Oleh : Dr H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Majelis Tabligh PWM Jateng)
Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan termasuk suami istri apakah membatalkan wudhu menjadi salah satu isu khilafiyah fikih yang mudah dirasakan sehari-hari di masyarakat.
Di kalangan ahli fikih paling sendiri paling sedikit ada tiga pendapat. Pendapat pertama tidak batal sama sekali baik sentuhan bersyahwat atau tidak, karena yang membatalkan adalah bersetubuh. Ini dikemukakan kalangan Hanafiyah. Pendapat kedua, batal jika disertai syahwat, ini dikemukakan kalangan Malikiyah dan yang masyhur Hanabilah. Ketiga, membatalkan wudhu baik sengaja maupun tidak, ada syahwat atau tidak kalau bersentuhan kulit dengan wanita ajnabi (bukan mahram). Pendapat ini dikemukakan kalangan Syafi’iyyah.
Tulisan ini fokus pada perbedaan tafsir kata lamastum an-nisa` dalam al-Maidah ayat 6 dan an-Nisa` ayat 43. Karena lamastum an-Nisa` ada yang memahami sentuhan biasa, ada yang memahami sentuhan dengan syahwat karena memperhatikan hadis-hadis terkait, serta ada yang memahami jimak.
Surat al-Maidah ayat 6 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Surat an-Nisa` ayat 43
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ…
“…atau kamu menyentuh wanita…”[1]
Dalam membaca kata lamastum terdapat perbedaan qira’at. Ibn Katsir, Nafi’, ‘Asim, Abu Amer dan Ibn ‘Amir membaca laamastum dengan memanjangkan laa, sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca lamastum.[2]
Kalimat أو لامستم النساء oleh ulama yang berpendapat batal dimaknai secara hakiki yakni menyentuh biasa kulit dengan kulit. Sahabat yang memahami seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.[3]
قَالَ ابْنُ عُمَرَ : قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ ) أحكام القرآن لابن العربي – (ج 2 / ص 386(
“ Ibnu Umar berkata, “ Ciuman seorang suami terhadap istrinya dan sentuhan dengan tangan termasuk dalam kategori mulamasah”. ( Ahkam al-Qur`an li Ibni al-‘Arabi : 2/386)
Sebagian sahabat memahami ayat ini dengan arti majazi yakni bersetubuh, bukan sentuhan biasa. Sahabat dan tabi’in yang memiliki penafsiran seperti ini, menurut penuturan al-Jashash adalah Imam Ali Karramallahu Wajhah, Ibnu Abbas, Abu Musa, al-Hasan, Ubaidah dan asy-Sya’bi.[4]
Ibnu Abbas sebagai pakar tafsir yang digelari Tarjuman al-Qur`an menjelaskan, jika kata lams dikaitkan dengan wanita maka makna yang dikehendaki tidak lain adalah jimak atau bersetubuh.[5] Untuk menguatkan pendapatnya, beliau mengemukakan beberapa bukti ayat al-Qur`an yang maknanya adalah bersetubuh.
Pertama surat al-Baqarah ayat 237 yang berbunyi :
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ…
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu menyentuh (bercampur) mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.
Maksud menyentuh di ayat ini jelas bukan sentuhan kulit, tapi maksudnya adalah mencampurinya (menyetubuhinya).
Kedua Surat al-Ahzab ayat 49 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَكَحْتُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Ketiga Surat Maryam ayat 20 :
قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِى غُلَٰمٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِى بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”
Pembaca bisa memperhatikan baik-baik pada kata yang dicetak tebal dan bergaris, semua arti harfiahnya adalah menyentuh, karena konteksnya adalah terhadap wanita, maka jelas yang dimaksud adalah bersetubuh bukan sentuhan biasa. Sangat tidak masuk akal kalau yang dimaksud Maryam dalam ayat tersebut adalah sentuhan pria biasa. Karena dikaitkan dengan kehamilan atau punya anak, maka konteksnya sentuhan itu adalah dicampuri.
Ibnu Abbas mengatakan, bahwa Allah itu malu, mulia dan menjaga kesopanan, makanya menyebut persetubuhan dengan kata lams.[6]
Menguatkan pendapat di atas, penulis kitab Bahr ar-Ra`iq mengatakan, “ sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih, jika kata lams disertai dengan wanita maka makna hakikinya adalah bersetubuh, hal ini dikuatkan kata mulaamasah (saling bersentuhan) mengunakan wazan mufaa’alah dari kata lams ini terjadi antara dua orang lebih.[7]
Membawa makna sentuhan ke makna majazi didukung oleh hadis-hadis di bawah ini.
