Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag (Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng)
Salah satu kebiasaan yang cukup mapan di sekitar kita ketika bayi baru saja dilahirkan adalah diadzani di telinga kanan dan diiqamati di telinga sebelah kirinya. Biasanya sang ayahlah yang mengadzani, atau kakek atau kerabatnya yang hadir kala itu. Tak jarang, dokter atau bidan yang menunggui persalinannya, kalau ia tahu hukum agama, juga ikut mengadzani atau sekurangnya mengingatkan untuk segera diadzani jabang bayi yang baru lahir tersebut.
Kalau kita sempat membuka kitab-kitab fiqh yang tebal-tebal dari berbagai madzhab, hampir semuanya menuntunkan dan menyunnahkan adanya adzan dan iqamah untuk bayi yang baru lahir. Memang dalam hal ini ada beberapa hadis yang menunjukkan akan kesunnahannya. Namun kualitas hadis-hadis tersebut kurang dijelaskan oleh banyak penulis, sampai sejauhmana kekuatan hadis tersebut untuk dijadikan hujjah.
Karena itulah tidak mengherankan, jika sebagian besar masyarakat muslim di lingkungan kita tidak mengetahui kualitas hadis tersebut, sehingga ketika ada ulama atau ormas Islam yang tiba-tiba menghukumi tidak sunnah mengadzani bayi yang baru lahir, mereka dibuat kaget dan terheran-heran. Untuk menghilangkan kekagetan itu, tulisan singkat berikut mudah-mudahan sedikit dapat membantu. Khususnya dalam menjelaskan status kesahihan hadis tersebut dari komentar dan pendapat ahli hadis yang kompeten. Syukur al-Hamdulillah, pada masa kini kita sudah dimudahkan dengan berbagai sarana untuk melacak dan menelusuri berbagai kitab dari sumber-sumbernya termasuk dengan bantuan software komputer semisal al-Maktabah asy-Syameelah.
Khilafiyah di Kalangan Ulama
Jumhur ulama menyunnahkan dibacakan adzan dan iqamah untuk bayi yang baru lahir. Ulama yang menyunnahkan adzan ini di antaranya al-Hasan al-Bashri, Umar bin Abdul ‘Aziz, ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali.
Ulama kontemporer, Wahbah az-Zuhaily juga menyunnahkan adzan ini dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu.
يستحب للوالد أن يؤذِّن في أذن المولود اليمنى، وتقام الصلاة في اليسرى حين يولد ) الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 4 / ص 288))
“ Disukai bagi orang tua untuk mengadzani di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan diiqamati seperti iqamat untuk shalat di telinga kirinya” ( al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu : 4/288)
As-Sayyid Sabiq yang kitab Fiqh Sunnahnya dijadikan acuan utama di Perguruan Tinggi Islam termasuk yang menyunnahkan dibacakan adzan ini. Dalam kitabnya ia menulis :
الاذان في أذن المولود: ومن السنة أن يؤذن في أذن المولود اليمنى، ويقيم في الاذن اليسرى، ليكون أول ما يطرق سمعه اسم الله.
“ Adzan di telinga bayi yang baru dilahirkan : Termasuk sunnah dilakukan, mengadzani telinga kanan dan mengiqamahi telinga kiri bayi yang baru dilahirkan, supaya yang pertama kali didengar telinga anak adalah Asma Allah SWT”.
Imam asy-Syairazi dalam al-Muhadzab berkata :
ويستحب لمن ولد له ولد أن يؤذن في أذنه )المهذب – (ج 1 / ص 438)
“ Disunnahkan bagi orang yang baru kelahiran anak untuk mengadzani di telinga bayi tersebut”. ( al-Muhadzab : 1/438)
Abdurrahman al-Jazairi, dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, hlm.170. juga menyunnahkan adzan bayi di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya.
Sebagian ulama tidak menyunnahkan adzan dan iqamat bagi bayi yang baru lahir. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik bin Anas.
