FiqhTuntunan

Berbeda Dengan Guru, Beda Fikih, Fikih Beda, Masalah?

Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno ( Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng)

Beberapa waktu lalu beredar video pendek atau tulisan yang menginformasikan kalau fikih yang ditulis atau diamalkan KH Ahmad Dahlan sebagian berbeda dengan fikih yang diyakini dan diamalkan warga Muhammadiyah sekarang. Ada kesan mau menggiring opini seolah-olah warga Muhammadiyah sekarang ‘mengkhianati’ ajaran KH Ahmad Dahlan. Bahkan ada buku yang judulnya cukup provokatif, Muhammadiyah itu NU! Di mana fikih Muhammadiyah di masa awal persis atau katakanlah banyak miripnya dengan amaliyah fikih Syafi’i/NU. Kemudian sekarang sudah ‘dibelokkan’ oleh pimpinan Tarjih yang mulai meninggalkan ajaran “asli” KH Ahmad Dahlan. Demikian tampaknya arah tulisan atau video yang beredar itu.

Pertanyaannya, emang berbeda dalam fikih dengan pendiri atau guru itu tabu? dosa? Su`ul adab?

Eits…nanti dulu!

Berbeda pendapat, apalagi dalam dunia fikih adalah perkara biasa, bukan luar biasa dan juga bukan su’ul adab atau dosa. Tentunya berbeda yang bukan asal beda. Mau bukti?

Yang mulia imam asy-Syafi’i adalah salah satu murid Imam Malik yang paling menonjol. Tetapi setelah beliau dewasa dan mumpuni dalam fikih, maka sekian pendapat Imam Malik dikritik dan ditolaknya dan beliau berijtihad sendiri dan punya mazhab sendiri? Apakah Imam Syafi’i sudah melakukan tindakan su’ul adab kepada gurunya? Tentu tidak! Selanjutnya beliau juga berguru ke tokoh utama murid dan sahabat Imam Abu Hanifah,  Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, namun beliau juga tidak menjadi pengikut mazhab Hanafi alias sekian pendapat mazhab Hanafi tidak diikuti bahkan sebagian dibantah dan dikoreksi.

Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad, Imam Zufar adalah sahabat dan murid-murid kenamaan Imam Abu Hanifah. Apakah beliau bertiga selalu sependapat dengan pandangan fikih gurunya? Jawabnya tegas, tidak! Bahkan perbedaan itu demikian sering terjadi. Namun mereka fine-fine saja, biasa-biasa saja dan tetap saling menghormati dan masih dianggap satu mazhab, yakni mazhab Hanafi.

Bagaimana dengan Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam asy-Syafi’i? Beliau berdua ini selain sahabat dekat juga guru dan murid. Namun dalam banyak hal mereka berbeda pandangan, namun persahabatan guru dan murid tidak pernah terusik dengan perbedaan itu.

Ada lagi fenomena intiqal mazhab yakni seorang tokoh meninggalkan mazhabnya semula menuju mazhab lain atau bahkan berijtihad sendiri. Fenomena ini juga banyak ditemukan dalam mazhab Syafi’i seperti Ibnu Jarir at-Thabari yang meninggalkan mazhab Syafi’i menuju mazhab sendiri, juga Abu Tsaur dan al-Muzani yang banyak berbeda pandangan dengan pendapat asy-Syafi’i.

Bahkan sahabat Nabi pun dalam persoalan (sebagian) fikih kemudian berbeda dengan Nabi. Mau bukti juga? Talak tiga di masa Nabi dan Abu Bakar hanya dianggap jatuh talak satu, tapi Umar mengubahnya menjadi jatuh talak tiga. Khalifah Usman berbeda dengan ajaran Nabi SAW dalam soal adzan Salat Jumat. Nabi hanya sekali, sedang Usman menambahi satu lagi. Usman dan Ali mencambuk peminum khamar 80 kali, sedang nabi dan Abu bakar Cuma 40 kali.

Lantas, apakah yang difatwakan atau ditulis sang pendiri otomatis selalu diikuti pengikutnya? Tidak selalu juga.

