memperlajarinya dan fardhu kifayah berdimensi sosial (tidak semua muslim harus mempelajarinya, jika sudah ada maka gugur kewajiban bagi seorang muslim).
Namun, ingatlah kembali wasiat al-Ghazali dalam muqaddimah bidayah al- hidayah, barangsiapa yang menuntut ‘ilmu hanya untuk ketenaran bukan karena Allah sesungguhnya dia sedang merusak agamanya dari dalam melalui ilmu. Sikap intibah (mawas diri) dalam jiwa penuntut ilmu (thalib al-‘ilm) harus selalu dinyalakan dalam diri. Untuk menjaga perasaan ‘intibah’, dapat menginsyafi diri dengan salah satu hikmah yang diambil dari sunnatullah, apakah itu?, ialah tingkatan-tingkatan (maratib) dalam segala hal. Satu diantaranya dalam tingkatan ‘ilmu itu sendiri.
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menerangkan dalam Kitab al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur’an al-Karim, bahwa salah satu faedah dalam mencari ilmu yaitu sebagai jalan menuju keyakinan hakiki (Q.S. al-Baqarah: 118, Q.S. al-Jaatsiyah: 4, Q.S. ar-Ra’ad: 2, Q.S. Adz-Dzariyat: 20-21). Terdapat tiga tingkatan dalam perjalanan mencari ilmu untuk sampai kepada keyakinan hakiki. Tingkatan yakin itu pertama ‘ilm al-yaqin; (Q.S. at-Takatsur: 5) pada tingkatan ini, ilmu akan memberikan rasa yakin dalam hati (qalb) terhapus syubhat, tersingkirkan keraguan (syak), kelupaan (sahw), dan lalai (ghufl) implikasinya membuat hati tenang, jiwa tentram terbebas dari syak wasangka.
Kedua, ‘ain al-yaqin (Q.S. at-Takatsur: 6-7), derajat ini lebih tinggi dari sebelumnya yaitu pada tahap awal meyakini (yaqin) dalam hati dan membebaskan dari syubhat, seorang di tahap ‘ainul yaqin, ia mampu menggunakan ilmunya (‘ilmu yaqin) untuk memandang realitas nyata (syahadah) dan realitas tidak nyata (ghoibah) dengan penuh keyakinan, atau hematnya jika ‘ilm al-yaqin itu bersumber kepada kabar yang benar (khabar shadiq) maka ‘ain al-yaqin lebih kepada bagaimana cara mengaplikasikan berita kebenaran itu dengan cara memandang dengan penuh keyakinan.
Penulis mencoba untuk menginsyafi penjelasan di atas, ini seperti halnya ketika seorang bersyahadat, sebelum ia bersyahadat dalam hatinya dipenuhi dengan ilmu yang meyakinkannya (‘ilm al-yaqin), kemudian ketika ia bersaksi (bersyahadat) kepada Allah swt dan Rasulullah sesungguhnya ia sedang bersaksi menggunakan mata batinnya atau ain al-yaqin. Hampir sama, ketika seorang muslim melaksanakan ‘aqd an-nikah, ia secara mata zhahir sedang bersaksi dihadapan wali dan para saksi, namun secara batin sesungguhnya ia sedang bersaksi dihadapan Allah dengan menggunakan ain al-yaqin.
Tingkat paling tinggi yang ketiga adalah haqq al-yaqin. Pada taraf ini, lebih kepada rasa (dzauq). Dengan bersandar kepada para ulama, Syaikh Yusuf memberikan perumpamaan seperti ada seorang penjual madu kemudian memberikan berita kepada pelanggannya bahwa madu ini asli, murni dan manis. Menjelaskan berbagai sifat madu lalu pelanggannya itu meraya yakin, selanjutnya sang pedagang membawakan madu itu dan menyodorkan untuk dicicipi rasanya kepada pelanggan kemudian setelah merasakan madu, ia merasa yakin dengan apa yang diberitakan pedagang tentang madu itu. Di tahap awal (pedagang memberitakan tentang madu yang dijual) itu adalah ‘ilm al-yaqin, di tahap kedua (memperlihatkan madu itu kepada pelanggan) itu adalah ain al-yaqin dan di tahap akhir (setelah merasakan madu) itu adalah haqq al-yaqin. Dari perumpamaan kejadian ini, terdapat titik-titik yang membedakan antara ketiganya.
Semua ini, dapat direnungi sebagai introspeksi dan bahan evaluasi bagi yang sedang berproses dalam menuntut ilmu. Pertama, apakah kita sedang menuntut ilmu yang diprioritaskan? (fardhu ‘ain), Kedua, apakah ilmu yang sedang kita cari menambah keyakinan kepada Allah (‘ilm al-yaqin)?, ketiga, apakah ilmu yang sedang kira cari ini mampu untuk memproyeksikan kebenaran dan keyakinan?, dan keempat, apakah ilmu yang sedang kita cari ini telah bersemayam dalam dada (shadr) dengan penuh rasa keyakinan? (haqq al-yaqin). Mari merenung…