Dijelaskan dalam salah satu kitab fiqh madzhab Maliki sikap Imam Malik :
وَأَنْكَرَ مَالِكٌ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِهِ حِينَ يُولَدُ ) مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – (3 / 321)
“ Imam Malik mengingkari perbuatan mengadzani di telinga bayi ketika dilahirkan”. ( Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar asy-Syaikh Khalil : 3/321)
Sebagian ulama berpendapat, mengadzani di telinga kanan hukumnya sunnah, namun mengiqamati di telinga kiri bayi yang baru lahir tidak sunnah.
Pendapat ini dikemukakan oleh Dr. Abdullah al-Faqih dalam Fatawa asy-Syibkah al-Islamiyyah :
فإنه يؤذن في أذن المولود اليمنى ولا يقام ولا يؤذن في أذنه اليسرى )فتاوى الشبكة الإسلامية – (ج 24 / ص 209)
“ Diadzani pada telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan tidak diiqamati dan juga tidak diadzani pada telinga kirinya” (Fatawa asy-Syibkah al-Islamiyyah : 24/209)
Di kalangan ormas Islam Indonesia, Muhammadiyah, Persis dan MTA termasuk yang berpendapat tidak menyunnahkan adzan dan iqamah untuk bayi baru lahir karena hadis-hadisnya lemah.
Dalil – Dalil Ulama yang menyunnahkan :
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi, Hakim, serta al-Baihaqi yang berbunyi :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ ( سنن أبي داود – (13 / 305 )
“ Bercerita kepada kami Musaddad, bercerita kepada kami Yahya dari Sufyan ia berkata, ‘ bercerita kepadaku ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari ayahnya ia berkata, “ Aku melihat Rasulullah SAW mengadzani di telinga Hasan bin ‘Ali ketika ia dilahirkan Fathimah dengan adzan shalat”. ( Sunan Abu Dawud : 13/305)
Mengomentari hadis tersebut, penulis kitab ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, Muhammad Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi “ Abu ath-Thayyib”, dengan mengutip pendapat al-Mundziri menjelaskan sebagai berikut :
“ Berkata al-Mundziri : Hadis tersebut dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (juga) dan ia berkata hasan sahih demikian akhir perkataannya. Dan dalam isnadnya ada ‘Ashim bin ‘Umar bin al-Khaththab. Imam Malik dan Ibnu Ma’in menganggapnya dha’if, hadisnya tak dapat dipakai hujjah, selain keduanya juga membincang (mengkritik) ‘Ashim ini. Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busthiy juga mengkritik riwayat hadis ini juga selainnya”. ( ‘Aun al-Ma’bud : 11/142)
Hadis tadi juga dikritik oleh beberapa ulama karena pada sanadnya terdapat nama ‘Ashim bin Ubaidillah bin ‘Ashim bin ‘Umar bin al-Khatthab. ‘Ashim ini dikritik oleh Ibnu Ma’in dengan penilaian :
ضَعِيفٌ لَا يُحْتَجُّ بِحَدِيثِهِ
“ Dha’if tidak bisa berhujjah dengan hadis yang diriwayatkannya”
Ia juga dikritik oleh Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Bustiy, juga Imam Malik. Ibnu Huzaimah berkomentar, saya tidak berhujjah dengannya karena hafalannya buruk. Ibnu Hajar menilainya dha’if. Al-Bukhari menilainya dengan منكر الحديث (munkarul hadits). Al-Mizzi mengatakan, Imam Malik tidak menceritakan hadis darinya. Abdurrahman bin Mahdi mengingkari hadis dari ‘Ashim dengan penolakan yang keras.
