Beda Manhaj Fikih Salafi-Muhammadiyah
Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag[1]
Perbedaan, apalagi di dunia fikih adalah biasa bukan sesuatu yang luar biasa. Maka kita menyikapinyapun biasa-biasa saja. Tidak perlu merasa paling pintar atau benar, serta suka memvonis dan menyalah-nyalahkan pendapat yang berbeda.
Salafi dan Muhammadiyah dalam banyak hal memang terdapat kesamaan dan persamaan, namun demikian juga menyisakan sejumlah perbedaan manhaj fikih yang berkonsekuensi juga melahirkan perbedaan fikih di beberapa aspek.
Jangankan beda mazhab atau kelompok, satu maazhab atau kelompok pun tidak luput dari perbedaan fikih itu. Sesama tokoh Salafi juga tidak jarang berbeda pendapat, bahkan perbedaan itu cukup tajam dan menggunakan bahasa pedas untuk menilai lawan pendapatnya. Bagi pembaca yang ingin mengetahui perbedaan fikih tiga tokoh Salafi yakni Syaikh al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin silakan baca kitab al-Ijaz fi Ba’dhi ma Ikhtalafa fihi al-Albani, wa Ibnu Utsaimin wa Ibnu Baz karya Dr Sa’d Abdullah al-Barik setebal lebih dari 800 halaman ( bisa diunduh dengan mengetik judul buku الإيجاز في بعض ما اختلف فيه الألباني وابن عثيمين وابن باز)
Buku ini memaparkan perbedaan tiga tokoh di atas bukan hanya di lapangn fikih, tapi juga di bidang aqidah. Beruntung kita sebagai warga Muhammadiyah, asal taat pada fatwa Majelis Tarjih, perbedaan itu lebih kecil dan tidak sampai menyeruak ke permukaan. Dengan bahasa lain kita lebih selamat dari perbedaan pendapat di bidang fikih.
Tulisan singkat ini akan memaparkan perbedaan manhaj fikih Salafi dan Muhammadiyah. Pembahasan lebih lengkap bisa dibaca dalam buku yang penulis susun berjudul Titik Pisah Fikih Salafi Muhammadiyah jilid 1 dan 2 yang membahas 30 perbedaan fikih Salafi dan Muhammadiyah.
Beberapa ciri manhaj Salafi dalam ushul fikih secara garis besar adalah sebagai berikut :[2]
- Sumber ajaran Islam adalah al-Qur`an dan as-sunnah yang dipahami sesuai pemahaman ulama atau manhaj salaf.
- Hadis dipegang sangat kuat berdasar makna literal atau harfiah. Penggunaan hadis dan atsar sangat kuat serta penggunaan rakyu yang sempit. Hadis dhaif ditolak penggunaannya apalagi palsu.
- Ijmak yang diakui cenderung hanya ijmak sahabat yang didukung oleh al-Qur`an dan as-Sunnah as-Shahihah.[3]
- Fatwa atau pendapat sahabat menjadi hujjah.
- Qiyas dipakai sedikit di muamalah, di bidang ibadah cenderung tidak dipakai.
- Kelompok Salafi juga dikenal luas cenderung mengharamkan taklid termasuk melarang orang bermazhab.[4]
- Dalam soal muamalah banyak mengunakan maslahat atau istishlah. Dalam soal ibadah dirasa ketat dan cenderung memilih hukum yang yang lebih berat dibanding mazhab lain.
- Mudah menjatuhkan vonis bid’ah ( at-tawassu’ fi majal al-bid’ah) pada hal-hal yang dianggap tidak ada pada masa Nabi, sampaipun terkadang dalam soal adat atau urf.[5]
- Cenderung anti atau menolak budaya/kegiatan baik dari barat atau yang lain dengan alasan tasyabbuh dengan non muslim.
- Dalam hal penggunaan akal cenderung mempersempit karena terlalu mengunggulkan teks atau nas. Jika hal ini diterapkan pada bidang aqidah-ibadah mahdhah mungkin tidak terlalu masalah. Namun jika prinsip ini diterapkan dalam persoalan muamalah yang cenderung terus berkembang, akan menimbulkan kekakuan dan kesempitan dalam muamalah.
- Berorientasi pada budaya (‘urf) orang Arab Saudi termasuk dalam soal berpakaian, berkeluarga, dan lain-lain. Sehingga ketika mau diterapkan di Indonesia ada hal-hal yang terkesan janggal dan ‘wagu’ serta berpotensi menimbulkan keributan dengan masyarakat setempat.
