Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng, Dosen Pascasarjana UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan.
- Teks Hadis dalam Sahih al-Bukhari :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ ، حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ الْقَعْقَاعِ ، حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ ، حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ : أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ. )صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري – (ج 2 / ص 137)
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami ‘Umarah bin al-Qa’qa’, telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah, telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah R.A ia berkata,: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata,: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?”. Beliau menjawab: “Kamu bersedekah ketika kamu dalam keadaan sehat dan kikir, takut menjadi fakir dan lagi berangan-angan menjadi orang kaya. Maka janganlah kamu menunda-nundanya hingga tiba ketika nyawamu berada di tenggorakanmu. Lalu kamu berkata, si fulan begini (punya ini) dan si fulan begini. Padahal harta itu milik si fulan”.
Dalam redaksi yang diriwayatkan Abu Dawud ada sedikit perbedaan redaksi sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِى زُرْعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ جَرِيرٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ « أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ تَأْمُلُ الْبَقَاءَ وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلاَ تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ ». سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني – (ج 3 / ص 72)
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Seseorang berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, kapan waktu sedekah yang paling afdhal untuk bersedekah?” Rasulullah bersabda, “Engkau sebaiknya bersedekah saat dalam keadaan sehat, bersemangat, mengharapkan hidup lebih lama, dan takut fakir, serta tidak menundanya hingga nyawa telah di kerongkongan.” Kamu berkata (berwasiat), “Untuk si fulan begini dan untuk si fulan begitu, sementara untuk si fulan sudah begini.”
- Takhrij Hadis :
Menurut penuturan al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil Juz 6 halaman 47, hadis ini dikeluarkan juga oleh Imam Muslim 3/93-94, al-Bukhari 1/359,2/187, Abu Dawud 2865, an-Nasa`i 2/125, Ahmad 2/231,250,415,447.
- Derajat hadis ini sudah terang sahih, sehingga tidak perlu penjelasan lagi.
- Penjelasan hadis :
Seeorang yang bertanya kepada Nabi tersebut kemungkinan adalah Abu Dzar al-Ghifari sebagaimana dinyatakan oleh al-‘Aini dalam ‘Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari Juz13 h. 297.
Hadis ini penting dan perlu dikaji serta disosialisasikan ke tengah-tangah umat Islam agar mengerti dan menyadari saat yang paling baik untuk bersedekah mengingat pahalanya lebih besar dan tentu saja punya nilai plus yang lain. Dalam hadis ini ada seorang sahabat yang bertanya (menurut al-‘Aini kemungkinan adalah Abu Dzar) tentang waktu yang paling baik dan besar pahalanya ketika seseorang hendak bersedekah.
Jawaban yang diberikan Nabi SAW cukup gamblang, bahwa saat yang paling tepat dan paling besar pahalanya untuk bersedekah adalah ketika :
- Ketika masih sehat (kuat, berkuasa)
Mengapa bersedekah di waktu sehat pahalanya lebih besar dibanding ketika sakit? Ibnu Bathal menjelaskan bahwa bersedekah di waktu sehat jelas lebih berat dan ‘eman-eman’ dibanding ketika sakit. Orang sehat jelas lebih banyak kebutuhan dan keinginannya, baik untuk bepergian (berwisata), makan makanan yang enak dan lezat serta mahal, pakaian yang bagus, pendamping yang cantik dan lain-lain. Sementara orang yang sakit, apalagi sakitnya parah dan tidak ada harapan sembuh, keinginan seperti disebut di atas nyaris tak akan terlaksana akibat kondisi yang tidak memungkinkan. Maka wajar bersedekah di kala sehat pahalanya lebih besar karena godaannya lebih berat.
Selain itu, di kala masih sehat biasanya harta yang dimiliki masih utuh/banyak sehingga ia diharapkan bisa lebih banyak lagi dalam memberikan hartanya untuk agama dan sosial, sedang bagi orang sakit apalagi sudah sering sakit-sakitan, seandainya mau bersedekah, jumlah hartanya mungkin sudah hampir habis karena telah dipakai buat berobat dan lain-lain. Sehingga harta yang ia berikan untuk kepentingan sosial menjadi tidak maksimal/seberapa.
Oleh karena itu para pembaca yang budiman, manfaatkan waktu sehat sebelum datang sakit salah satunya dengan membiasakan bersedekah,berinfaq dan berwakaf di kala sehat dan usahakan tidak menunggu waktu sakit, apalagi setelah mati.