- Hadis dari Aisyah :
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ )سنن الترمذي – (ج 1 / ص 143 ) (سنن ابن ماجه – ج 2 / ص 113) مسند أحمد -ج 52 / ص 241 , سنن الدارقطني – (ج 2 / ص 57 ([8]
“ Dari Urwah dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk salat dan tidak berwudhu lagi”. ( Sunan at-Tirmidzi : 1/143, Sunan Ibnu Majah : 2/113, Musnad Ahmad : 52/241, Sunan ad-Daruquthni :2/ 57).[9]
Hadis ini didha’ifkan oleh al-Bukhari,[10] juga al-Baihaqi, dianggap tidak sahih oleh Ibnu Hazm. Namun segolongan ulama mensahihkan hadis tersebut seperti Ibnu Jarir, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Katsir, Ibnu Turkumani, az-Zaila’i, Ahmad Syakir, al-Albani, Bin baz dan lain-lain.[11] Hadis ini dianggap mursal[12] karena Ibrahim at-Taimiy tidak mendengar langsung dari Aisyah.[13]
Walau sebagian ulama menyatakan hadis di atas adalah hadis dha’if, namun asy-Syaukani punya penjelasan yang menarik sebagaimana dikutip al-Mubarakfuri sebagai berikut :
لَكِنْ قَالَ الشَّوْكَانِيُّ فِي النَّيْلِ : الضَّعِيفُ مُنْجَبِرٌ بِكَثْرَةِ رِوَايَاتِهِ وَبِحَدِيثِ لَمْسِ عَائِشَةَ لِبَطْنِ قَدَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَالِاعْتِذَارُ عَنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي لَمْسِهَا لِقَدَمِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا ذَكَرَهُ اِبْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتْحِ مِنْ أَنَّ اللَّمْسَ يُحْتَمَلُ أَنَّهُ كَانَ بِحَائِلٍ أَوْ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ خَاصٌّ بِهِ تَكَلُّفٌ وَمُخَالَفَةٌ لِلظَّاهِرِ اِنْتَهَى كَلَامُهُ[14]
“ Akan tetapi berkata asy-Syaukani dalam an-Nail :
“ Kedha’ifan hadis Aisyah ini menjadi pulih kembali dengan banyaknya riwayat tentangnya serta dengan hadis sentuhan Aisyah terhadap telapak kaki Nabi SAW. Alasan yang dikemukakan Ibnu Hajar dalam al-Fath bahwa hadis Aisyah yang menyentuh telapak itu kemungkinan bahwa Nabi memakai lapik atau itu khas untuk Nabi adalah tindakan takalluf ( memberat-beratkan diri) dan bertentangan dengan zhahir ”.[15]
Bantahan serupa juga dilakukan ash-Shan’ani dan pengarang Hasyiah as-Sindi ‘ala Ibni Majah,[16] hadis di atas dikuatkan pengertiannya dengan hadis sahih lain dari Aisyah seperti hadis :
- Hadis Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ) صحيح مسلم – (3 / 36)
“ Dari Aisyah bahwasanya ia berkata : “ Suatu malam aku kehilangan Rasulullah SAW dari tempat tidur, lantas aku mencarinya dalam gelap, maka tanganku menyentuh tumit kaki beliau ketika di masjid, kedua telapak kaki itu sedang dipakai sujud”. (Sahih Muslim : 3/36)
Hadis tersebut memberikan penjelasan, Siti Aisyah menyentuh Nabi SAW yang sedang salat dan tidak ada riwayat beliau menghentikan salatnya karena menganggap wudunya batal. Hal itu mengisyaratkan sentuhan suami istri tidak membatalkan wudhu.
Imam an-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan, bahwa dalam kasus orang yang tersentuh maka wudhunya tidak batal menurut Imam asy-Syafi’i dan selain beliau. Bagi yang yang memahami orang yang tersentuh pun wudhunya batal-ini dianggap yang lebih rajih menurut sahabat-sahabat kami-pengertian hadis Aisyah tersebut dibawa ke pengertian bahwa Rasul waktu itu memakai pelapis, maka yang demikian itu tidak membatalkan wudhu ( Syarh an-Nnawawi ‘ala Muslim 2/236).