Dalam pengamatan Qumaidi, manhaj Salafi kontemporer ada 5 ciri yang menandai yakni :
- Kembali kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dalam mengambil hukum dengan pemahaman ulama salaf.
- Menolak taklid kepada mazhab fikih dan aqidah.
- Mengutamakan nash secara mutlak di atas akal, termasuk mengutamakan riwayat di atas akal.
- Membatasi pada petunjuk zahir nash-nash syar’iyyah (tidak menta’lil nash)
- Menolak ta’wil dan menetapkan hukum dengan akal dan qiyas-qiyasnya.
- Tidak hanya membatasi bidang terkait aqidah, namun manhajnya juga mencakup aqa’id dan hukum.
- Menolak bid’ah dan berhati-hati terhadap bid’ah.[6]
Sementara itu, doktrin dasar Salafi, kata Din Wahid, berupa tauhid uluhiyah, rububiyah, asma wa sifat, dan mulkiyah, mengikuti sunnah dan menentang bid’ah, al-wala` wa al-bara`, taat dan patuh kepada pemerintah yang sah. Mereka senantiasa sami’na wa atha’na pada pemerintah selama umat Islam diperbolehkan menjalankan ibadah (Qs 4: 59).[7]
Manhaj Fikih Tarjih
Frasa “manhaj tarjih” secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai
sebuah istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar cara bertarjih. Istilah tarjih sendiri
sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti
melakukan penilaian terhadap dalil-dalil syar’i yang secara zahir tampak saling
bertentangan atau evaluasi terhadap pendapat-pendapat (kaul) fikih untuk menentukan
mana yang lebih kuat.
Manhaj tarjih adalah satu sistem yang terdiri dari empat komponen yang menjadi landasan untuk memahami agama menurut Majelis Tarjih. Keempat komponen tersebut memuat unsur-unsur :
(1) wawasan (atau semangat/perspektif),
(2) sumber ajaran,
(3) pendekatan,
(4) metode (prosedur teknis) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan.
Manhaj tarjih tidak sekadar bertumpu pada sejumlah prosedur teknis an sich. Hal itu juga dilandasi oleh wawasan/perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam dalam Muhammadiyah yang meliputi lima hal.
Kelima hal itu adalah :
Pertama, wawasan paham agama, putusan tarjih mendefinisikan agama (yaitu agama Islam) yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qur’an dan yang tersebut dalam sunnah yang sahih. Berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Kedua, wawasan tidak berafiliasi mazhab tertentu, memahami agama dalam perspektif tarjih dilakukan langsung dari sumber-sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Sunnah melalui proses ijtihad dengan metode ijtihad yang ada. Namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada.
Ketiga, wawasan toleransi, dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan “Kepoetoesan tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada tidak ada sifat perlawanan, jakni menentang ataoe menjatoehkan segala jang tidak dipilih oleh Tardjih itoe.” Pernyataan ini menggambarkan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak menegasikan pendapat lain apalagi menyatakan tidak benar.
Keempat, wawasan keterbukaan, artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat.
Kelima, wawasan tajdid, dalam hal ini mempunyai dua arti, dalam bidang akidah dan ibadah tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi SAW. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman.[8]
Muhammadiyah memiliki seperangkat manhaj yang berbeda dengan manhaj yang ditempuh Salafi. Manhaj Muhammadiyah memiliki wawasan atau perspektif: tajdid, toleransi, keterbukaan, tidak terikat mazhab fikih tertentu. Muhammadiyah juga menggunakan pendekatan: bayani, burhani, irfani.
Dengan demikian, Manhaj Tarjih berarti suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan (semangat atau perpektif), sumber, pendekatan dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan,”
Dalam Muhammadiyah ada tiga macam produk Tarjih, yaitu:
Putusan Tarjih adalah keputusan resmi Muhammadiyah dalam bidang agama (bukan keputusan Majelis Tarjih) dan mengikat organisasi secara formal (walaupun dalam praktik terkadang diabaikan dan banyak warga Muhammadiyah tidak memahaminya atau bahkan tidak mengetahui beberapa butir penting daripadanya).
Fatwa adalah jawaban Majelis Tarjih terhadap pertanyaan masyarakat mengenai masalah yang memerlukan penjelasan dari segi hukum syari’ah. Sifat fatwa tidaklah mengikat baik terhadap organisasi maupun anggta sebagai perorangan. Bahkan fatwa tersebut dapat dipertanyakan dan didiskusikan. Sampai saat ini sudah terbit 8 jilid buku Tanya Tawab Agama, Fatwa Tarjih.
