Halal-Haram Nikah Misyar
Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng, Ketua MUI Kabupaten Batang)
Pengantar
Di antara bentuk nikah kontemporer yang menuai kontroversi di kalangan ulama adalah nikah misyar. Sebagian kalangan mendukung dan membolehkan dan sebagian lagi menolaknya. Dari pengamatan sekilas, tampaknya ulama yang melegalkan nikah ini jumlahnya lebih banyak, sedang yang menolaknya lebih sedikit.
Nikah model ini cukup populer dan banyak diminati utamanya di Arab Saudi dan di Mesir serta beberapa negeri di kawasan teluk. Di Uni Emirat Arab, pernikahan misyar adalah pernikahan yang legal dan jumlahnya tidak kurang dari 20.000 pasang. (https://www.emirates247.com/news/emirates/no-rights-no-obligations-just-companionship-2010-08-23-1.282481, diakses 22 November 2021)
Pernikahan misyar dianggap lebih sederhana dan murah dibanding nikah biasa karena dalam hal ini pernikahan bisa dilakukan secara sederhana serta suami tidak dibebani biaya atau tanggungan nafkah yang cukup berat bagi sebagian kaum pria.
Di Arab Saudi sendiri nikah ini cukup populer, di mana menurut penuturan Ali al-Bakr dimotivasi adanya sebagian pria yang ingin tetap menjaga kerahasiaan pernikahannya yang kedua untuk menghindari keberatan istri pertamanya atau tekanan keluarganya. (https://www.arabnews.com/saudi-arabia/news/642991, diakses 21 November 2021)
Nikah misyar mulai muncul di Arab Saudi tahun 1985. Dari Saudi model nikah ini menyebar mulai tahun 1995 ke Mesir dan ke bagian lain dari wilayah teluk seperti Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Qatar. (Shirine Jurdi, 2001 : 58)
Nikah misyar walaupun populer di Timur Tengah, tidak mustahil juga sudah menular ke negeri-negeri muslim lainnya termasuk Indonesia. Nikah ini mirip-mirip dengan nikah friend yang sudah dibahas di bab sebelumnya. Nasiri sudah mengendus telah dipraktekkan di Surabaya dengan informan beberapa pasangan. ( Nasiri, 2018 : 193-210)
Nikah ini dilatarbelakangi mahalnya biaya nikah di beberapa negara Timur Tengah yang berdampak banyaknya wanita yang terlambat menikah, padahal banyak wanita berpendidikan tinggi dengan profesi dan pekerjaan yang menghasilkan gaji tinggi. Namun di usianya yang semakin tua jodoh malah terasa semakin menjauh. Di sisi lain, ada lelaki yang ingin menikah lagi namun tidak ingin terbebani dengan berbagai kewajiban rutin seperti memberi nafkah, menunggui setiap hari dan lain-lain. Akhirnya bak gayung bersambut, muncullah nikah misyar sebagai solusi jangka pendek bagi orang yang mengalami hal seperti ini.
Pengertian Nikah Misyar
Kata nikah kiranya kita sudah familiar mendengarnya. Sedang misyar terambil dari kata sara-yasiru-sairan misyar berasal dari bahasa Arab yaitu akar kata dari ر سا sudah berjalan, يسير sedang berjalan, سيرا berjalan dan kata مسيار yang merupakan bentuk isim alat-nya yang artinya perjalanan. Misyar yaitu singgah atau melewati (suatu wilayah/negeri tertentu) dan tidak menetap dalam waktu yang lama. ( an-Nadi, 2011 : 30)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mendefinisikan nikah misyar sebagagi “ pernikahan di mana seorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri lain di rumah yang dinafkahkannya.” ( al-Qardhawi, 1999: 4)
Istilah misyar adalah bentuk shighah mubalaghah dari kata sair yang secara harfiah bermakna berjalan dan tidak menetap lama di sebuah tempat. Misyar secara harfiah berarti banyak berjalan. Pernikahan misyar adalah pernikahan yang telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah seperti adanya mempelai laki-laki, mempelai wanita, wali mempelai wanita, dua saksi, ijab – qabul, dan mahar. Namun dalam hal ini suami tidak memberikan sebagian hak kepada istrinya atas dasar persetujuan dan kerelaan istrinya tersebut. Biasanya suami mendatangi rumah istrinya pada waktu kapan pun yang ia kehendaki, untuk melakukan hubungan seksual dan keperluan lainnya. Ia tinggal hanya dalam waktu yang singkat dengan istrinya tersebut dan tidak bermalam bersamanya. ( ad-Duraiwisy, 2010 : 133 dst)
Jadi inti dari nikah misyar adalah pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam fikih, namun suami tidak menetap bersama istri (barunya), ia hanya datang sewaktu-waktu, istri membebaskan kewajiban suami dari memberi nafkah, tempat tinggal dan lain-lain. Pernikahan ini biasanya terjadi pada pernikahn kedua dan seterusnya, karena yang dibutuhkan istri adalah status bersuami dan bisa mendapatkan kesenangan seksual secara halal. Sementara soal nafkah dan lain-lain ia sudah memilikinya bahkan bisa jadi lebih kaya dari suaminya.
Gambaran Nikah Misyar
Abd Allah al-Faqih dalam Fatawa alShabkah al-Islamiyah menjelaskan, kawin misyar itu sama dengan perkawinan pada umumnya, hanya saja bedanya, pihak istri dengan kerelaan hati, membebaskan suami dari segala bentuk tanggung jawab terkait nafkah.
Menurutnya, model kawin misyar ini ada dua, yaitu:
Pertama, jenis perkawinan yang memenuhi semua syarat dan rukun perkawinan-seperti halnya perkawinan pada umumnya- akan tetapi ketika pelaksanaan akad nikah suami mengajukan syarat agar istri membebaskannya dirinya dari segala tanggungan nafkah dan tempat tinggal. Kedua, model perkawinan yang sudah memenuhi syarat rukun perkawinan, namun suami meminta istrinya agar tidak menuntut jatah giliran (qasm) dan jatah bermalam atau mabit. Masalah qasm dan mabit, ditentukan oleh suami, sebab suami statusnya sudah memiliki istri. Di samping itu, suami mengajukan syarat agar perkawinan keduanya dirahasiakan dari orang-banyak, khususnya agar jangan samapi ketahuan istri pertama.( Abd Allah Faqih, V : 190)
Sebab sebab maraknya nikah misyar
Adapun sebab-sebab munculnya pernikahan jenis ini adalah sebagai berikut: ( al-Muthlaq, 1423 : 81 dst).
1. Bertambahnya perawan yang sudah mulai lanjut usia, karena banyak pemuda yang enggan menikah disebabkan mahalnya mas kawin dan biaya pernikahan, atau disebabkan maraknya kasus perceraian, karena kondisi seperti ini sebagian wanita merelakan dirinya menjadi istri kedua atau ketiga dan menggugurkan sebagian haknya.
2. Kebutuhan sebagian wanita untuk tetap tinggal bersama di rumah keluarganya, bisa jadi karena ia menjadi penanggung jawab tunggal di rumah tersebut, atau ia memiliki cacat sedang keluarganya khawatir akan mendapatkan perlakuan di luar kemampuannya, suaminya pun tidak bosan masih sering berkomunikasi dengannya, atau karena ia mempunyai anak-anak dan tidak bisa pindah ke rumah suami barunya, dan masih banyak lagi sebab-sebab yang lain.
3. Keinginan sebagian laki-laki yang sudah menikah untuk menjaga kehormatan sebagian wanita lain karena kebutuhan mereka akan hal itu, atau ia menikah lagi karena kebutuhannya untuk sebuah kenikmatan yang dibolehkan, namun tidak merugikan rumah tangga pertama dan anak-anaknya.
4. Keinginan seorang suami untuk menyembunyikan pernikahan keduanya dari istri pertamanya; karena khawatir akan merusak hubungan rumah tangga dengan istri pertamanya.