- Hadis Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ )صحيح البخاري – (2 / 134)
“ Dari Aisyah istri Nabi SAW bahwasanya ia berkata : “ Saya pernah tidur di depan Rasulullah SAW dan kedua kakiku menghadap beliau, maka apabila beliau bersujud, beliau memijit saya, lalu aku tarik kakiku, kemudian jika beliau berdiri saya ulurkan lagi kakiku. Aisyah berkata : ‘ Rumah-rumah kala itu tidak berlampu’. ( Sahih al-Bukhari : 2/134)
Dalam hadis tersebut terkandung informasi Nabi memijit kaki Siti Aisyah dan Nabi melanjutkan salatnya, hal ini menunjukkan tidak batalnya wudhu akibat sentuhan suami istri.
- Hadis Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي وَإِنِّي لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِي بِرِجْلِهِ ِ )سنن النسائي – (1 / 288)
“ Dari Aisyah ia berkata : “ Pernah Rasulullah SAW salat dan aku tidur melintang di depan beliau sebagaimana melintangnya jenazah, sehingga jika beliau hendak salat witir beliau menyentuh saya dengan kakinya”. ( Sunan an-Nasa`i : 1/288)[17]
Ash-Shan’ani juga mengkritik penafsiran Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya yang mengatakan bahwa sentuhan Aisyah dengan Nabi dalam hadis tersebut boleh jadi dengan lapik/kain atau hal itu khusus bagi Nabi, ini adalah penafsiran yang jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan zhahirnya.[18]
Pentarjihan pendapat
Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang, persentuhan kulit laki-laki dan perempuan termasuk suami istri tidak membatalkan wudhu. Tarjih juga cenderung kepada pendapat bahwa maksud lamastum adalah jama’tum yang berarti bersetubuh bukan sentuhan biasa.
Apa yang dipilih tarjih sejalan dengan pentarjihan ulama-ulama besar dunia. Pakar mufassir kenamaan Ibnu Jarir at-Thabari serta pensyarah Sunan at-Tirmidzi, al-Mubarakfuri, ash-Shan’ani,[19] mengunggulkan pendapat Imam Abu Hanifah yakni sentuhan pria wanita mutlak tidak membatalkan.
قال أبو جعفر: وأولى القولين في ذلك بالصواب، قولُ من قال:”عنى الله بقوله:”أو لامستم النساء”، الجماع دون غيره من معاني اللمس”، لصحة الخبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، أنه قبّل بعض نسائه ثم صلى ولم يتوضأ. )تفسير الطبري – (8 / 396(
“ Berkata Abu Ja’far : Dari dua pendapat itu yang lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat yang mengatakan maksud Allah dengan firman-Nya au lamastum an-nisa` adalah bersetubuh bukan yang lain, karena sahnya khabar dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau mencium sebagian istrinya kemudian salat tanpa berwudhu lagi”. ( Tafsir ath-Thabari : 8/396)
Hal sama juga dikemukakan al-Mubarakfuri menarjihkan pendapat yang tidak membatalkan wudhu karena bersentuh kulit dengan wanita :
قُلْت : قَوْلُ مَنْ قَالَ إِنَّ مَسَّ الْمَرْأَةِ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ هُوَ الْأَقْوَى وَالْأَرْجَحُ عِنْدِي وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ .) تحفة الأحوذي – (1 / 95)
“ Menurutku ( al-Mubarakfuri), pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudhu itu adalah pendapat yang lebih kuat dan unggul, wallahu ta’ala a’lam”. (Tuhfatul Ahwadzi : 1/95)
Sayyid Quthb dalam tafsirnya juga mengunggulkan pendapat Imam Abu Hanifah yang tidak membatalkan wudhu karena bersentuhan dengan perempuan :
والذي نرجحه في معنى { أو لامستم النساء } أنه كناية عن الفعل الذي يستوجب الغسل .. . )في ظلال القرآن – (2 / 138)
“ dan pendapat yang kami unggulkan dalam memahami ayat أو لامستم النساء adalah pendapat yang memahami sebagai kinayah dari tindakan yang mewajibkan mandi ( bersetubuh)… ( Fi zhilal al-Qur`an : 2/138 )
Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya al-Wasith juga menguatkan tafsir yang menyatakan makna lams di ayat tersebut dengan makna jima’ atau bersetubuh.[20]
Memang, mewajibkan wudhu gegara bersentuhan dengan istri misalnya memang cukup mendatangkan kesulitan dan kerepotan, mengingat keperluan suami istri untuk berinteraksi cukup sering seperti gantian menggendong anak walau setelah wudhu, menyerahkan atau mengambilkan sesuatu yang kemungkinan untuk bersentuhan atau senggolan cukup sering. Juga dalam kasus tawaf, mengikuti pendapat yang membatalkan jelas sangat merepotkan. Jika mengikuti fatwa yang tidak membatalkan tentunya lebih meringankan dan mnedatangkan kemudahan.