Ibnu at-Turkumaniy dalam al-Jauhar an-Naqy punya penjelasan menarik untuk disimak :
Penulis kitab al-Jauhar an-Naqiy Li Ibni at-Turkumaniy berkata : ” Bab adzan di telinga bayi yang baru lahir, disebutkan di sini, bahwa Nabi SAW beradzan di telinga al-Hasan, aku berkata, ‘ Di dalam hadis itu terdapat sanad bernama ‘Ashim bin Ubaidillah, al-Baihaqi tidak berkomentar apa-apa di sini, padahal ia dha’if di sisi mereka. Al-Baihaqi sungguh telah mendha’ifkan ‘Ashim juga di bab Istibanah Al-Khatha.( al-Jauhar an-Naqi li Ibni Turkumani : 9/305 ) Imam Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habir memberi catatan dan komentar sebagai berikut : “ Hadis bahwasanya Rasulullah SAW mengadzani di telinga al-Husain ketika dilahirkan oleh fathimah, diriwayatkan oleh Ahmad Abu Dawud, Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abu Rafi’. Thabrani dan Abu Nu’aim juga meriwayatkan dari Abu Rafi’ dengan lafadz أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ , persoalannya ada di ‘Ashim bin ‘Ubadidullah, dan dia itu dha’if. (at-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir : 5/384)
Sedang kelompok yang menyunnahkan, menilai hadis tersebut sahih atau sekurangnya hasan seperti penilaian : Imam at-Tirmidzi menghukumi hasan sahih. Pernyataan Imam at-Tirmidzi ini diamini oleh an-Nawawi dalam al-Adzkar. Tentang ‘‘Ashim, Ahmad bin Abdullah al-‘Ijli menilai tidak apa-apa dengan ‘Ashim. Abu Ahmad bin ‘Adi menyatakan Sufyan ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Syu’bah dan lain-lain ada meriwayatkan hadis dari ‘Ashim. Ibnu ‘Adiy berkata, ‘Ashim walaupun ia dha’if namun tetap dicatat hadis yang diriwayatkannya.Syaikh Nashirudin al-Albani di beberapa tempat mengatakan hadis tersebut bernilai hasan. Al-Mubarakfuri, pensyarah sunan Tirmidzi berpendapat memang benar hadis ini lemah, namun ada hadis lain yang menguatkannya yakni hadis riwayat Abu Ya’la al-Maushuliy dan Ibnu Sunni. Namun komentar al-Mubarakfuri ini dikritik oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani, dengan mengatakan “ Bagaimana mungkin hadis dha’if ini dikuatkan dengan hadis maudhu’’”. Hadis yang dimaksud oleh al-Mubarakfuri adalah :
من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى و أقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان ” .
“ Barang siapa yang baru mendapatkan bayi (kelahiran bayi) lantas ia mengadzani di telinga kanannya dan mengiqamati di telinga kirinya, maka Ummu Shibyan tidak akan memberi madharat padanya”
Hadis di atas dihukumi maudhu’’ oleh al-Albani. Al-Albani secara panjang lebar membahas berbagai pendapat ulama ahli hadis dan mengkritik pendapat mereka. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Sunni yang berbunyi :
حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من ولد له فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان » )مسند أبي يعلى الموصلي – (ج 14 / ص 20), التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير – (5 / 386)
“ Bercerita kepada kami Jabarah, bercerita kepada kami Yahya bin al’Ala, dari Marwan bin Salim, dari Thalhah bin ‘Ubaidillah , dari Husain ia berkata, bersabda Rasulullah SAW : “ Siapa yang dikaruniai anak ( bayi yang baru lahir) lantas diadzani di telinga kanan dan diiqamahi di telinga kiri maka Ummu Shibyan ( التَّابِعَةُ مِنْ الْجِنِّ ) tidak akan bisa membahayakannya”.
Hadis tersebut menurut penjelasan Muhammad Abdur Rauf al-Munawi ( w. 1031 H) dalam Syarh Al-Jami’us Shaghir, sebagaimana dikutip oleh al-Mubarakfuri, isnadnya dha’if.
