Perihal Adzan Jumat Sekali Atau Dua Kali
Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah)
Perbedaan fikih yang mudah ditemukan di tengah masyarakat adalah soal adzan Salat Jumat. Ada yang sekali dan ada yang dua kali. Muhammadiyah dalam hal ini mengunggulkan yang adzan sekali.
Asal muasal perbedaan jumlah adzan ini bisa disimak dari riwayat di bawah ini.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ) صحيح البخاري – (ج 3 / ص 440)
“ Dari Sa`ib bin Yazid ia berkata : “ Biasanya adzan pada hari Jum’at dilakukan mulanya ketika imam naik mimbar pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar RA. Pada masa Usman di kala manusia bertambah banyak, beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura`[1]”.[2] ( Sahih al-Bukhari : 3/440). Hadis ini juga diriwayatkan al-Baihaqy dan empat imam hadis serta asy-Syafi’i.
Pertimbangan Muhammadiyah mengunggulkan adzan sekali karena ini adalah amalan yang dicontohkan Nabi, dan dua sahabat utamanya Abu Bakar dan Umar.
Selain itu, terdapat atsar dari Ibnu Umar yang berbunyi :
عن ابن عمر ، قال : إنما كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إذا قعد على المنبر أذن بلالٌ ، فإذا فرغ النبي – صلى الله عليه وسلم – من خطبته اقام الصلاة ، والاذان الأول بدعة ) فتح الباري لابن رجب – (ج 6 / ص 205)
“ Dari Ibnu Umar ia berkata : “ Hanyalah jika Rasulullah telah naik mimbar Bilal beradzan, jika beliau telah selesai dari khutbahnya iqamat dilakukan, dan adzan awal itu bid’ah “.( Fath al-Bari li Ibni Rajab : 6/205).
Atsar dari Ibnu Umar yang kedua menyatakan:
وروى وكيع في (كتابه ) عن هشام بن الغاز ، قال : سألت نافعاً عن الأذان يوم الجمعة ؟ فقالَ : قالَ ابن عمر : بدعةٌ ، وكل بدعة ظلالة ، وإن رآه الناس حسناً) فتح الباري لابن رجب – (ج 6 / ص 205)
“ Diriwayatkan dari Waki’ dalam Kitabnya dari Hisyam bin al-Ghaz ia berkata, “ Aku bertanya Nafi’ tentang adzan (tambahan) pada hari Jum’at, maka ia menjawab, ‘ berkata Ibnu Umar, itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat walaupun dipandang baik oleh manusia banyak”. ( Fath al-Bari li Ibni Rajab : 6/205)
Dalam hal ini pensyarah Sunan Tirmidzi, al-Mubarakfuri punya penjelasan menarik :
وَمِنْ ذَلِكَ أَذَانُ الْجُمُعَةِ الْأَوَّلُ زَادَهُ عُثْمَانُ لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهِ وَأَقَرَّهُ عَلِيٌّ وَاسْتَمَرَّ عَمَلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ ، وَرُوِيَ عَنْ اِبْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ هُوَ بِدْعَةٌ وَلَعَلَّهُ أَرَادَ مَا أَرَادَ أَبُوهُ فِي التَّرَاوِيحِ اِنْتَهَى مُلَخَّصًا) تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 475)
“ Dari itu, adzan Jum’at yang pertama yang ditambahkan Usman karena ada hajat manusia terhadapnya serta ditetapkan oleh Imam Ali dan terus diamalkan oleh kaum muslimin, diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya ia berkata, ‘bid’ah’ barangkali yang dimaksud sama ketika ayahnya membid’ahkan tarawih berjamaah”. ( Tuhfadz al-Ahwadzi : 6/475)
Menarik juga untuk direnungkan pernyataan Sufyan ats-Tsauri berikut ini:
وقال سفيان الثوري : لا يؤذن للجمعة حتى تزول الشمس ، وإذا أذن المؤذن قام الإمام عى المنبر فخطب ، وإذا نزل أقام الصلاة ، قال : والأذان الذي كان على عهد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وأبي بكر وعمر أذان وأقامة ، وهذا الأذان الذي زادوه محدثٌ.
“ Berkata Sufyan ats-Tsauri, “ Adzan Jum’at tidak dilakukan kecuali matahari sudah bergeser. Jika muadzin telah selesai beradzan, imam berdiri untuk berkhutbah, jika imam selesai khutbah dan turun dari mimbar lantas diiqamati. Sufyan berkata, ‘ Adzan yang dipraktekkan pada zaman Nabi SAW dan Abu Bakar serta Umar adalah adzan sekali dan iqamat sekali, sedang adzan yang ditambahkan dari ini adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia”. ( Fath al-Bari li Ibni Rajab : 6/205)
Pendapat yang membid’ahkan adzan pertama juga dinukil dari Ishaq bin Rahawaih :
عن إسحاق بن راهويه : أن الأذان الأول للجمعة محدث ، احدثه عثمان.) )فتح الباري لابن رجب – (ج 6 / ص 206)
“ Dari Ishaq bin Rahawaih bahwa adzan awal untuk Salat Jum’at adalah muhdats ( perkara yang diadakan/bid’ah), yakni diadakan oleh Usman”. ( Fath al-Bari: 6/206).
Dalam kitab Talkhis al-Habir, Ibnu Hajar menceritakan bahwa Imam Syafi’i meriwayatkan dari Atha`, bahwa Atha` mengingkari kalau Usmanlah yang membuat adzan tambahan itu. Menurutnya, Usman hanya membuat sebuah peringatan. Yang membuat adzan tambahan adalah Mu’awiyah.[3]
Imam asy-Syafi’i sendiri dalam kitab al-Umm buah karyanya condong kepada adzan sekali saja sebagaimana beliau nyatakan :
(قال الشافعي) وأحب أن يكون الاذان يوم الجمعة حين يدخل الامام المسجد ويجلس على موضعه الذى يخطب عليه خشب أو جريد أو منبر أو شئ مرفوع له أو الارض فإذا فعل أخذ المؤذن في الاذان فإذا فرغ قام فخطب لا يزيد عليه (قال الشافعي) وأحب أن يؤذن مؤذن واحد إذا كان على المنبر لا جماعة مؤذنين )الأم – (ج 1 / ص 224)
“ Berkata Imam asy-Syafi’i: “ Dan saya lebih menyukai jika adzan pada hari Jum’at itu dilakukan ketika imam masuk ke dalam masjid dan duduk di tempat ia menyampaikan khutbah baik di atas kayu, pelepah, atau mimbar atau apa saja yang letaknya ditinggikan baginya atau di atas tanah. Jika sudah siap berkhutbah, muadzin segera beradzan, jika telah selesai adzan, imam segera berdiri untuk berkhutbah tidak ada tambahan atasnya selain itu. Asy-Syafi’i berkata, “ Saya lebih menyukai jika yang beradzan itu seorang saja ketika imam sudah di atas mimbar, bukan dua muadzin.” ( al-Umm : 1/224)
Riwayat Atha` mengingkari tambahan adzan yang mengadakan Usman bisa ditemukan dalam kitab al-Umm yang kami nukil di bawah ini.
(قال الشافعي) وقد كان عطاء ينكر أن يكون عثمان أحدثه ويقول أحدثه معاوية والله أعلم الأم (6 أجزاء) (1/ 224)
Berkata asy-Syafi’i : Atha` mengingkari Usmanlah yang mengada-adakan adzan tambahan, lantas ia berkata, Muawiyahlah yang mengada-adakan itu. Wallahu a’lam.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa siapa saja dari dua orang tersebut yang mengadakan, maka beliau lebih menyukai yang dipraktekkan di zaman Nabi yakni adzan hanya sekali. Lihat pernyataan beliau di bawah ini.
