Artikel

Nikah Beda Agama Atau Pasangan Beda Agama?

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah)

Perkawinan beda agama jelas menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah-tengah masyarakat dan keluarga. Umumnya pernikahan ini ditentang dan tidak direstui. Ada yang mau berhenti dan memutus hubungan, namun tidak sedikit pula yang nekat melawan arus dengan segala resiko yang akan ditanggung kelak.

Pengertian Nikah Beda Agama

Pernikahan beda agama atau pernikahan antar agama (interfaith marriage) adalah pernikahan di mana antara suami dan istri memiliki agama yang berbeda pada saat akad nikahnya berlangsung, misalnya prianya beragama Islam sementara istrinya beragama Kristen dan lain sebagainya. Kalau ketika menikah satu agama, kemudian di tengah perjalanan salah satu pasangan berpindah agama, maka penulis menyebutnya pasangan rumah tangga beda agama.

Dalam pengamatan penulis, praktek nikah beda agama di Indonesia nyaris tidak ada, karena tidak dibenarkan oleh hukum positif dan tidak akan dilayani oleh pemerintah. Yang sering atau banyak terjadi sebenarnya pasangan beda agama. Pasangan beda agama ini biasanya awalnya menikah satu agama, misalnya sama-sama Islam atau non Islam, lalu di tengah jalan salah satu pasangan kembali ke agamanya semula, terus mereka tetap melanjutkan sebagai suami istri. Inilah yang sebenarnya banyak terjadi di sekeliling kita.

Dalam soal pernikahan beda agama, ajaran Islam sebenarnya tidak dalam posisi menutup rapat, tapi juga tidak membuka lebar-lebar. Pernikahan antar agama masih mungkin dilakukan jika prianya muslim sementara wanitanya ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) menurut jumhur ulama. Di luar itu pernikahan antar agama tidak diberikan tempat. Terutama jika pengantin perempuannya seorang muslimat sedang mempelai prianya non muslim, dalam hal ini pernikhan beda agama ditutup rapat.

Namun dalam perkembangannya, khususnya di Indonesia, karena satu dan lain hal, pernikahan antar agama cenderung ditutup rapat sebagaimana terlihat dalam KHI dan fatwa MUI serta fatwa beberapa Ormas Islam.

Pandangan Ulama Tafsir dan Fikih

Pernikahan antar agama perlu dibedakan dulu dalam agama Islam sebelum menentukan hukumnya. Paling tidak ada 3 model pernikahan antar agama ini.

  1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab.
  2. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita non muslim dan non ahli kitab.
  3. Pernikahan wanita muslim dengan pria non muslim.

Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab

Pendapat Yang Membolehkan

Adapun pernikahan model pertama, maka jumhur ulama cenderung membolehkan dengan syarat wanita kitabiyah itu muhshanat alias wanita baik-baik yang bisa memelihara kehormatannya.

Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasin at-Ta`wil menyatakan, zahir ayat membolehkan menikahi wanita ahli kitab, ini adalah mazhab mayoritas fuqaha dan ahli tafsir. Hal ini sebgaimana tampak dalam teks di bawah ini.

ظاهر الآية جواز نكاح الكتابية . وهذا مذهب أكثر الفقهاء والمفسرين .

Akan tetapi pembolehan tersebut bersifat makruh sebagaimana yang disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili, bahwa mazhab Hanafi berpendapat, seorang muslim makruh menikah
dengan perempuan Ahli Kitab dan ahli dzimmah. Karena Umar berkata kepada orang-orang yang kawin dengan perempuan ahli kitab, “Ceraikanlah mereka”. Maka para sahabat menceraikan mereka, kecuali Hudzaifah.  Kemudian, Umar berkata kepadanya, “Ceraikanlah dia.” Maka Hudzaifah bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa dia haram?” Umar kembali berkata kepadanya, “Dia minum minuman keras.” Hudzaifah kembali berkata “Aku telah mengetahui dia minum minuman keras, akan tetapi dia halal bagiku.” Setelah lewat beberapa waktu, dia ceraikan istrinya tersebut. Lalu ada orang yang berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak menceraikannya manakala Umar memerintahkan hal itu kepadamu?” Dia menjawab, “Aku tidak mau manusia melihat aku melakukan suatu perkara yang tidak selayaknya aku
lakukan”. (az-Zuhaily, 2011 : 272)

Permasalahannya adalah, siapakah yang dimaksud ahli kitab itu? Untuk ini para ulama memiliki pendapat yang berbeda.

Ibnu Katsir mengutip pendapat bahwa yang dimaksud ahli kitab adalah Israiliyyat dan ini adalah pendapat mazhab asy-Syafi’i. Ada yang menyatakan ahli kitab adalah kelompok dzimmi (non muslim yang dalam perlindungan pemerintah Islam)  bukan harbiyat (non muslim yang menyatakan perang dengan pemerintah Islam).( Ibnu Katsir, III : 42)  Jumhur ulama membatasi ahli kitab hanya kepada Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada Taurat dan Injil bukan yang lain.

Demikian pula, siapakah yang dimaksud al-muhshanat dalam ayat di atas?