Wacana adalah gagasan-gagasan atau pemikiran yang dilontarkan dalam rangka memancing dan menumbuhkan semangat berijtihad yang kritis serta menghimpun bahan-bahan atau stock ide mengenai berbagai masalah aktual dalaam masyarakat. Wacana-wacana Tarjih tertuang dalam berbagai publikasi Majelis Tarjih seperti Jurnal Tarjih dan berbagai buku yang diterbitkan.[9]
Wawasan/perspektif tarjih itu meliputi :
1) Wawasan paham agama,
2) Wawasan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
3) Wawasan toleransi,
4) Wawasan keterbukaan,
5) Wawasan tajdid,[10]
Tajdid sendiri memiliki dua dimensi :
a. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah
Nabi saw.
b. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan
masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman
Persamaan dan perbedaan Manhaj Salafi dengan Muhammadiyah
Persamaan manhaj Salafi dan Muhammadiyah terletak pada keduanya sama-sama menjadikan al-Qur`an dan as-Sunnah al-Maqbulah sebagai rujukan utama dalam istinbath hukum. Muhammadiyah dan Salafi juga sama-sama tidak berhujjah dengan hadis-hadis lemah dan apalagi palsu. Ijmak yang diakui adalah ijmak sahabat. Keduanya juga tidak memberlakukan qiyas dalam persoalan ibadah.
Di samping ada persamaan, tentunya juga ada perbedaan. Adapun perbedaan manhaj yang cukup menonjol di antara keduanya adalah, dalam hal fikih, Salafi memiliki kecenderungan mengikuti atau sekurangnya dekat kepada mazhab Hanbali yang dikenal kuat berpegang pada zahir teks. Sedang Muhammadiyah tidak terikat dengan mazhab fikih tertentu, walau dalam praktek bisa saja diidentifikasi lebih dekat dengan mazhab Syafi’i dibanding 3 mazhab lainnya.
Salafi cenderung melarang keras taklid dan anti mazhab,[11] sedang Muhammadiyah menganjurkan ittiba’ dan bukan taklid. Dalam persoalan mazhab, Muhammadiyah tidak sampai anti mazhab namun tidak terikat kepada mazhab tertentu namun masih apresiatif terhadap mazhab.
Salafi juga cenderung tidak menta’lil nash sampaipun dalam masalah muamalah sehingga terkadang fikihnya terkesan kaku dan ‘aneh’, sedang Muhammadiyah menta’lil nash dalam soal muamalah sehingga fikihnya lebih luwes dan lentur.[12]
Salafi cenderung mengidolakan dan mengidealkan pengamalan dan pemahaman Islam pada 3 abad pertama generasi Islam, sedang Muhammadiyah dalam pengamatan penulis melihat masa lalu, kini dan mempersiapkan masa depan. Membawa muamalah ke masa lalu jelas sebuah ‘kemunduran’, namun jika diterapkan pada bidang aqidah dan ibadah tentu tidak jadi soal karena dua bidang ini tidak banyak berubah atau nyaris tak berubah. Masalah muamalah oleh Muhammadiyah didekati dengan pertimbangan kekinian dan kedisinian sehingga bisa lebih berdaptasi dan tepat diterapkan di tengah masyarakat. Pendekatan istishlah atau masalahat juga sering digunakan Muhammadiyah khususnya dalam merespon persoalan muamalah kontemporer,[13] sementara Salafi cenderung dengan pendekatan tekstualnya.
Berikutnya, Salafi cukup mudah menjatuhkan vonis bid’ah dan kadang juga musyrik dan kafir, bagi kelompok lain yang tidak sepaham, sementara Muhammadiyah jarang atau bahkan menghindari penggunaan kata-kata itu.
Muhammadiyah banyak menerapkan prinsip at-Taisir dalam beragama, namun Salafi dalam banyak hal justru cenderung ke hukum yang kaku dan berat serta sempit. Misalnya dalam soal aurat wanita, wajah dan suara dianggap aurat oleh Salafi, sementara menurut Muhammadiyah tidak termasuk. Musik dan gambar dilarang mutlak oleh Salafi, oleh Muhammadiyah ditafshil dan lain-lain.
Salafi cenderung membatasi aktifitas wanita, sementara Muhammadiyah lebih longgar dalm soal aktifitas dan peran wanita di masyarakat. Wanita diwajibkan memakai cadar, Muhammadiyah tidak mewajibkan. Wanita didorong ke sektor domestik alias wilayah privat, Muhammadiyah lebih proporsional, boleh aktifitas di luar tanpa mengorbankan peran sebagai istri dan ibu.
Muhammadiyah masih cukup apresiatif dengan keberadaan budaya dan seni, hanya seni dan budaya yang jelas-jelas bertentangan syariat yang ditentang. Sedang Salafi lebih keras dan kaku dalam menolak seni dan budaya, bahkan terkesan anti seni. Banyak budaya atau kebiasaan ditolak dengan alasan tasyabbuh dengan umat lain serta tidak ada di zaman Nabi.
Salafi cenderung menolak urf dan adat. Urf di mata Syaikh al-Albani bukan sumber hukum fikih.[14] Di mata Muhammadiyah urf yang sahih bisa dipakai. Maka dalam menyikapi halal-bihalal misalnya, Salafi cenderung menolaknya/membid’ahkannya sedang Muhammadiyah menerimanya.
Berikutnya dalam hal penggunaan akal, Salafi cenderung membatasi dan mempersempit penggunaan akal sampaipun kadang-kadang dalam persoalan muamalah-dunyawiyah, sedang Muhammadiyah memberi porsi yang besar pada akal khususnya ketika membahas persoalan muamalah-dunyawiyah.[15]
Penutup
Perbedaan, termasuk di lapangan fikih harus disikapi dengan bijak, dewasa dan penuh toleransi. Perbedaan juga tidak harus menimbulkan kebencian dan permusuhan, serta mengakibatkan kerenggangan di kalangan umat Islam. Kita tetap bisa bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati dan tetap berlapang dada dalam hal-hal yang belum bisa kita sepakati. Damai dan rukun serta kompak itu indah.
Referensi :
Ali Trigiyatno, Titik Pisah Fikih Salafi-Muhammadiyah Jilid 1 dan 2, (Yogyakarta : Grama Surya, 2022)
[1] Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng.
[2] Diolah dan ditambah dari disertasi Qumaidi, al-Ittijahat al-Ijtihadiyyat al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (t.t.p : Dar Ibnu Hazm, 2013), 352-353.
[3] Qumaidi, al-Ittijahat al-Ijtihadiyyat al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (t.t.p : Dar Ibnu Hazm, 2013), I : 400.
[4] Ibid., I : 429, 436. Lihat pula Ali Jum’ah, Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’, Cet. II, (Jakarta : Khatulistiwa Press, 2017), hlm. 49 dst.
[5] Ibid., I : 463.
[6] Qumaidi, al-Ittijahat al-Ijtihadiyyat al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (t.t.p : Dar Ibnu Hazm, 2013), I : 340, 352-354.
[7] Din Wahid, “ Gerakan Fundamentalisme Agama dan Keberagamaan Salafisme”, dalam Ali Munhanif dkk., Perspektif Manhaj Muhammadiyah Aktualisasi Islam Berkemajuan dalam Kehidupan Kontemporer, Cet. I, (Jakarta Selatan : al-Wasath Publising House, 2018), hlm. 267 dst. https://rumahkitab.com/posisi-abu-bakar-baasyir-dan-aman-abdurrahman-dalam-gerakan-Salafi-di-indonesia/, diakses 22 Januari 2022.
[8] https://kumparan.com/ngopibareng/manhaj-tarjih-muhammadiyah-ternyata-ini-tumpuannya/full, diakses 24 Januari 2022.
[9] https://bim.umsu.ac.id/2020/09/08/manhaj-tarjih-muhammadiyah-dan-perubahan-putusan/, diakses 27 Januari 2022.
[10] Syamsul Anwar, hlm. 4.
[11] Salah satu buku yang ditulis Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khujandi menjelaskan bagaimana muslim mneyikapi keberadaan mazhab empat. Intinya beliau menegaskan bahwa bermazhab bukan kewajiban dan juga bukan kesunnahan. Bahkan cenderung menilai sebagai sebuah bid’ah. Lihat dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Benarkah cara anda bermazhab?( Jakarta : Dar al-Haq, 2005)
[12] Asymuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 155 dst.
[13] Muhammad Hilali Basya, Muhammadiyah dan Salafisme di Masa Transisi Demokrasi Indonesia, Cet. II, ( Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2020), hlm. 48-49.
[14] Qumaidi, al-Ittijahat al-Ijtihadiyyat al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (t.t.p : Dar Ibnu Hazm, 2013), I : 482.
[15] Din Wahid, “ Gerakan Fundamentalisme Agama dan Keberagamaan Salafisme”, dalam Ali Munhanif dkk., Perspektif Manhaj Muhammadiyah Aktualisasi Islam Berkemajuan dalam Kehidupan Kontemporer, Cet. I, (Jakarta Selatan : al-Wasath Publising House, 2018), hlm. 285.