5. Banyaknya laki-laki yang bepergian ke luar negeri tertentu dengan waktu yang cukup lama, dan bisa dipastikan bepergiannya tersebut jika ditemani istri akan lebih aman dari pada sendirian.( https://islamqa.info/id/answers/82390/pernikahan-misyar-definisi-dan-hukumnya, diakses 23 November 2021)
Sebab-sebab maraknya nikah misyar menurut Usamah Umar Sulaiman al-Asyqar adalah sebagai berikut :
- Banyaknya wanita yang terlambat menikah padahal usia sudah melebihi umumnya wanita menikah, ditambah banyaknya janda baik karena cerai hidup maupun cerai mati.
- Sebagian pria ada yang ingin poligami baik karena godaan di sekelilingnya, atau istrinya sakit atau problem lain, namun ia tidak punya harta cukup untuk mneikah lagi, sedang dalam nikah misyar suami dibebaskan dari kewajiban mahar, nafkah tempat tinggal dan lain-lain. Hal ini tentu akan disambut oleh lelaki yang dalam posisi seperti ini. ( al-Asyqar, 2000 : 167-170)
Pandangan Ulama Fikih
Sebelum membahas hukun nikah misyar, di masa lalu para ulama sudah membahas sebuah pernikahn yang mirip dengan nikah misyar yakni apa yang disebut dengan nikah nahariyat dan nikah lailiyat. Nikah ini dihukumi batal oleh Imam Ahmad dan Malikiyah serta mayoritas Hanafiyah. Namun sekelompok kecil ulama membeolehkan jenis pernikahan nahariyat ini. ( al-Asyqar, 2000 : 171-173)
Terkait dengan hukum nikah misyar paling tidak ada tiga pendapat dalam menyikapi nikah misyar. Menurut penuturan Muhammad Ibrahim Sa’d an-Nadi dalam bukunya az-Zawaj al-Mustahdas wa mauqif al-Fqih al-Islami minhu Dirasah Fiqhiyah Muqaranah, ada tiga pandangan ulama sehubungan dengan hukum nikah misyar.
Pendapat pertama, boleh mutlak. Di antara ulama yang membolehkan nikah misyar adalah Syaikh Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Yusuf Muhammad al-Muthlak, Syaikh Ibrahim bin Shalih al-Khudhari, Syaikh al-Azhar Muhammad Sayyid Tanthawi dan lain-lain. ( al-hajilan, 2009: 156 dst., al-Muthlaq, 1423 : 112-116) di antara tokoh utama yang membolehkan nikah misyar adalah Syaikh Yusuf al-Qardhawi.
Di antara argumen yang dikemukakan oleh ulama yang membolehkan nikah misyar adalah:
Atsar dari Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalur Manshur yang mneyatakan :
عن الحسن، وعطاء، أنهما كانا «لا يريان بأسا بتزويج النهاريات»
Dari Hasan al-Bashri dan Atha bin Abi Rabah, bahwa kedua ulama ini berpendapat bolehnya pernikahan nahariyat. (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16559).
Nikah nahariyat artinya pernikahan di mana sang istri dikunjungi hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misalnya hanya siang hari saja.
Riwayat lain yang digunakan ada riwayat dari Amir as-Sya’bi,
عن عامر الشعبي أنه سئل عن الرجل يكون له امرأة فيتزوج المرأة ، فيشترط لهذه يوماً ولهذه يومين ؟ قال : لا بأس به
Dari Amir as-Sya’bi bahwa beliau ditanya tentang seorang lelaki yang sudah memiliki istri, kemudian dia berpoligami dengan menikahi wanita lain. Kemudian dibuat kesepakatan, untuk istri kedua gilir sehari dan istri pertama dua hari. As-Sya’bi memfatwakan, ”Tidak masalah dengan nikah seperti ini.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16566).
Dalam sunnah telah tetap bahwa Saudah binti Zam’ah menghadiahkan jatah gilirannya kepada Siti Aisyah dan Rasulullah SAW menerimanya, hal ini menunjukkan bahwa istri boleh menggugurkan sebagian haknya kepada siapa yang dikehendaki, sehingga istri juga bisa menggugurkan haknya yang lain seperti nafkah, tempat tinggal dan lain-lain. ( al-Asyqar, 2000 : 178)
Pendapat kedua, boleh dengan karahah (makruh). Wahbah az-Zuhaili, Yusuf al-Qardhawi, Syaikh Abdullah bin Mani`, Syaikh Su’ud Syuraim, Ahmad Haji al-Kurdi, Mahmud Abu Lail termasuk di barisan yang membolehkan dengan karahah. (al-Muthlaq, 1423 : 116-120, al-Asyqar, 2000 : 175) Muhammad Ibrahim Sa’d an-Nadi sendiri menguatkan pendapat yang membolehkan dengan karahah. ( an-Nadi, 2011 : 48)
Pada dasarnya ulama ini memandang dari segi syarat rukun sudah terpenuhi sehingga hukumnya sah, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan lebih banyak negatifnya sehingga dihukumi sah dengan makruh.