Ibnu al-Jauzi dalam Zad al-Masir menyatakan, dalam menafsirkan al-muhshanat ada dua penafsiran, pendapat pertama menyatakan wanita merdeka atau bukan budak sebagaimana pendapat Ibnu Abbas. Pendapat kedua, wanita yang pandai menjaga kehormatan diri sebagaimana pendapat al-Hasan, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, adh-Dhahhak, dan as-Suddi. Menurut pendapat ke dua ini boleh menikahi wanita ahli kitab baik merdeka atau budak dengan syarat mereka wanita baik-baik yang bisa menjaga kehormatan diri. ( Ibnu al-Jauzi, II : 173)

Alasan yang dipakai kelompok ini adalah petunjuk zahir dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menyatakan:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (5)

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

Pendapat Yang Melarang

Minoritas ulama melarang pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab. Tokoh utama kelompok ini adalah Ibnu Umar, Ibnu Hazm dan juga kalangan Syiah Imamiyah.(Ali Bin Nayif asy-Syuhud, t.t, II : 37)

Ibnu Umar salah seorang sahabat Nabi dengan tegas melarang pria muslim menikahi wanita ahli kitab. Kecenderungan ini juga semakin didukung oleh ulama mutaakhirin di mana dampak negatif pernikahan antar agama semakin nyata, sementara tujuan dan hikmah dari menikahi wanita ahli kitab semakin sulit tercapai. Ibnu Katsir menukil sikap Ibnu Umar yang melarang menikahi ahli kitab khususnya Nashrani dengan mengatakan,  “Aku tidak tahu syirik yang lebih besar daripada perkataan sesunguhnya Tuhannya adalah Isa, padahal Allah telah berfirman,  “Dan janganlah kamu menikahi  wanita musyrik sampai ia beriman.( Ibnu Katsir, III : 42)

Hikmah Pembolehan Nikah dengan Ahli Kitab

Hikmah pembolehan pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab menurut Wahbah Az-Zuhaili adalah sebagai berikut;

Hikmah nikahnya seorang laki-laki muslim dengan seorang perempuan Yahudi dan Nashrani bukan sebaliknya adalah, seorang muslim, beriman terhadap semua Rasul dan dengan semua agama dalam asalnnya yang benar, maka tidak ada bahaya dari suami terhadap aqidah dan perasaan istrinya. Sedangkan orang yang non Muslim yang tidak percaya terhadap Islam, terdapat bahaya yang mengintai yang membuat istrinya terpengaruh terhadap agamanya, mengingat perempuan biasanya lebih mudah terpengaruh dengan suaminya. Dalam hal ini keamanan aqidah istri jelas terancam.(az-Zuhaili, 2011 : 150)

Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Non Muslim Non Ahli Kitab

Pernikahan model ini, sepakat para ulama akan keharamannya.

Alasan yang dipakai di antaranya ayat berikut ini :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221)

”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu…” (QS: al-Baqarah:221).

Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir menegaskan :

دلت الآية على أن زواج المسلم بالمرأة المشركة كالوثنية والبوذية والملحدة لا يصح بحال. أما المرأة الكتابية (اليهودية أو النصرانية) فقد أباح الشرع التزوج بها بقوله تعالى: وَالْمُحْصَناتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ- مهورهن- مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسافِحِينَ [المائدة 5/ 5] . والمحصنات: العفائف. التفسير المنير للزحيلي (2/ 292)

Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan pria muslim dengan wanita musyrikah seperti penyembah berhala (pagan), Budha dan Ateis tidak sah. Adapun wanita Kitabiyah (Yahudi dan Nashrani) maka syarak membolehkan menikahinya dengan dasar firman Allah, (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik (al-Maidah ayat 5). al-Muhshanat di sini adalah yang bisa menjaga kehormatan dirinya.( az-Zuhaili, II : 292)

Adapun dalil Alquran yang menjelaskan larangan menikahi non muslim atau musyrik terdapat pada ayat berikut ini:

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka,”( QS: Al-Baqarah 221)

Pernikahan Pria Non Muslim dengan Muslimah

Pernikahan antara muslimah dengan pria non muslim sepakat ulama akan keharamannya alias tidak boleh dan tidak sah jika dilakukan. ( Abu Malik, III : 93) hal ini sebagaimana dapat dibaca dari kutipan di bawah ini.

أما المسلمة فلا يحلُّ لها الزواج بالكافر: سواء كان من أهل الكتاب أو من غيرهم، صحيح فقه السنة وأدلته وتوضيح مذاهب الأئمة (3/ 93)

Alasan ulama yang melarang ini sangat kuat yakni berdasar firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 :

لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi orang-orang non-Muslim itu dan orang-orang non Muslim itu tiada halal pula bagi mereka,” (QS: Al-Mumtahanah 10).

