Pandangan, Jalan dan Tujuan Hidup Seorang Muslim
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag, M.Pd/Penulis Buku Merawat Nalar Salim/Majelis Tarjih dan Tajdid PDM. Kab. Tegal
Pandangan dan jalan hidup memiliki porsi sangat serius dalam perjalanan kehidupan seorang muslim. Pandangan adalah proyeksi atas kehidupan bagi seorang muslim mampu mengejawantahkan apa yang ia lihat secara zhahir dan bathin. Karena pada hakikatnya kehidupan ini mencakup dua dimensi yaitu ‘alam asy-syahadah dan ‘alam al-ghaybah. Jalan hidup adalah arah kehidupan darimana berasal dan kemana berakhir. Seorang muslim cerdas dialah yang mampu menyadari di setiap langkahnya memahami darimana dirinya berasal mula kemudian sadar kemana dirinya akan berakhir, terikat sebuah hadits “Al kayyisu man daana nafsahu wal amila limaa ba’dal maut”
Membaca Al Fatihah bagi seorang muslim, minimal 17 kali dalam sehari –jika hanya dihitung rakaat sholat fardhu-, namun dalam hitungan maksimal bagi seorang muslim tidak ada batasan untuk mengamalkan fatehah –begitu logat orang jawa berbunyi-. Muslim taat pasti sepakat bahwa seluruh isi al-Qur’an itu “laa roiba fiihi” tidak ada sedikitpun keraguan di dalamnya. Surat 7 ayat ini mempunyai segudang rahasia dalam kandungannya terdapat pokok-pokok tuntunan hidup dan arah hidup. Menerangkan sebuah konsep ideal hidup seorang Muslim. Boleh dikatakan, muatan pandangan hidup seorang Muslim bersifat “rasional dan supra-rasional”, sengaja penulis tidak sandingkan dengan “rasional-irasional”, karena pandangan hidup dalam Islam tidak ada yang “irasional” atau tidak masuk akal, namun lebih tepatnya ia bersifat “supra-rasional” itu semata-mata bukan tidak masuk akal, namun karena bersifat “supra” sehingga dimensi akal manusia tak sampai untuk menjangkaunya secara empirik. Di ayat pertama, mengandung sifat “rahman” dan “rahim” dari Allah ‘Azza wa Jalla yang memberikan petunjuk kepada Manusia bahwa setiap langkah hidup harus dimulai dengan “bismillah” (dengan nama Allah) agar kasih dan sayang-Nya selalu menaungi hidup seorang Muslim.
Ayat kedua, “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin”, mengandung sebuah konsep dasar kehidupan dan keteraturan hidup di alam semesta. Ayat ini sebagai “itsbat” bahwa alam (‘alamin) ini ada penciptanya yaitu “rabb” merujuk kepada Allah kemudian diciptakan dengan grand design terbaik serta tertata dengan seimbang, secara bersamaan juga sebagai “nafyu”, yaitu menafikan teori evolusi yang berbunyi alam ini tercipta oleh sendirinya (kebetulan) dan secara acak. Karena keagungan inilah, ucapan ini sebagai wujud pujian serta rasa syukur segenap Mahkluk ciptaan Allah al-Khaliq. Lebih mendalam, mengenai kalimat “hamdalah” yang bermakna “segala puji hanya kepada Allah, Tuhan Pemelihara alam semesta”, ini bermakna selain pemelihara, Allah pengatur sekaligus pengakhir Alam ini.
Mengaitkan akhir Alam ini, semesta pasti berakhir – karena tiada yang abadi- kecuali Allah, “kullu syai halikun illa wajhahu Allah” pun demikian, Allah mengatakan di ayat ke- empat “Maliki yaumiddin” menunjukkan bahwa Allah Raja di hari pembalasan. Ditegaskan dalam QS. al-Infithar: 19, bahwa di hari itu setiap manusia menanggung urusannya masing-masing dan hanya Allah-lah Raja di hari itu.
Uraian di atas, menunjukkan bahwa idealnya bagi seorang Muslim dalam memandang dunia menyadari bahwa semua yang ada diciptakan oleh Allah dengan sifat rahman-rahim, Alam tercipta dengan sengaja dan teratur tidak acak dan semua akan menemui akhir dunia dengan kehendak-Nya.
Mengarah kepada konsep jalan hidup, tercantum dalam ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Isyarat secara tersurat ini menunjukkan arah jalan hidup manusia yaitu hanya untuk beribadah dan hanya meminta pertolongan kepada Allah semata. Untuk apa ibadah?, dan untuk apa meminta pertolongan?. Ibadah bertujuan untuk mengabdi kepada Allah dengan benar dengan khidmat. Meminta pertolongan agar Allah selalu menuntun hidup dalam jalan lurus “shiratal mustaqim” yaitu jalan yang lurus bukan jalan yang dimurkai dan sesat. Lebih dalam, jalan lurus itulah jalan rahmat para Nabi, shiddiqin, syuhada’ seperti yang ditegaskan dalam Q. S. an-Nisaa: 69.
Selanjutnya, penulis melempar sebuah pertanyaan, “kepada siapa kita akan kembali?”. Apabila manusia sudah merasakan ketengan jiwa karena tertanam “nafsul muthmainnah”, yang di dapatkan dengan Ibadah. Ingatlah Allah telah menyiapkan panggilan dengan panggilan spesial, panggilan kembali dengan panggilan “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (Q.S. Al-Fajr: 27-30). Semua manusia akan kembali pada Allah tetapi kita akan kembali dalam keadaan bagaimana?, sedangkan Allah telah memerintahkan kepada jiwa yang tenang untuk memasuki surganya.
Penjelasan ini merujuk kembali pada kalimat “Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun” mempunyai keterikatan yang sangat erat. Singkatnya manusia itu milik Allah dari Allah dan manusia akan kembali seluruhnya kepada Allah. Manusia tercipta karena Allah, manusia hidup di dunia beribadah kepada Allah dan manusia kembali setelah menjalani kehidupan kepada Allah. Dari Allah, milik Allah dan kembali kepada Allah. Inilah konsep dasar manusia yang perlu kita insyafi kembali agar hidup kita sesuai dengan orientasi dari islam yang telah Allah gariskan, agar manusia terbebas dari kerancuan dunia dan menjalani hidup dengan hati yang selamat dan kembali kepada Allah dengan keadaan jiwa yang tenang.