Pendapat ketiga, tidak boleh melakukan nikah misyar. Tokoh utama dalam barisan ini adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh Abdul Aziz Musnid, Ajil Jasim an-Nasymi. ( al-Muthlaq, 1423 : 120, ad-Duraiwisy, 2010 : 139, 142) Sungguhpun melarang, ulama di barisan ini tidak menegaskan batalnya akad, tapi lebih pertimbangan kerugian dan kerusakan yang mungkin timbul dari pernikahan jenis ini. ( al-Hajilan, 2009 : 164)
Syeikh al- Albani pernah ditanya tentang hukum nikah misyar, namun beliau melarangnya dilihat dari dua sisi:
1. Tujuan menikah adalah tinggal bersama, sebagaimana firman Allah:
( وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) الروم/21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar Ruum: 21)
Pernikahan model misyar ini tidak akan mampu merealisir tujuan mulia tersebut.
2. Nantinya sepasang suami istri tersebut akan dikaruniai anak-anak, disebabkan jarak yang berjauhan dan jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak negatif kepada anak-anak mereka dalam hal pendidikan dan akhlak.
Kelompok penentang nikah misyar mengajukan beberapa argumen secara lebih lengkap seperti berikut ini:
Dia memperkuat ini dengan enam bukti:
1) Bahwa perkawinan ini adalah pengabaian terhadap akad perkawinan, dan bahwa para ahli hukum di masa lalu tidak membahas jenis ini, dan tidak ada sedikit pun rasa sahih di dalamnya.
2) Bahwa akad ini dapat menjurus kepada kerusakan, artinya boleh jadi pelakunya menganggapnya sebagai pembenaran atas pilihan mereka, maka wanita tersebut mengatakan bahwa laki-laki yang mengetuk pintu rumahnya adalah suami misyar saya, padahal sebenarnya bukan. Dan menutup pintu ini adalah bagian dari dasar Islam.
3) Akad nikah misyar melanggar tujuan syariat Islam, yaitu terbentuknya keluarga yang stabil.
4) Akad nikah misyar kebanyakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan hal ini cukup membawa kepada kerugian sehingga cukup alasan buat melarangnya.
5) Bahwa seorang wanita dalam perkawinan ini dapat diceraikan suaminya jika sampai dia menuntut nafkah dari suaminya karena sebelumnya ia telah siap digugurkan hak nafkahnya.
6) Bahwa perkawinan ini membawa dosa bagi suami karena mnegakibatkan kerugian pada istri pertama, karena ia akan pergi kepada istri kedua tanpa sepengetahuannya dan akan menghabiskan waktu dan bergaul dengan istri ini dengan mengorbankan waktu dan hak istri pertama untuk dipergauli. (https://www.fateh-gaza.com/post/22263, akses 23 November 2021)
Kesimpulan
Nikah misyar jika para pelakunya telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun nikah yang benar, seperti ijab qabul, walinya setuju, kedua saksi dan diumumkan, maka akad tersebut adalah sah. Namun walau sah secar fikih, mnegingat ekses-ekses yang cenderung negatif dan merusak maka wajar jika mayoritas ulama menghukumi haram.
Namun hendaknya diingat, nikah ini tidak ideal dan tidak dianjurkan untuk dipraktekkan untuk masyarakat luas. Hal ini mengingat nikah jenis ini umumnya tidak dicatatkan, termasuk poligami liar, serta masih mungkin disalahgunakan pihak-pihak yang kurang bertanggung-jawab. Sehingga dikawatirkan timbul ekses-ekses negatif yang merugikan terutama istri dan anak-anaknya kelak.
Nikah model ini dan sejenisnya terlalu didominasi keinginan untuk berhubungan seks semata atau untuk kesenangan syahwat belaka, bukan tujuan luhur lain dari sebuah pernikahan. Padahal ada tujuan nikah yang lebih esensial dan luhur dari sekedar pelampiasan syahwat secara halal, yakni berketurunan dan mengasuh serta mendidik anak agar tumbuh generasi pilihan di masa depan. Semoga kita terhindar dari bentuk pernikahan yang kontroversial dan tidak ideal.
Daftar Pustaka
Abdu Rabbi an-Nabiy Ali al-Jarihi, az-Zawaj al-‘Urfi al-Musykilah wa al-Hill, (Kairo : Dar ar-Raudhah, t.t)
Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah al-Hajilan, al-Mukhtar fi Zawaj al-Misyar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah Hadisah, Cet. I, (Amman : Dar as-Shafa, 2009), hlm. 156 dan seterusnya.
Abdul Malik bin Yusuf bin Muhammad al-Muthlaq, Zawaj Al-Misyar Dirasah Fiqhiyyah wa Ijtima’iyyah Naqdiyah, (Riyadh : Dar Ibnu La’bun, 1423 H)
Agung Tri Nugroho, “Problematika Nikah Misyar Dalam Tinjauan Sosiologis Dan Psikologis”, Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)
Ahmad bin Yusuf ad-Duraiwisy, Az-Zawaj al-Urfi Haqiqatuhu wa Ahkamuhu wa Atsaruhu wa al-Ankihah Dzatu ash-Shilah bihi, Cet. I, (Riyadh: Darul Ashimah, 1426)
Asep Saepullah dan Lilik Hanafiah, “ Nikah Misyar Perspektif Yusuf Qardhawi Dan Dosen Fakultas Syariah Iain Syekh Nurjati Cirebon”, Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol.2, No. 2, Desember 2017.
Faris Muhammad Imran, az-Zawaj al-‘Urfi wa Shuwarun Ukhra li az-Zawaj Ghairu Rasmiy, (Kairo : Majmu’ah an-Niil al-‘Arabiyyah, 2001)
Muhammad Ibrahim Sa’d an-Nadi, az-Zawaj al-Mustahdats wa Mauqif al-Fiqh al-Islami minhu Dirasah Fiqhiyah Muqaranah, ( al-Mandhurah : Dar al-Mawaddah, 2011)
Muhammad Yusuf al-Qardawi, Zawaj al-Misyar; Haqiqatuh wa Hukmuh (Mesir:
Maktabah Wahbah, 2006)
Musthafa Luthfi & Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, (Surakarta : WIP, 2010)
Nasiri, “Membongkar Praktik Kawin Friend para Wanita Sosialita di Surabaya.” Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 18.2 (2018): 193-210.
Shirine Jurdi, “Misyar Marriage”, AL-Raida Volume XVIII – XIX, No.s 93-94 Spring/Summer 2001.
Software al-Maktabah al-Sya>milahVersi 3.62.
Sumayyah Abdurrahman Bahr, ‘Uqud az-Zawaj al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (Gaza: Islamic University Gaza, 1425 H)
Usamah Umar Sulaiman al-Asyqar, Mustajidat al-Fiqhiyyah fi Qhadaya al-Zawaj wa-al-Thalaq, (Damaskus: Dar al-Ilmiyyah, 1442)
Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Sirri, Mut’ah & Kontrak, dalam Timbangan al-Qur`an & as-Sunnah, (Jakarta : Dar al-Haq, 2010)
Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999)
https://binbaz.org.sa/fatwas/23897/, حكم-زواج-المسيار, diakses 22 November 2021
https://islamqa.info/ar/answers/82390/زواج-المسيار-تعريفه-وحكمه, diakses 20 November 2021
https://islamqa.info/id/answers/82390/pernikahan-misyar-definisi-dan-hukumnya, diakses 23 November 2021
https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=212389, diakses 23 November 2021
https://www.yabeyrouth.com/5436-آراء-العلماء-في-زواج-المسيار, diakses 19 November 2021