Hadis yang ada kaitannya dengan topik ini, dan selayaknya juga menjadi perhatian kita semuanya adalah hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa`i, al-Hakim, al-Baihaqy, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah yang disahihkan oleh al-Albani dalam al-Jami’ ash-shaghir wa Ziyadatuhu Juz 1 halaman 196.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ : اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ. المستدرك (ج 4 / ص 306)
Dari Ibnu Abbas dia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW, seraya menasehati seseorang: “Jagalah olehmu lima perkara sebelum datang lima perkara yang lainnya, jaga masa mudamu sebelum tuamu, jaga masa sehatmu sebelum datang waktu sakit, jaga masa kayamu sebelum miskin, jaga masa lapangmu sebelum masa sempitmu, dan jaga masa hidupmu sebelum datang kematianmu” (HR Hakim)
- Ketika lagi kikir (lagi sayang-sayangnya harta)
Kata syahih sebagaimana dijelaskan oleh al-Qadhi Abu al-Fadhl dalam Masyarik al-Anwar ‘ala Shihah al-Anwar Juz II h. 245 sebagai : Syahih adalah bakhil serta banyak keinginan untuk menahan apa yang dimiliki dan selainnya. Sementara dalam ash-Shihah fi al-Lughah karya al-Jauhari didefinnsikan asy-syuhh sebagai kebakhilan disertai ketamakan.
Konteks jawaban Nabi di atas menggambarkan, bersedekah di kala orang lagi sayang-sayangnya harta, lagi semangat-semangatnya mengumpulkan harta, yang berarti sedang berada dalam kondisi ‘prima’ ekonominya sebgai saat yang tepat dan paling besar pahalanya sangat dapat dimengerti. Mengingat bersedekah pada saat ini diharapkan bisa banyak, maksimal, dan optimal. Di samping itu, bersedekah pada masa seperti ini jelas berat dan gangguan serta godaan cukup berat, namun jika ia bisa mengatasi semua ini, wajar jika dijanjikan pahala yang besar.
Maka dari itu Allah menyatakan dalam al-Qur`an Surat al-Hasyr ayat 9 :
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [الحشر:9].
…dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang orang yang beruntung.
- Pada saat takut miskin.
Kondisi selanjutnya yang dijanjikan Nabi SAW mengeluarkan sedekah yang paling besar pahalanya adalah tatkala lagi takut-takutnya miskin. Secara implisit berarti kondisi orang itu lagi kaya-kayanya. Bisa dibayangkan kalau orang yang lagi jaya-jayanya, lagi kaya-kayanya mau mengeluarkan harta untuk kebaikan sosial tentunya banyak yang bisa ia berikan/lakukan untuk umat.
Juga bisa dibayangkan, jika orang yang lagi berada di puncak karir atau jabatannya mau berbuat sesuatu untuk umat, tentunya banyak pula yang bisa ia lakukan. Maka wajar jika Rasulullah SAW menjanjikan, dalam posisi yang bagus dan menguntungkan ini sangat baik dan besar pahalanya jika seseorang mau berbagi kekayaan untuk kemaslahatan sesama.
Sebaliknya, jika ada orang yang setelah jatuh miskin atau turun jabatan baru mau beramal, tentu tidak akan semaksimal dan seoptimal seperti kalau dia lakukan di saat lagi jaya-jayanya. Maka dari itu manfaatkan posisi dan kondisi kita di saat lagi posisi prima untuk beramal saleh dengan harta yang kita miliki.
- Pada saat berangan-angan menjadi kaya (lagi ingin-inginnya kaya)
Lazimnya manusia yang menginjak usia 35-55 sangat antusias mencari dan mengumpulkan harta. Pada saat-saat seperti ini biasanya orang lagi semnagat-semangatnya bekerja, gemar menabung, serta asyik mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Dalam kondisi seperti ini, wajar kalau ia mau beramal dijanjikan pahala yang besar mengingat ia harus mengalahkan sifat cinta harta berlebihan, serta yang pasti ia dapat memberi ‘lebih’ jika ia bisa melakukan dalam kondisi seperti ini.
- Ketika nyawa belum sampai di tenggorokan
Saat berikutnya yang dinyatakan Nabi sebagai saat yang tepat untuk bersedekah adalah sebelum nyawa sampai di tenggorokan, atau dengan bahasa lain, bersedekah sebelum ajal menjemput alias dilakukan ketika ia masih hidup (dan lebih baik lagi saat sehat). Kita ingat kembali sabda Nabi SAW berikut.
وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ.
Maka janganlah kamu menunda-nundanya hingga tiba ketika nyawamu berada di tenggorakanmu. Lalu kamu berkata, si fulan begini (punya ini) dan si fulan begini. Padahal harta itu milik si fulan
Petunjuk Nabi SAW sudah sedemikian jelas lewat hadis ini dan juga hadis-hadis lain, agar umatnya bersedekah, beramal, dan melakukan berbagai amal kebajikan lainnya sebelum nyawa di tenggorokan. Jangan menunggu-nunggu dan menunda-nunda kebajikan sebelum terlambat.
Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir Juz II, h. 126 menyatakan:
لا خلاف في أن الصدقة في حال حياة الإنسان أفضل منها عند الموت
Artinya : Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa bersedekah di saat masih hidup itu lebih utama dari pada bersedekah ketika (hampir) mati.
Namun anehnya, di sebagian masyarakat justru kebanyakan mereka bersedekah atau tepatnya disedekahi oleh ahli warisnya menunggu yang bersangkutan meninggal dunia yang dalam praktiknya terkadang sering memaksakan diri.
Bukankah akan lebih tepat dan pahalanya lebih besar jika ketika kita masih hidup, sekali saat kita masih hidup, kita ikhlas dan bersedia menyisihkan sebagian harta kita, apakah 2,5 %, 5 %, 10 %, 20 % atau bahkan 33 % untuk kita sedekahkan dalam bentuk wakaf, wakaf tunai, infaq, hibah, dan sejenisnya. Jangan setelah ajal menjemput baru keluarga entah karena motifasi apa ‘menyedekahi’ almarhum dalam bentuk aneka makanan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan seterusnya yang status hukumnya masih samar untuk tidak mengatakan tidak berdasar sama sekali?
Atau setelah ajal hampir merenggut baru berwasiat supaya si fulan dikasih ini, si fulan dijatah itu, padahal seandainya ia tidak berpesan apa-apa, toh pasti hartanya akan jatuh ke tangan orang yang berhak menerimanya. Lantas mengapa ia tidak ‘mengamankan’ sebagian hartanya di kala masih hidup dan sehat untuk bekal dirinya menghadap Rabbnya dengan misalnya mewakafkannya untuk sabilillah?
Penutup
Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa`i dan dinilai sahih oleh al-Albani berikut ini.
أخبرنا عمرو بن علي قال حدثنا يحيى قال حدثنا شعبة عن قتادة عن مطرف عن أبيه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : { ألهاكم التكاثر حتى زرتم المقابر } قال يقول بن آدم مالي مالي وإنما مالك ما أكلت فأفنيت أو لبست فأبليت أو تصدقت فأمضيت .قال الشيخ الألباني : صحيح
Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Ali berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Mutharrif dari ayahnya dari Nabi SAW, beliau membaca ayat: ‘(Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur) ‘ (Qs. At-Takatsur: 1-2). Beliau bersabda: “Anak Adam berkata, ‘Hartaku, hartaku’. Sesungguhnya hartamu adalah apa yang telah engkau makan hingga engkau habiskan, atau engkau pakai hingga engkau hancurkan, atau engkau sedekahkan sehingga habis.”
Jadikan harta yang merupakan titipan Allah kepada kita ini untuk kemaslahatan yang seluas-luasnya, bukan hanya kita nikmati sendiri atau paling banter sekeluarga, namun masyarakat luas juga diharapkan ikut ‘kecipratan’ berkah dan manfaat dari harta yang diamanahkan Allah di pundak kita ini. Lebih-lebih bagi kita yang diberikan titipan harta ‘berlebih’, berhati-hatilah serta bijaklah dalam mengelola dan membelanjakan agar harta itu menyelamatkan kita di akhirat kelak, bukan malah menjadi sumber masalah.
Akhirnya, kepada warga persyarikatan Muhammadiyah yang lagi semangat-semangatnya ber fastabiqul khairat di berbagai bidang kebaikan termasuk membangun berbagai amal usaha, mari dengan mengucap bismillah disertai niat yang tulus dan selalu mengharap ridha Allah, jangan pernah kendur dan mundur dalam melakukan berbagai amal saleh. Lanjutkan!
[1] Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng, Dosen Pascasarjana UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan.