Oleh. Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag ( Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng)
Dalam hal menyemir rambut, ulama sudah berbeda pendapat, apakah yang lebih utama rambut beruban disemir atau tidak? Imam an-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menyatakan dengan mengutip pendapat al-Qadhi, ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat soal semir dan jenisnya. Sebagain berkata, tidak menyemir itu lebih utama, hal ini diriwayatkan menjadi pendapat Umar, Ali, Ubai dan lain-lain. Sebagian berpendapat, menyemir itu lebih utama, karena segolongan sahabat dan tabi’in dan orang-orang setelah mereka menyemir rambutnya dalam rangka mengamalkan hadis yang diriwayatkan Muslim dan selainnya.
Perbedaan berikutnya soal, bolehkah menyemir dengan warna hitam?
Perbedaan pendapat seputar hukum menyemir rambut dengan warna hitam direkam dengan baik oleh Abu ‘Umar Dubyan bin Muhammad ad-Dubyan dalam Mausu’ah Ahkam ath-Thaharah. Ia menjelaskan, menyemir rambut dengan warna hitam diperbolehkan para ulama dalam peperangan. Namun di luar peperangan hal ini diperselisihkan hukumnya. Sebagian ulama menghukumi haram seperti yang dipegangi ulama mazhab asy-Syafi’i dan didukung sekelompok ulama dari mazhab Hanbali serta diunggulkan an-Nawawi.
Dalam Syarh Sahih Muslim, an-Nawawi menegaskan :
وَمَذْهَبنَا اِسْتِحْبَاب خِضَاب الشَّيْب لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَة بِصُفْرَةٍ أَوْ حُمْرَة ، وَيَحْرُم خِضَابه بِالسَّوَادِ عَلَى الْأَصَحّ ، وَقِيلَ : يُكْرَه كَرَاهَة تَنْزِيه ، وَالْمُخْتَار التَّحْرِيم لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( وَاجْتَنِبُوا السَّوَاد ) هَذَا مَذْهَبنَا . )شرح النووي على مسلم (7/ 204)
Mazhab kami berpendapat, disukai menyemir uban untuk pria dan wanita dengan warna kuning atau merah, dan diharamkan menyemir dengan warna hitam menurut pendapat yang lebih sahih. Ada juga yang berpendapat dimakruhkan dengan karahah tanzih. Pendapat terpilih adalah yang mengharamkan mengingat sabda Nabi SAW, ‘tinggalkanlah warna hitam’, inilah mazhab kami.
Sebagian ulama menghukumi makruh saja jika menyemir warna hitam di luar peperangan. Ini dikemukakan menurut satu pendapat dalam mazhab Hanafi dan Maliki, dan juga satu pendapat dalam mazhab asy-Syafi’i serta yang masyhur dalam mazhab Hanbali. Sebagian lagi menghukumi jaiz tanpa makruh seperti dikemukakan dalam satu pendapat mazhab Hanafi, yang dipilih Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, didukung sebagian sahabat dan juga tabi’in seperti Abu Salamah, Nafi’, Ibnu Jubair, Musa bin Thalhah, dan Ibrahim an-Nakha’i dan lain-lain. Ada lagi yang berpendapat menyemir warna hitam boleh bagi wanita dan terlarang bagi pria seperti dikemukakan oleh Ishak dan al-Hulaimi.
Larangan menyemir warna hitam memang dikemukakan oleh mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, sedang mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali hanya menghukumi makruh saja selain pada waktu jihad/berperang.
Bagaimana dengan pandangan Muhammadiyah?
Pertama, pada dasarnya menyemir rambut kepala, kumis, atau janggut termasuk warna hitam hukumnya boleh. Adapun hadis-hadis terkait perintah menyemir rambut dan larangan warna hitam maksudnya terkait kebijakan Rasulullah SAW untuk tidak menyerupai Yahudi dan Nasrani pada waktu itu.
Kedua, menyemir rambut kepala, kumis, atau janggut dengan warna hitam atau lainnya dengan tujuan pengelabuan (penipuan) atau kesombongan hukumnya haram.
Ketiga, menyemir rambut kepala, kumis, atau janggut dengan tujuan menyerupai sebuah kaum yang berstigma negatif atau kaum yang identik dengan kejahatan dan kemaksiatan hukumnya haram.
Keempat, menyemir rambut kepala, kumis, atau janggut jika dipastikan dari bahan yang diharamkan, maka hukumnya haram.
Muhammadiyah yang dalam bidang muamalah melakukan ta’lil an-nash mencoba menganalisis dari beberapa sisi atau mencoba memahami nash secara komprehensif dan utuh. Majelis Tarjih berkesimpulan, menyemir warna hitam bisa dihukumi haram semisal punya tujuan untuk menipu dan mempedaya orang. Namun menghukumi mubah untuk tujuan yang lain semisal untuk kerapian dan keindahan.
Penjelasan seperti ini juga bisa ditemukan dalam Tuhfat al-Ahwadzi karya al-Mubarakfuri ketika ia mengutip pendapat ulama yang membolehkan menyemir warna hitam:
أَنَّ الْمُرَادَ بِالْخَضْبِ بِالسَّوَادِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ الْخَضْبُ بِهِ لِغَرَضِ التَّلْبِيسِ وَالْخِدَاعِ لَا مُطْلَقًا ، جَمْعًا بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الْمُخْتَلِفَةِ وَهُوَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ . )تحفة الأحوذي (4/ 450)
Bahwasanya yang dimaksud dengan semir warna hitam dalam hadis ini, adalah menyemir dengan tujuan untuk mengecoh dan menipu bukan mutlak larangan semir warna hitam sebagai bentuk mengumpulkan semua hadis yang berbeda-beda. Jika menyemir hitam dengan tujuan menipu maka sepakat hukumnya haram.
Selain itu, tujuan menyemir adalah untuk berbeda penampilan dengan ahli kitab, untuk masa kini khususnya di Indonesia, menyemir bukan lagi sebagai pembeda identitas pemeluk Islam dan ahli kitab.
Selain itu, mengingat ini adalah wilayah muamalah yang sedikit banyak terkait juga dengan adat atau ‘urf suatu masyarakat yang bisa berbeda dan berubah di satu masa dan tempat di negara lain, maka pendekatan ‘urf juga mesti dipertimbangkan. Contoh untuk masyarakat Indonesia, di mana warna rambut ketika masih muda umumnya hitam dan menjelang tua mulai beruban dengan warna putih. Artinya jika ada orang menyemir dengan warna hitam bagi yang memang usianya masih muda tentunya sesuai dengan ‘urf di sini dan tentunya tidak akan menimbulkan ‘keanehan’ dan ‘keganjilan’ di tengah masyarakat.
Namun jika bunyi harfiah hadis yang menyuruh supaya memakai warna lain selain hitam diterapkan, maka jika dipraktekkan di Indonesia malah menimbulkan kesan negatif. Contoh jika ada guru menyemir rambutnya yang beruban dengan warna merah atau kuning yang dianggap sesuai dengan bunyi hadis, kemudian ia masuk ke dalam kelas, bisa dibayangkan apa reaksi murid dan guru-guru yang lain? Apalagi kalau ia berkhutbah di mimbar masjid, justru malah akan menjadi gunjingan dan celaan orang banyak. Karena yang terbiasa menyemir dengan warna-warni itu lazimnya -maaf- anak-anak punk atau jalanan yang tentu berkesan kurang baik. Hal-hal semacam ini juga mestinya menjadi bahan pertimbangan.
Dengan demikian, apa yang diputuskan Majelis Tarjih lebih pas diterapkan dan Insya Allah tidak menimbulkan persoalan tersendiri di tengah-tengah masyarakat kita. Wallahu a’lam.
Menyemir dengan warna selain hitam di negara lain bisa jadi juga tidak ada kesan negatif bisa juga menimbulkan kesan negatif, maka dalam hal ini ‘urf masyarakat setempat perlu dipertimbangkan.
Imam Nawawi sendiri meriwayatakan terdapat sejumlah sahabat yang menyemir dengan warna kuning seperti Ibnu Umar dan Abu Hurairah dan Imam Ali serta beberapa sahabat lain, sebagian lagi menyemir dengan al-hina’ dan al-katm, sebagian dengan za’faran. Ada juga yang menyemir dengan warna hitam seperti yang diriwayatkan hal ini dilakukan Usman, al-Hasan dan al-Husain dua putra Imam Ali, ‘Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abu Burdah dan lain-lain.
Ulama pada umumnya membolehkan menyemir warna hitam ketika mau perang dengan tujuan untuk menggetarkan lawan-lawan yang yang dihadapi seolah-olah masih muda, bukan untuk semata-mata berhias. Sehingga diriwayatkan Usman dan Hasan Husain menyemir jenggot mereka dengan warna hitam dengan maksud untuk menambah kewibawaan atau kegagahan ketika mau berangkat perang.
Selanjutnya perlu juga dikutip di sini pernyataan dari Musa Syahin Lasyin dalam Fath al-Mun’im Syarh Sahih Muslim :
“ Saya condong kepada pendapat, bahwa menyemir rambut atau jenggot dikembalikan kepada ‘urf dan adat kebiasaan. Tuntutan menyelisihi Yahudi dan Nashrani menjadi bukti bahwa faktor pendorong dalam hal ini adalah adat dan pembentukan kepribadian muslim dalam waktu tertentu. Nabi pernah menyuruh untuk menyamai mereka dalam hal yang tidak ada larangan itu, tetapi di lain waktu beliau juga menyuruh umatnya untuk menyelisihi merka sampai dalam masalah penampilan. Maka dari itu wajar jika ada sahabat yang menyukainya dan sebagian tidak menyukainya namun mereka tidak saling mencela.
Mengenai hadis Ibnu Abbas yang terkesan ‘keras’ terhadap pelaku semir hitam, penilaian ulama berbeda-beda. Ada yang mensahihkan seperti Syaikh al-Albani, Syaikh Muqbil bin Hadi, al-Arnauth, Husain Salim Asad, Ahmad Muhammad Syakir, serta Abdullah bin Muhammad bin ash-Shiddiq al-Ghumari. Namun juga ada yang mendhaifkan seperti asy-Syaukani, bahkan memvonis sebagai palsu seperti yang dikatakan al-Qazwaini, al-Fattani, al-Kannani, dan Ibnu al-Jauzi. Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ». (أبو داود ، والنسائى ، وابن سعد ، والبيهقى عن ابن عباس) أخرجه أبو داود (4/87 ، رقم 4212) ، والنسائى فى الكبرى (5/415 ، رقم 9346) ، وابن سعد (1/441) ، والبيهقى (7/311 ، رقم 14601) . (جامع الأحاديث (24/ 234)
Pembahasan lebih jauh tentang topik menyemir rambut warna hitam dilakukan oleh Hakim Muthayyiri dari Universitas al-Kuwait, ia menulis sebuah kitab kecil berjudul al-Is’ad fi Naqdi Ahadis al-Khidhab bi as-sawad.
Penutup
Sebagai penutup, rasa-rasanya apa yang ditulis oleh Abu Umar bin Muhammad Dubyan bin Muhammad ad-Dubyan dalam Mausu’ah Ahkam ath-Thaharah bisa mewakili pembahasan di atas.
Menurut beliau, tidak meyakinkan dari Nabi atas pengharaman semir warna hitam, sedang hukum asal segala sesuatu adalah mubah. Lantas ia mengutip Imam Yahya berkata, ‘ Aku mendengar Imam Malik berkata tentang menyemir rambut dengan warna hitam, “ Aku tidak mendengar dalam hal ini sesuatu yang diketahui, dan dalam hal menyemir aku lebih menyukainya, namun kalau ada orang yang tidak menyemir itupun tidak masalah, dalam hal ini ada kelonggaran. Imam Malik yang menjadi ulama besar di Madinah yang jaraknya belum terlalu lama dengan Nabi saja tidak menemukan adanya larangan yang tegas dalam masalah ini menunjukkan bahwa larangan itu tidak benar dari Nabi. Wallahu a’lam.
Daftar Bacaan
A. Zakaria, dkk., Istifta Tanya Jawab Hukum Islam Kontemporer, (Bandung : Persispers, 2019)
ad-Dimyathi, Ibnu an-Najjar, Mausu’ah al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, ( Mesir : Dar at-Taqwa, 2015)
Al-Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya : Bina Ilmu, 1993), hlm. 124.
az-Zuhaily, Wahbah, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhaya al-Mua’ashirah, Cet. I, (Damaskus : Dar al-Fikr, 2010)
az-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Vol. 1-9 (Dimashq : Dar al-Fikr, 1985)
Khalid bin Abdurrahman al-Juraisy, Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram, Cet. XVIII, (Riyadh : Dar al-Alukah li an-Nasyr, 2014)
د. إسماعيل شندي. “حكم الخضاب في الشريعة الإسلامية (الصبغة).” مجلة جامعة القدس المفتوحة للبحوث الإنسانية والاجتماعية 5 (2017).
الفريح, محمد بن فهد بن عبدالعزيز, and محمد بن فهد بن عبدالعزيز. “أحکام الشَّيب الفقهية.” مجلة کلية الشريعة والقانون بتفهنا الأشراف-دقهلية 21.6 (2019): 5139-5178.
http://www.dr-hakem.com/portals/Content/?info=TlRRMkpsTjFZbEJoWjJVbU1RPT0rdQ==.jsp,
https://ebook.univeyes.com/146432/pdf-الإسعاد-في-نقد-أحاديث-الخضاب-بالسواد, diunduh 6 januari 2022.
http://www.saaid.net/Doat/asmari/fatwa/8.htm, diakses 4 Januari 2022.
https://pwmu.co/93493/04/11/hukum-yang-sebenarnya-soal-menyemir-rambut-dengan-warna-hitam/, diakses 10 Januari 2022.
https://rumaysho.com/790-hukum-menyemir-rambut.html, diakses 23 Desember 2021.
https://www.dakwahmanhajsalaf.com/2019/09/hukum-menyemir-rambut.html, diakses 10 Januari 2022.
Maktabah asy-Syamilah Versi 3.4