Sungguhpun bersentuhan kulit dengan perempuan tidak membatalkan wudhu menurut pendapat terpilih, namun persentuhan yang tidak ada kepentingan/hajat yang penting dan mendesak dengan perempuan lain yang bukan mahram adalah terlarang (dosa) lebih-lebih jika persentuhan itu disertai dengan syahwat dan tindakan lain yang tidak pantas sebagaimana diancam dalam sebuah hadis dari Ma’qil bin Yasar yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan disahihkan oleh al-Albani :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ” )المعجم الكبير للطبراني – (ج 15 / ص 143), )صحيح وضعيف الجامع الصغير – (19 / 323)
“ Sungguh ditusuk kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada ‘menyentuh’ perempuan yang tidak halal baginya”. (al-Mu’jam al-Kabir li ath-Thabrani : 15/143, Sahih wa Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir : 19/323 )
[1] Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, alih bahasa Abdul Hayy al-Kattani dkk., Tafsir al-Munir, Cet. I, Jakarta : Gena Insani Pers, 2013, Jilid III, hlm. 108-109.
[2] Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawai‘u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Juz 1, h. 487.
[3] Tafsir Ibnu Katsir : 2/313 dst.
[4] Lihat misalnya Ahkam al- Qur`an Ibnu al-‘Arabi : 2/386.
[5] Baik dalam al-Qur`an maupun al-Hadis sulit ditemukan penggunaan ungkapan untuk persetubuhan dengan bahasa yang vulgar, mencolok dan ‘saru’, namun dipilih kata kata yang lebih halus, sopan, dan tidak vulgar seperti sebutan rafats, lams, ghasyan, ityan, mubasyarah, ketemunya dua khitan, dukhul bihinna, cabang empat dan sebagainya.
[6] Ibnu al-‘Arabi, Ahkam al-Qur`an : 2/386.
[7] Bahr ar-Ra`iq Syarh Kanz ad-Daqa`iq: 1/170.
[8] Lihat takhrij hadis ini dalam al-Musnad al-Jami’ : 48/351.
[9] Pembaca yang berminat mengetahui seputar kitab-kitab hadis yang dijadikan referensi di kalangan umat Islam Sunni bisa membaca M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadis, Cet. II, (Yogyakarta : Teras, 2009). Dalam buku ini dibahas 15 kitab hadis yang sering dirujuk umat Islam.
[10] Lihat al-Musnad al-Jami’ : 48/351
[11] Abdullah al-Fauzan, Minhat al-‘Allam Syarh Bulugh al-Maram : 249.
[12] Hadis mursal adalah hadis yang dari tabi’in langsung disandarkan kepada Nabi SAW tidak melalui sahabat. Kebanyakan ahli hadis tidak berhujjah dengan hadis mursal karena dinilai dha’if. Lebih jelasnya lihat Subhi as-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, alih bahasa Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Cet. VIII, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 158-160.
[13] Lihat penjelasan Hasbi ash-Shiddieqy dalam, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Jilid I, Cet. I, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm. 219 dst.
[14] Dikutip Tuhfat al-Aahwadzi : 1/95.
[15] Lihat bantahan Imam asy-Syaukani dalam Nail al-Authar : 2/10.
[16] Lihat Hasyiah As-Sindi ‘Ala Ibni Majah : 1/443
[17] Asy-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaq al-Akhbar Min Ahadis Sayyid al-Akhyar, Cet. III, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), Juz I , hlm. 214.
[18] Asy-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaq al-Akhbar Min Ahadis Sayyid al-Akhyar, Cet. III, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), Jilid I , hlm. 213. Periksa juga Subul as-Salam : 1/200.
[19] Pendapat ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam : 1/201.
[20] At-Tafsir al-Wasith : 1/1192.