Artikel

Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam

Oleh : Aslam fatkhudin, M.Kom ( Bendahara Majelis Tabligh PWM Jateng, Wakil Rektor III UMPP)

 أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” (HR al-Bukhari).

Hadits di atas memberikan penegasan bahwa sejatinya setiap diri adalah seorang pemimpin. Beliau menegaskan bahwa pemimpin bukan hanya mereka yang menjadi presiden, gubernur, wali kota, dan pejabat lainnya. Akan tetapi, seorang pembantu sekalipun, masuk dalam kategori pemimpin dengan bertanggung jawab atas harta majikannya.

Kepemimpinan dalam perspektif Islam memiliki prinsip-prinsip yang unik dan berbeda dengan konsep kepemimpinan dalam budaya dan sistem politik lainnya. Berikut adalah beberapa poin penting dalam kepemimpinan dalam perspektif Islam:

  1. Kepemimpinan sebagai amanah: Dalam Islam, kepemimpinan dipandang sebagai amanah yang diberikan oleh Allah kepada individu atau kelompok. Seorang pemimpin harus menyadari bahwa posisinya adalah tanggung jawab yang besar dan harus menjalankannya dengan penuh kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Dalam tradisi kepemimpinan di Persyarikatan Muhammadiyah tidak ada yang namanya mencalonkan diri, tetapi dicalonkan/diusulkan, karena kader Persyarikatan Muhammadiyan mengamalkan salah satu hadits nabi sebagai berikut :


عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Dari [Abdurrahman bin Samurah] mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.”[Bukhari].

  • Keadilan dan keadilan sosial: Kepemimpinan dalam Islam mendorong pemimpin untuk menjalankan tugas mereka dengan keadilan dan keberpihakan kepada rakyatnya. Seorang pemimpin harus memastikan perlakuan yang adil dan setara bagi semua warga negara, tanpa membedakan suku, agama, atau status sosial.

Dalam Islam, adilnya seorang pemimpin merupakan hal yang sangat penting dan diperhatikan. Mengapa? Karena keadilan pemimpin dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Maka, tidak heran jika Allah sangat memuji dan menjanjikan balasan kebaikan yang luar biasa bagi pemimpin yang baik, namun juga menjanjikan balasan keburukan bagi pemimpin yang tidak baik, sebagaimana hadits Rasulullah:

 ﷺ: إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَإِنَّ أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا إِمَامٌ جَائِرٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah ﷻ pada hari kiamat dan paling ‘dekat’ tempat duduknya dari-Nya adalah seorang pemimpin yang adil, sedangkan orang yang paling dibenci Allah pada hari kiamat dan paling keras siksanya adalah seorang pemimpin yang lalim.” (HR. Ahmad) Dalam hadits lain, beliau juga menegaskan tentang jaminan naungan Allah di hari kiamat kepada pemimpin yang adil:

 سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ

Artinya: “Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat saat tidak ada naungan kecuali dari Allah, di antaranya diberikan kepada imam atau pemimpin yang adil…” (HR al-Bukhari)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”.  Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.”

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).

Sumber : https://muslim.or.id/23872-penegakkan-hukum-di-masa-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html

  • Konsultasi dan partisipasi: Islam mendorong pemimpin untuk melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan. Pemimpin diharapkan untuk mendengarkan pendapat dan saran dari masyarakat dan mempertimbangkannya dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini dikenal sebagai “syura” atau musyawarah dalam Islam.

Kita dapat mengambil ibroh dalam peristiwa perang Khondaq atau Perang Parit, dimana waktu itu kaum musyrikin tak henti-hentinya membenci Rasulullah Saw dan kaum Muslimin. Apalagi, mereka beberapa kali kalah dalam peperangan. Akhirnya terbentuk pasukan gabungan dari berbagai suku di Jazirah Arab. Mereka berniat menyerang kaum muslimin di Madinah. Mendengar berita ini Rasulullah SAW sangat khawatir. Pasukan yang sangat besar ini akan sangat membahayakan kaum muslimin di Madinah jika dibiarkan. Maka, Rasulullah segera segera melakukan musyawarah untuk membahas strategi pertahanan. Di sinilah Salman Al-Farisi mengajukan usulan kepada Rasulullah, agar bagaimana ikhtiar bertahan dari serangan musuh. Ketika itu Salman berkata. “Wahai Rasulullah sesungguhnya dulu ketika kami di negeri Persia, apabila kami dikepung musuh, maka kami membuat parit di sekitar kami,” kata Salman. Usulan yang sangat tepat ini adalah strategi baru! Cara ini belum pernah dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya. Rasulullah dan para sahabat menerima usulan itu. Benar saja, ketika kaum musyrikin sampai di Madinah, mereka kebingungan. Mereka hanya bisa mengelilingi parit sambil menggerutu karena kesulitan untuk melangkahi Parit. “Mereka berupaya mencari celah sebagai pintu masuk ke Madinah,” katanya. Sementara itu kaum Muslimin terus menghujani mereka dengan anak panah. Selama kurang lebih sebulan, kaum Musrikin hanya bisa bertahan di seberang parit tanpa bisa masuk ke Kota Madinah. Hingga akhirnya Allah turunkan angin yang sangat kencang dan udara dingin. “Kemah para kaum musrikin pun hancur tempat bekal makanan pun rusak,” Kaum musyrikinpun kembali mengalami kekalahan atas pasukan Muslim.

  • Kepemimpinan berdasarkan kepribadian yang baik: Dalam Islam, kepemimpinan tidak hanya berkaitan dengan kedudukan atau kekuasaan, tetapi juga dengan karakter dan kepribadian yang baik. Seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat seperti kejujuran, keadilan, keteladanan, kebijaksanaan, kesabaran, dan ketulusan dalam mengemban tugasnya.

Di Al-Qur`an disebutkan bahwa kriteria pemimpin dalam Islam adalah Adil, Amanah dan Kuat sebagaimana terdapat dalam QS. al-Ma`idah/5: 51, QS. al-Nisa`/6: 58, dan QS. al-Qashash/28: 26.

Atau kalau kita merujuk pada sifat Rosul bis akita jadikan sebagai suri tauladan yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah.

  • Pemenuhan kebutuhan rakyat: Seorang pemimpin dalam Islam harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, seperti kebutuhan akan keamanan, pendidikan, perumahan, kesehatan, dan ekonomi yang layak. Kepemimpinan dalam Islam mengedepankan pelayanan kepada rakyat sebagai prioritas utama.
  • Akuntabilitas: Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab di hadapan Allah dan rakyatnya atas tindakan dan keputusannya. Mereka harus siap untuk dimintai pertanggungjawaban dan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Pemimpin yang baik harus transparan, jujur, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
  • Masyarakat yang adil dan berkeadilan: Kepemimpinan dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan, di mana hak-hak individu dan kelompok dihormati dan dilindungi. Pemimpin diharapkan untuk melawan ketidakadilan, penindasan, dan korupsi dalam segala bentuknya.

Kepemimpinan dalam perspektif Islam menekankan pada pelayanan, keadilan, konsultasi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada rakyat. Prinsip-prinsip ini memandu seorang pemimpin Muslim dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai kemaslahatan umum dan keberhasilan dunia dan akhirat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button