Khilafiyah Fikih Tak Semestinya Berujung Perpecahan
Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag. (Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng)
Perbedaan fikih sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan ini adalah sebuah keniscayaan dan sekaligus menjadi rahmat, maka tak semestinya perbedaan itu mengantarkan kepada perselisihan dan pertengkaran maupun permusuhan yang tercela dan terlarang.
Untuk itu sikap-sikap maupun pendirian berikut mesti diwaspadai karena hanya akan memperkeruh dan memperuncing perbedaan yang pada ujungnya dapat menyeret kepada permusuhan antar umat Islam yang berbeda pendapat : [1]
- Sikap dan anggapan merasa paling benar sendiri. Sikap ini akan mendorong orang untuk menyalahkan atau terkadang menyesatkan kelompok lain yang tidak sama pemahaman dengan kelompoknya. Jika hanya merasa benar saja itu masih bisa dipahami, namun merasa paling benar mestinya perlu dihindari. Ulama salaf sering berkomentar dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan menyatakan, “ Pendapat madzab kami benar namun mengandung kemungkinan salah, pendapat di luar madzab kami salah namun masih mengandung kemungkinan benar”. Jadi mereka terbiasa tidak memonopoli kebenaran dalam hal ini bagi kelompoknya saja, namun ‘membagikannya’ juga pada kelompok lain.
- Tidak mau berdialog (tabayyun) atau klarifikasi jika ada perbedaan pendapat dengan kelompok lain. Dialog, musyawarah, diskusi, klarifikasi merupakan cara-cara yang bijak yang dianjurkan agama guna melakukan tabayun atau klarifikasi serta menciptakan mutual understanding. Sebaliknya tanpa dialog orang mudah su`udhan, memberikan label-label negatif, mengembangkan sikap curiga dan penghakiman sepihak. Tentu hal ini akan meperuncing dan memperkeruh keadaan. Betapa banyaknya perbedaan pendapat namun setelah keduanya bertemu dan dijelaskan duduk satu meja ternyata hanya sebuah kesalahpahaman, atau hanya berbeda pada hal-hal yang tidak substansial dan sebagainya.
- Mencukupkan diri dengan satu aliran, ustadz, kitab, madzab serta tidak mau mengakaji aliran maupun kitab karangan di luar madzab yang dianutnya. Akibatnya ia sering sempit dan picik pikiran ( narrow minded view) dalam menilai kelompok lain, padahal kelompok lain itu yang berdiri di atas kebenaran atau sekurang-kurangnya sama-sama dapat dibenarkan. Misalnya dalam ilmu qira`at terdapat 7 versi bacaan yang sama-sama diakui sebagai qira`at mutawatir yang dibenarkan untuk diamalkan. Namun dalam sebuah kejadian ada seorang imam masjid disalahkan jamaahnya karena ada bacaannya yang didengar janggal oleh jamaah, karena kebetulan imamnya membaca dengan qira`at lain. Seumpama bacaan maliki yaumiddin, ma boleh dibaca pendek ataupun panjang. Namun karena si makmum hanya tahu satu jenis bacaan akibatnya ia menyalahkan bacaan imamnya.
Jadikan Khilafiyyah Fiqih sebagai Rahmat
Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ merupakan rahmat, dan orang yang terlibat di dalam perbedaan ini termasuk ahl rahmat. Demikian ditegaskan syekh Yusuf al-Qardhawi.
Sebuah hadis yang cukup terkenal yang dijumpai dalam Kitab al-Jami’ ash-Shaghir karya as-Suyuthi menyatakan, “ Ikhtilaf umatku adalah merupakan sebuah rahmat”( HR Baihaqi). Syekh Yusuf al-Qardhawi mengomentari hadis ini dengan mengatakan bahwa hadis ini cukup masyhur di tengah-tengah masyarakat, namun tidak memiliki sanad yang jelas, akan tetapi dari segi matan beliau mensahihkannya. [2]
Menurut hemat penulis, maksud atau terjemah hadis tersebut perlu disisipkan dengan kata ‘seharusnya’ sehingga berbunyi, “ Perbedaan pendapat di kalangan umatku (seharusnya menjadi) rahmat. Mengapa demikian, karena dalam kenyataan tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan pendapat tak selamanya atau tidak selalu mendatangkan rahmat. Perbedaan pendapat juga kadang mendatangkan kerenggangan, perpecahan dan bahkan permusuhan, lebih-lebih perbedaan pendapat di bidang politik. Jadi semestinya yang perlu disadari dan dipahami adalah, perbedaan semestinya mendatangkan rahmat, bukan mendatangkan azdab atau laknat. Na’udzu billah !
Agar perbedaan yang ada menjadi rahmat, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dikembangkan terutama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perbedaan itu yakni sikap-sikap sebagai berikut :
- Menghindari truth claim ( klaim bahwa kebenaran hanya ada pada kelompoknya sendiri ) sepihak. Merasa paling benar sendiri seharusnya dihindari dalam soal-soal khilafiyah, paling tinggi cukup kita merasa benar, tidak perlu sampai merasa paling benar.[3]
- Memahami hakikat perbedaan atau khilafiyyah dengan baik serta mencontoh adab dan etika yang dicontohkan oleh para imam dalam menghadapi perbedaan pendapat itu. Juga perlu mempelajari sejarah kemunculan madzab-madzab, situasi historis dan setting social yang melingkupi madzab atau munculnya sebuah pemikiran. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, orang akan lebih arif dan bijak dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat itu.
- Membiasakan mempelajari suatu masalah dari berbagai aliran atau madzab maupun sudut pandang yang dipakai. Juga mempelajari bagaimana kerangka berpikir dan model pendekatan yang mereka gunakan mengapa mereka sampai pada pendirian seperti itu. Model kajian fiqh secara perbandingan tentu memiliki kontribusi yang besar untuk ini.
- Bersikap terbuka dan toleran serta tidak fanatik dan ekslusif. Siap dialog dan diskusi serta tidak menutup diri. Biasanya aliran atau kelompok yang dicap ‘sesat’ salah satu cirinya adalah bersikap ekslusif dalam arti menutup diri dan tidak terbuka ke dunia luar, fanatik, tidak toleran dan mudah menyalahkan/menyesatkan/mengkafirkan kelompok lain.[4]
- Mengambil manhaj wasathan atau pertengahan. Ciri umat yang selamat adalah yang biasa bersikap pertengahan, moderat dan tidak ekstrim atau berlebih-lebihan atau dalam bahasa agama disebut ghuluw. Tidak liberal atau terlalu bebas mengumbar akal namun juga tidak rigid dan kaku dalam memahami nash. Imam Ali diriwayatkan pernah berkata, “ Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah”. Juga beliau diriwayatkan pernah berpesan, “ Tetaplah kalian berada di golongan tengah-tengah, di mana kelompok yang di depan akan mundur dan yang tertinggal akan menyusul”.
Perbedaan pendapat dalam fikih tidak perlu disesali dan tidak mesti diseragamkan karena tabiat fikih memang beragam. Jadi nikmati perbedaan itu dengan bijak dan dewasa, serta carilah hikmah dan rahmat di balik perebdaan itu.
[1] Di kalangan orang awwam, ketika mereka menanyakan hukum suatu masalah kepada ustadz atau kyai, sering menggunakan kata-kata, “ Mana yang benar antara pendapat ini dan itu, antara organisasi A dan B, antara kyai C dan D dan seterusnya”. ‘Celakanya’ sang ustadz yang ditanya terjebak dengan pertanyaan itu dan latah menjawab dengan perkataan, “ Yang benar adalah pendapat ….”. Dengan pertanyaan model seperti itu, dan jawaban juga seperti itu, maka sadar atau tidak sebenarnya telah menyebarkan benih-benih ta’ashub merasa benar sendiri. Semestinya kita mengajari dengan sebuah pertanyaan yang lebih bijak misalnya dengan menggunakan redaksi, “ Mana di anatara dua pendapat itu yang lebih kuat dalilnya, atau manakah diantara pendapat-pendapat itu yang lebih maslahat dan didukung dalil yang kuat” ,dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Sedang ketika menjawab, sang ustadz dapat menggunakan kata-kata seperti, “ Sepanjang yang saya ketahui, bahwa pendapat yang lebih kuat dalilnya adalah ini dengan alasan-alasan ini, ini, ini.”. Atau dengan kata-kata, “ Berdasarkan pendapat ulama A beliau menguatkan pendapat ini, sedang berdasar ulama B, pendapatnya seperti itu. Setelah kami teliti sesuai dengan kemampuan kami, maka pendapat yang lebih mendekatai kemaslahatn dan didukung dalil yang kuat adalah pendapat C”. Jawaban seperti ini lebih ‘sehat’ dan maslahat khususnya dalam menciptakan iklim toleransi antar umat yang berbeda pemahaman.
[2] Yusuf al-Qardhawi, Ash-Shahwah al-Islamiyyah, alih bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Fiqh al-Ikhtilaf, Jakarta: Rabbani Press, tt. Hlm. 70.
[3] Truth claim ini juga sering terjadi di kalngan oraganisasi-arganisasi kegamaan tertentu. Mereka mengatakan kepada jamaahnya bahwa satu-satunya kelompok yang selamat dan berhak masuk surga adalah kelompoknya sendiri, yang lain salah dan sesat serta akan masuk neraka. Padahal sudah terang bahwa surga seluas langit dan bumi, kalau hanya duhuni kelompok itu saja yang Cuma sedikit pengikutnya, bukankah surga menjadi ‘mubadzir’?. Tidak hanya itu kelompok yang lain kadang dikatakan sesat, ahli bid’ah, ahli neraka dan kadang-kadang menganggapnya telah kafir. Jadi seolah-olah tokoh kelompok ini telah diangkat menjadi ‘panitia akhirat’ yang boleh mentapkan siapa-siapa yang selamat masuk surga dan siapa-siapa yang sesat sehingga harus masuk neraka.
[4] Sebagian ulama menjelaskan bahwa sebagian dari ciri orang atau golongan yang selamat dalam beragama kalau mereka bersikap : 1) Tawassuth, yakni mengambil jalan tengah dari dua kutub pemikiran atau sikap yang ekstrim, 2) Tawazun, yakni sikap berimbang dalam banyak hal, seperti imbang anatara dunia dan akhirat, imbang antara jasmani dan ruhani dsb. 3) I’tidal, yakni bersikap adil dan lurus dalam menghadapi suatu hal. Tiga ciri inilah yang biasa dikembangkan di kalangan Sunni.