قَالَ الْمُنَاوِيُّ فِي شَرْحِ الْجَامِعِ الصَّغِيرِ : إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ )تحفة الأحوذي – (4 / 169)
“ Berkata al-Munawi dalam Syarh al-Jami’ ash-Shaghir : Isnadnya dha’if” ( Tuhfadz al-Ahwadzi : 4/169)
Dalam hadis tersebut ada perawi yang bernama Marwan bin Salim al-Ghifari, dia dihukumi matruk ( ditinggalkan hadisnya). Imam Muslim dan Bukhari menghukumi munkarul hadis, Abu ‘Arubah al-Harrani mengatakan ia sering memalsukan hadis. Ad-Daruquthni mengatakan hadisnya ditinggalkan. Imam adz-Dzahabi dalam kitab adh-Dhu’afawal Matrukin menilainya sebagai salah seorang yang gemar berdusta dan memalsukan hadis. Imam Ahmad mensifatinya sebagai orang yang ahli berdusta dan memalsukan hadis. As-Suyuthi dan Al-Haitsami mengomentari hadis tersebut dengan mengkritik rawi bernama Marwan bin Salim al-Ghifari :
قال الهيثمى (4/59) : فيه مروان بن سالم الغفارى وهو متروك ) جمع الجوامع أو الجامع الكبير للسيوطي – (ج 1 / ص 24774)
“ Berkata al-Haitsami (4/59) : Di dalam hadis tersebut terdapat rawi bernama Marwan bin Salim al-Ghifari, dia itu matruk (ditinggalkan hadisnya)”. ( Jam’ al-Jawami’ au al-Jami’ al-Kabir li as-Suyuthi : 1/24774) Pentakhrij hadis-hadis Ihya Ulumuddin menilai bahwa dalam hadis tersebut ada sanadnya yang dha’if.
Redaksi yang sedikit berbeda diriwayatkan oleh al-Baihaqi :
عن الحسين بن علي ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى رفعت عنه أم الصبيان
“ Dari Husain bin ‘Ali ia berkata, “ Bersabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang dikarunia bayi lalu diadzani di telinga kanannya dan diiqamahi di telinga kirinya, maka dijauhkan ia dari gangguan Ummu Shibyan ”.
Hadis di atas dihukumi maudhu’’ oleh al-Albani ( as-silsilah adh-dha’ifah : 1/398. Lebih jauh Al-Albani secara panjang lebar membahas berbagai pendapat ulama ahli hadis serta hadis-hadis yang menyunnahkan adzan dan mengkritik pendapat mereka.
Perbuatan Umar bin Abdul Aziz :
حَدِيثُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ كَانَ إِذَا وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ أَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
“ Berita dari Umar bin Abdul Aziz bahwasanya ia biasa mengadzani bayi yang baru lahir di telinga kanannya dan mengiqamahi di telinga kirinya”.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqallani, riwayat ini tidak bersandar kepada Nabi.
Selain itu, andaikata penisbahan itu benar, perbuatan ulama tabi’in juga bukan hujjah yang berdiri sendiri.
Dalil kelompok yang tidak menyunnahkan :
Pada prinsipnya dalil dari al-hadis yang dipakai sama, cuma kelompok ini menganggap hadis-hadis yang diajukan ulama yang menyunnahkan tersebut tidak sahih atau dha’if, bahkan ada sebagian yang bernilai maudhu’’. Karena tak satupun hadis yang bernilai sahih, maka kelompok ini tidak menyunnahkan adzan pada bayi yang baru lahir. Mereka berprinsip, hadis dha’if tidak bisa dipakai sebagai dasar penetapan hukum, termasuk menyunnahkan suatu perbuatan tertentu.
Sebagi kesimpulan, setelah menyimak, menelaah serta membanding dua pendapat di atas, menurut hemat penulis, dalil atau hadis yang menyunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir tidak cukup kuat, alias lemah. Maka dari itu tidak cukup dipakai sebagai landasan untuk menyunnahkan adzan buat bayi yang baru lahir.
Namun demikian juga tidak perlu berlebihan dengan memvonis amalan tersebut sebagai bid’ah dan berlebihan dalam mengingkari amalan ini, karena secara faktual harus diakui pendapat yang menyunnahkan juga banyak dikemukakan para ulama lintas zaman.
Apapun pilihan kita dalam hal ini, hendaknya kita tetap saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain. Dan yang pasti, pilihan kita hendaknya didasari oleh ilmu, bukan karena mengikut dan meniru apalagi meniru secara membabi buta tanpa mau mempelajari dasar dan dalil yang menjadi pijakan pendapat tersebut. Wallahu a’lam.
Batang, 9 Dzulhijjah 1444 H/27 Juni 2023