Mengomentari potongan ayat tersebut Ibnu Katsir menyatakan :

وقوله: { لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن } هذه الآية هي التي حرمت المسلمات على المشركين، وقد كان جائزا في ابتداء الإسلام أن يتزوج المشرك المؤمنة؛ تفسير ابن كثير / دار طيبة (8/ 93)

Firman Allah “Mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi orang-orang non-Muslim itu dan orang-orang non Muslim itu tiada halal pula bagi mereka,” ayat ini yang mengharamkan wanita muslimat dinikahi pria musyrik, walaupun di awal Islam diperbolehkan seorang musyrik menikahi wanita mukminah. ( Ibnu Katsir, VIII : 93)

Pernikahan Beda Agama Menurut Muhammadiyah

Dalam sidang Muktamar Tarjih ke-22 pada tahun 1989 di Malang, para ulama Muhammadiyah telah menetapkan keputusan bahwa pernikahan beda agama hukumnya tidak sah. Laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik (Hindu, Budha, Konghuchu atau agama selain Islam lainnya). Begitupun dengan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) hukumnya juga haram. Menurut ulama Muhammadiyah, wanita ahlul kitab di zaman sekarang berbeda dengan zaman Nabi dahulu. Selain itu menikahi wanita beda agama juga mempersulit membentuk keluarga sakinah yang sesuai syariat Islam. (https://fatwatarjih.or.id/hukum-nikah-beda-agama/, diakses 23 November 2021)

Pandangan Legislasi

Larangan pernikhan beda agama pernah digugat di Mahkamah Konstitusi. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai mengenai syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama. Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, saat membacakan putusan bernomor 68/PUU-XII/2014 di MK. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55828be906c8b/inilah-babak-akhir-judicial-review-kawin-beda-agama, diakses 23 November 2021)

Sementara itu edaran surat dari Mahkamah Agung per tanggal 30 Januari 2019 No. 231/PAN/HK.05/1/2019 poin 2 yang menjelaskan soal pencatatan perkawinan beda agama.

“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).” (https://kumparan.com/millennial/pernikahan-beda-agama-dalam-hukum-indonesia-1rHQnHmv9IA/full, diakses 23 November 2021)

Dalam perkembangannya, MA juga mengeluarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang pada intinya dijelaskan bahwa untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

SEMA ini lahir untuk merespon kegelisahan masyarakat karena belakangan banyak pasangan beda agama mengajukan penetapan nikah beda agama ke PN untuk bisa dicatat di catatan Sipil.

Perkawinan beda agama di Indonesia memang masih menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Dalam peraturan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 8 huruf (f) menjelaskan: “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.“

Senada dengan ketentuan di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI)  menyatakan dalam pasal 40 huruf (c), “dilarang melangsungkan perkawinan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.(Amir Syarifuddin, 2014:139-140,

Penutup

Sah tidaknya pernikahan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Hal tersebut berarti bahwa sah dan tidaknya perkawinan dikembalikan ke ajaran agamanya masing-masing. Bagi orang Islam harus dikembalikan ke fikih munakahat.

Pandangan hukum positif di Indonesia sebagaimana tercermin dalam ketentuan UU Perkawinan dan KHI, ditambah fatwa MUI dan Ormas Islam besar Indonesia NU dan Muhammadiyah,  pada dasarnya senafas bahwa pernikahan antar agama sepakat dilarang dan tidak diberi tempat sama sekali. Jadi tidak perlu melanggar kesepakatan ini.

Ingat, menikah bukan semata persoalan perdata belaka, dalam Islam nikah memiliki dimensi ibadah yang cukup kental, bahkan ibadah terlama yang umumnya dijalani umat manusia. Ibadah terlama ini jangan sampai dinodai dengan hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT. Menikah sesama aqidah jelas lebih selamat dan menentramkan hati, dan yang pasti jauh dari kontroversial di tengah keluarga dan masyarakat.

Daftar Pustaka

Ali Mutakin, “FATWA PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA: Kajian atas Fatwa-Fatwa NU, MUI dan Muhammadiyyah (INDONESIAN FATWAS ON INTERFAITH MARRIAGE: Study on the Fatwa of NU, MUI, and Muhammadiyyah).” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 14.1 (2021).

Amir Syarifuddin,  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. V, (Kencana, Jakarta, 2014)

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Cet. I, (Jakarta : Dian Rakyat, 1986)

Danu Aris Setiyanto, “Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 Dalam Persperktif HAM.” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 9.1 (2017): 13-30.

Fathul Mu’in, “ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA.” Nizham Journal of Islamic Studies 7.01 (2019): 91-105.

https://republika.co.id/berita/q44bao320/nikah-beda-agama-menurut-fatwa-mui-nu-dan-muhammadiyah

Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Juz II, Semarang : Maktabah Thoha Putra, t.th.

M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Cet. I, (Yogyakarta : Total Media, 2006)

Niswatul Faizah, “PERKAWINAN ANTAR AGAMA (“Fiqh Perbandingandan Fiqh Kontemporer”).” Jurnal Pro Justice: Kajian Hukum dan Sosial 1.1 (2019): 91-100.

Resfializ Bahri Syams, Implikasi Hukum Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014. Diss. Universitas Andalas, 2016.

Software al-Maktabah al-SyamilahVersi 3.62.

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 9, Damaskus : Dar al-Fikr, t.th.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button