
Gigih Setianto, M.Pd.I (Sekretaris Majelis Tabligh PWM Jateng, Dosen UMPP)
Setiap tahunnya, umat Islam di seluruh dunia menyelenggarakan dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Jika Idul Fitri diselenggarakan pada tanggal 1 Syawal, maka Idul Adha diselenggarakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah.
Idul Adha diambil dari bahasa Arab, yaitu idul dari kata aada – yauudu artinya kembali dan adha dari kata udhiyah yang berarti qurban. Idul Adha disebut juga Hari Raya Qurban karena pada hari itu umat Islam disyariatkan melaksanakan ibadah qurban. Masyarakat muslim di seluruh dunia merayakan hari raya ini dengan menyembelih hewan qurban lalu dibagi-bagikan kepada sesamanya.
Sejarah qurban sudah sangat tua, setua sejarah manusia itu sendiri. Qobil dan Habil tercatat sebagai manusia pertama yang melakukan qurban, Meskipun kemudian Ibadah qurban yang dijadikan syari‘at Islam ini lebih kepada pelestarian ajaran yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yakni pengorbanan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak yang sangat disayanginya demi memenuhi perintah Allah dalam mimpinya. Sebagai anak yang sholih, Ketika Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah kepada Nabi Ismail maka Nabi Ismail pun memerintahkan kepada Ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Karena ketaatan dan ketulusan Nabi Ibrohim dan Nabi Ismail inilah, pada saat Nabi Ismail sudah di pembaringan dan bersiap untuk disembelih maka Allah menggantinya dengan seekor domba.
Sebagai bagian dari ajaran agama Islam, ada beberapa nilai pendidikan yang bisa dipetik dari peristiwa Ibadah Qurban yang dijalani oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini. Di antaranya nilai-nilai itu adalah:
Pertama, Nilai Pendidikan Keimanan. Secara bahasa, iman berarti membenarkan (tashdiq). Secara Istilah Iman adalah kepercayaan yang meresap kedalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Menurut Imam al-Ghazali, iman adalah mengucapkan dengan lisan, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.
Bila dikaitkan dengan sejarah ibadah qurban, sungguh Pendidikan keimanan yang sangat luar biasa ini diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Karena keimanannya yang sangat luar biasa itu mereka melaksanakan perintah dari Allah SWT yaitu untuk menyembelih anaknya. Mereka siap untuk melakukan apa saja yang diperintahkan Allah, termasuk mengorbankan nyawa anak yang disayanginya. Tanpa keimanan yang kokoh seorang ayah tidak mungkin akan mau mengorbankan nyawa anak yang disayanginya. Dan tanpa keimanan yang kokoh seorang anak pasti tidak akan mau dikorbankan oleh ayahnya. Baik Nabi Ibrohim maupun Nabi Ismail keduanya memiliki keimanan yang kokoh. Dengan demikian maka suatu ibadah akan mudah terlaksana bila dilandasi dengan iman yang kuat.
Kedua, Nilai Pendidikan Akhlak. Akhlak menurut al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma’rifah. Akhlak adalah “haal” atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah.
Sejarah qurban memperlihatkan kepada kita tentang Pendidikan akhlak yang sebenarnya. Hal itu bisa dilihat dari beberapa akhlak mulia yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim sekeluarga dalam merespon perintah penyembelihan dari Allah SWT, yaitu mulai dari sejak nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniakan anak yang shalih, kemudian sikap Nabi Ibrohim Ketika menerima perintah untuk menyembelih anaknya, sikap Nabi Ismail setelah mendengarkan perintah penyembelihan dari Allah SWT serta kepatuhan Hajar kepada Allah dan suaminya saat digoda oleh iblis untuk menghentikan Nabi Ibrahim melakukan penyembelihan terhadap anaknya. Dengan demikian maka seorang yang beriman kepada Allah maka dirinya akan senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia kapanpun dan dalam keadaan yang bagaimanapun.
Ketiga, Nilai Pendidikan Kesabaran. Sabar memiliki arti pengendalian diri untuk tidak berbuat keji dan dosa, mampu menaati perintah Allah, memegang teguh akidah Islam dan mampu tabah untuk tidak mengeluh atas musibah apapun yang menimpa. Termasuk didalamnya sabar dalam menerima dan menghadapi berbagai ujian dari Allah.
Nilai pendidikan kesabaran yang dicontohkan dalam sejarah ibadah qurban adalah ketabahan hati Nabi Ibrahim sekeluarga dalam menerima ujian dari Allah berupa perintah penyembelihan anaknya yaitu nabi Ismail. Orangtua mana yang tidak sayang dengan anak yang telah lama di dambakan kehadirannya. Setelah beranjak dewasa datanglah perintah Allah untuk menyembelihnya. Nabi Ibrohim bersabar atas perintah Allah. Nabi Ismailpun tidak kalah sabar dalam memenuhi perintah Allah tersebut. Dengan demikian, seorang yang beriman dalam menjalani kehidupan haruslah memiliki sifat sabar, karena dengan sabar maka dia akan dicintai dan dibersamai oleh Allah dalam kehidupannya.
Keempat, Nilai Pendidikan Keikhlasan. Ikhlas merupakan kondisi hati yang menghasilkan perbuatan semata-mata karena Allah SWT. Sejarah ibadah qurban menunjukkan kepada kita tentang keikhlasan Nabi Ibrahim sekeluarga dalam menjalankan perintah Allah. Nabi Ibrahim dan Siti Hajar ikhlas mengorbankan anaknya, Nabi Ismail ikhlas disembelih sebagai qurban kepada Allah SWT. Hal ini tentu lahir karena kecintaan dan kedekatan hamba terhadap Tuhannya. Dengan demikian, seorang yang beriman dalam melaksanakan sesuatu utamanya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah maka harus diniati semata mata karena Allah untuk mendapatkan ridho dari Allah.
Kelima, Nilai Pendidikan Tawakal. