Artikel

Benarkah Makruh Jika Dikerjakan Tidak Apa-Apa?

Oleh: Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag. (Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng)

Kita awali pembahasan ini dengan mengutip hadis dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا ، فَإِنَّ الْمَلائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan bawang kurrats, maka janganlah dia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang mengganggu manusia.” (HR. Muslim)

Para ulama nyaris sepakat bahwa hukum makan bawang adalah makruh, tidak sampai haram. Makruhnya perbuatan ini terutama jika berinteraksi dengan orang lain, karena ada potensi menggangu, menyakiti, dan membuat tidak nyaman orang lain. Menggangu orang lain tentu berpotensi menimbulkan dosa dan sudah selayaknya dicegah walau mencegahnya tidak sekeras mencegah perkara haram. Namun sebagaimana diinformasikan Ibnu Rajab dalam Fath al-Bari, tetap saja ada ulama yang mengharamkan makan bawang masuk masjid jika baunya masih ada dan menggangung jamaah lain seperti yang diriwayatkan dari pendapat Ibnu Jarir ath-Thabari dan Imam Ahmad.

Di masyarakat kita, hukum makruh umumnya cenderung dianggap enteng dan diremehkan. Hal ini karena di sekolah atau madrasah dulu, kita biasa diajarkan oleh buku dan guru agama kita bahwa makruh itu kalau dikerjakan tidak apa-apa, kalau ditinggalkan dapat pahala. Mengajarkan perbuatan makruh dikerjakan tidak apa-apa ini yang kiranya perlu didiskusikan ulang. Benarkah demikian?

Makruh secara bahasa berarti al-mubghad atau yang dibenci. Tentunya dibenci Allah SWT. Secara logika sederhana, apa iya mengerjakan pekerjaan yang dibenci Allah kok dihukumi “tidak apa-apa”. Terlalu menganggap enteng bukan?

Ar-Razi dalam al-Mahshul (I : 131) menjelaskan, makruh itu sendiri tidak satu tingkatan atau pengertian. Sekurangnya memuat tiga makna. Pertama makruh tanzih seperti yang umumnya kita pahami sekarang ini. Kedua berarti haram, ini biasa dipakai ulama salaf dulu yang menyebut haram dengan istilah makruh karena kehati-hatian. Yang ketiga bernama tarkul aula (meninggalkan yang lebih utama).

Istilah tarkul aula juga kadang disebut khilaful aula atau la yanbaghi. Adapun “khilaful aula”, maka pengertiannya adalah status hukum jika orang melanggar hal yang disunnahkan. Semua hal yang sifatnya menyelisihi yang disunnahkan maka disebut “khilaful aula” tanpa membedakan apakah bersifat “positif” (melakukan tindakan) maupun “negatif” (meninggalkan tindakan).

Bertolak dari penjelasan Dr ‘Iyadh bin Nami as-Salmi dalam Ushul al-Fiqh Alladzi La Yasa’u al-Faqih Jahluhu halaman 36 dan seterusnya, di kalangan ahli ushul, terdapat beberapa pengertian makruh namun ada titik temu di antara mereka bahwa :

Larangan makruh itu tidak pasti/tegas.
Makruh itu perbuatan yang dibenci atau tidak disukai.
Makruh itu masih ada tingkatan, bukan satu tingkatan.
Makruh itu bagi yang meninggalkan akan mendapat pujian dan pahala.
Pelaku makruh tidak berdosa dan sebagian lagi mengatakan tidak mendapat celaan.
Namun pendapat yang mengatakan makruh tidak berdosa dan tidak pantas dicela kiranya masih perlu diberikan catatan. Karena kalau kita amati, makruh itu dibenci karena ada potensi menarik dosa terutama ketika kita berinteraksi dengan orang lain. Contoh ketika kita habis makan petai, jika kita di rumah saja tidak berinteraksi dengan orang lain, nyaris tidak akan menimbulkan masalah pergaulan. Tapi begitu kita pergi ke masjid untuk berjamaah misalnya, kehadiran kita dengan bau petai tadi, jika belum dihilangkan, jelas berpotensi menggangu dan membuat orang lain tidak nyaman atau betah dekat-dekat kita, dan ini tentu saja berpotensi mengundang dosa.

Bahkan ada satu pendapat menyatakan, makruh yang diulang-ulang bisa naik status menjadi haram, kok bisa? Kita ambil contoh makan petai tadi. Jika ada jamaah makan petai terus dia kencing atau BAB di toilet masjid yang dipakai bergantian, maka akan banyak sekian jamaah yang terganggu dan bisa jadi misuh-misuh. Jika hari pertama ada 5 yang misuh, dan diulang hari kedua dan seterusnya, apa reaksi jamaah, pasti terjadi peningkatan kejengkelan dan orang-orang marahnya semakin meningkat. Nah dari sinilah sebenarnya cukup beralasan kalau makruh yag diulang-ulang bisa naik status menjadi haram.

Definisi perbuatan makruh tidak dicela jika dilakukan juga kurang tepat. Bagaimana mungkin perbuatan yang menggangu dan menyakiti orang lain tidak pantas dicela? Minimal ya, diaruh-aruhi lah supaya meninggalkan atau setidaknya dikurangi. Bukankah Rasulullah SAW ketika melihat ada sahabat yang habis makan bawang dan baunya belum hilang beliau melarang orang itu masuk masjid, bahkan mendekati masjid saja sudah dilarang, padahal orang tadi mau salat berjamaah? Ini bukan saja sekedar celaan tapi sekaligus tindakan nyata dengan melarang orang tersebut.

Dari sedikit uraian di atas, kiranya definisi makruh yang lebih lengkap bisa dirumuskan misalnya, makruh adalah perbuatan yang dibenci Allah SWT, meninggalkannya lebih utama dan dipuji serta mendapat pahala, jika mengerjakan pantas diingatkan karena dibenci Allah. Mengerjakan makruh tidak berdosa namun dalam batas tertentu berpotensi menarik dosa sehingga lebih aman untuk dihindari. Makruh yang diulang-ulang bisa naik status menjadi haram. Wallahu a’lam.

Perlu dimengerti, kalangan ulama ushul Hanafiyah membagi makruh menjadi dua yakni makruh tahrim dan makruh tanzih.
Makruh tahrim adalah perbuatan yang dilarang secara tegas, namun dalilnya bersifat zhanni seperti hadis ahad. Adapun contoh dari makruh tahrim menurut mazhab ini adalah larangan kepada laki-laki untuk menggunakan baju dari sutra dan memakai emas. Selain itu, salat yang dilakukan setelah salat Subuh atau salat Ashar juga menjadi salat yang hukumnya makruh tahrim, karena tidak memiliki sebab tertentu mengapa harus salat di waktu tersebut.

Makruh tanzih yaitu sesuatu yang dilarang oleh syara’ secara tidak tegas melalui dalil yang masih zhanni. Contohnya seperti memakan daging kuda, berwudhu dengan air liur kucing ataupun burung buas, minum sambil berdiri, meniupi makanan panas, memulai sesuatu mulai dari sebelah kiri, dan lain-lain.

Asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat mengatakan, amalan sunat saja perlu sesekali ditinggalkan supaya orang awam tidak menyangka wajib, apalagi makruh. Maka makruh itu hanya sesekali saja dilakukan bukan terus menerus dikerjakan karena beranggapan hal itu tidak apa-apa.

Ingat, istiqamah itu dalam kataatan/kesunnahan, bukan istiqamah dalam kemakruhan!

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button