Kita masih bisa membedakan antara Imam Abu Hanifah dengan Hanafiyah, Imam Malik dengan Malikiyah, Imam asy-Syafi’i dengan Syafi’iyyah dan seterusnya. Artinya, apa yang dipilih imam pendiri tidak serta merta itu yang jadi faham muktamad dalam mazhab bersangkutan.

Imam asy-Syafi’i berpendapat hadiah pahala bacaan al-Quran untuk mayat tidak sampai, tetapi mayoritas Syafi’iyyah berpendapat sampai. Asy-Syafi’i dalam al-Umm lebih menyukai adzan salat Jumat hanya sekali, tetapi Syafi’iyyah menyukai dua kali dan lain-lain.

Guru murid beda mazhab atau pandangan juga mudah ditemukan masa setelah imam mazhab empat di masa lalu tanpa mengurangi kedekatan dan persaudaraan sesama mereka. Ibnu Taimiyah dekat ke mazhab Hanbali, tetapi memiliki murid utama yang menjadi pengikut dan pembela mazhab Syafi’i yakni imam adz-Dzahabi dan Ibnu Katsir penulis kitaf tafsir Ibnu Katsir yang terkenal.

Menurut Imam as-Suyuti banyak ulama yang berpindah dari mazhab satu ke mazhab  lain, bisa disebutkan sebagian kecil di antaranya seperti:

a. Abdul Azis bin Imran al-Khara’i al-Maliki yang berpindah dari mazhab Maliki ke mazhab syaf’i.

b. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam al-Maliki pindah ke mazhab Syaf’i kemudian kembali ke mazhab Maliki dan akhirnya kembali ke mazhab Syafi’i lagi.

c. Ibrahim bin Khalid al-Bagdadi al-Hanafi pindah ke mazhab Syafi’i.

d. Abu Saur meninggalkan mazhabnya semula Hanafi lantas berpindah mengikuti mazhab Syafi’i.

e. Al Amidi al Hambali meninggalkan Mazhabnya dan pindah ke mazhab Syafi’i.

f. Syaikh Muhammad bin Duhan an-Nawawi al-Hambali pindah ke mazhab Syafi’i kemudian mazhab Hanafi.

Ada lagi fenomena pindah mazhab lalu kembali lagi ke mazhab semula seperti yang dilakukan Ibnu Abdil Hakam yang pindah ke Syafi’i lalu kembali lagi ke mazhab Maliki.

Fenomena agak aneh juga bisa terjadi di mana mazhab fikih dengan mazhab kalamnya berbeda. Misalnya az-Zamakhsyari penulis kitab tafsir al-Kasyaf secara fikih bermazhab Hanafi namun dalam hal kalam ia menganut Muktazilah. Demikian juga al-Mawardi, secara fikih menganut mazhab Syafi’i namun secara kalam ia condong sejalan dengan Muktazilah.

Di dunia modern, banyak ulama setelah belajar lintas mazhab akhirnya mazhabnya menjadi ‘gado-gado’  alias tidak terikat dengan mazhab tertentu namun memilih yang rajih dan maslahat seperti tampak pada diri Syaikh Yusuf al-Qardhawi misalnya.

Dalam hal ini, boleh jadi sikap Muhammadiyah seperti yang diambil al-Qardhawi. Tidak terikat dengan mazhab tertentu namun tetap hormat dan apresiatif dengan mazhab-mazhab fikih yang ada. Jadi kalau fikih KH Ahmad Dahlan sebagian berbeda dengan yang diamalkan warga Muhammadiyah sekarang ya fenomena biasa saja tanpa harus digiring ke opini seolah-olah kita tidak setia atau lebih parah lagi menyebut ‘berkhianat’ dengan ajaran sang pendiri. Karena sesuai dengan namanya, Muhammadiyah’ adalah pengikut Nabi Muhammad SAW bukan pengikut membabi buta ulama A atau B. Wallahu A’lam.

Batang, 17 Juli 2023/ 29 Dzulhijjah 1444 H

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button