(قال الشافعي) وأيهما كان فالامر الذى على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أحب إلى ) الأم – (ج 1 / ص 224)
Menurut satu riwayat, Imam Malik pun cenderung berpendapat adzan Jum’at itu sekali saja, sebagaimana terdapat dalam Syarh Ibnu Bathal :
فروى عنه ابن عبد الحكم قال: إذا جلس الإمام على المنبر ونادى المنادى منع الناس من البيع تلك الساعة، وهذا يدل أن النداء عنده واحد على ما فى هذا الحديث، ونحوه عن الشافعى )شرح ابن بطال – (ج 4 / ص 121)
“ Diriwayatkan Ibnu Abdil Hakam dari Imam Malik bahwa beliau berkata : Jika imam telah duduk di mimbar, dan muadzin telah mengumandangkan adzan maka manusia terlarang untuk melakukan transaksi jual beli saat itu, ini menunjukkan bahwa di sisi Malik adzan itu sekali sebagaimana kandungan hadis, pendapat serupa juga berasal dari asy-Syafi’i”. ( Syarh Ibnu Bathal : 4/121)
Namun di sisi lain, banyak juga ulama yang mengamalkan adzan dua kali untuk panggilan saat Jumat seperti dikemukakan oleh Ibnu Qudamah seorang tokoh ulama mazhab Hanbali, dalam hal ini beliau menulis :
والنداء الاول مستحب في أول الوقت، سنه عثمان رضي الله عنه وعملت به الامة بعده وهو للاعلام بالوقت، والثاني للاعلام بالخطبة، والثالث للاعلام بقيام الصلاة ) الشرح الكبير لابن قدامة – (ج 2 / ص 188)
“ Dan adzan pertama hukumnya mustahab (sunnah) di awal waktu, hal ini diprakarsai oleh Usman RA dan diamalkan oleh umat Islam sesudahnya. Adzan pertama ini bertujuan sebagai pemberitahuan telah masuk waktu. Sedang adzan kedua bertujuan untuk memberitahu khutbah, dan adzan ketiga (iqamat) bertujuan memberitahu salat akan didirikan.” ( asy-Syarh al-Kabir li Ibni Qudamah : 2/188) :
Sebagai penutup, tampaknya hujjah ulama yang memilih adzan sekali sedikit lebih kuat dengan bukti dan alasan sebagai berikut :
- Adzan sekali mengikuti sunnah Nabi SAW yang hanya adzan sekali ketika imam naik mimbar.
- Mengikuti sunnah Abu Bakar dan Umar, di mana dalam hadis riwayat di bawah ini kita disuruh mengikutinya sepeninggal Nabi SAW.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
Dari Hudzaifah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : Taatilah dua orang sepeninggalku, yakni Abu bakar dan Umar. (HR Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi)
- Hadis yang menyuruh kita mengikuti sunnah khulafaurrasyidin yang sering dipakai hujjah ulama yang menyunnahkan adzan dua kali, pada saat yang sama juga dalil itu berlaku bagi pendukung adzan sekali, karena perintah mengikuti khulafaurrasyidin juga termasuk di dalamnya mengikuti sunnah Abu Bakar dan Umar.
- Alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Sayyidina Usman menambah adzan pertama, untuk konteks zaman sekarang kebanyakan sudah kurang relevan lagi. Alasan untuk mengingatkan orang banyak dapat dijawab, sekarang ini alat atau media untuk mengingatkan bahwa hari ini hari Jum’at sudah ada banyak kalender lengkap dengan jadwal salat yang dimiliki hampir semua keluarga. Hampir tiap orang memegang HP yang tentunya berisi hari dan tanggal serta tidak sedikit yang menginstal aplikasi jadwal salat. Untuk memberitahu bahwa sebentar lagi mau Jum’atan zaman sekarang masjid-masjid sudah nyetel alunan ayat suci lewat pengeras suara paling tidak setengah jam sebelum azan dikumandangkan. Selain itu, jarak antar masjid yang menyelenggarakan salat Jum’at juga relatif dekat, apalagi di kota-kota, jarak antar masjid terkadang hanya puluhan atau ratusan meter saja. Sementara di zaman sayyidina Usman, dan masa sesudahnya dalam satu kota umumnya hanya diselenggarakan satu Jum’atan di masjid Jami’.
Jadi masalah adzan sekali atau dua kali adalah masalah khilafiyah fikih murni, tidak perlu saling menyalahkan karena perbedaan pilihan tersebut. Jika Muhammadiyah mengunggulkan adzan sekali bukan berarti menyalahkan yang melakukan dua kali. Wallahu a’lam.
[1] Zaura’ adalah sebuah tempat yang terletak di pasar kota Madinah saat itu.
[2] Penjelasan hadis ini dapat dibaca dalam Fath Al-Bari Li Ibni Hajar : 3/318. Fath al-Bari Li Ibni Rajab : 6/204 dst. Asy-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaq al-Akhbar Min Ahadis Sayyid al-Akhyar, Cet. III, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), Juz III , hlm. 277-278.
[3] Periksa at-Talkhis al-Habir : 2/215.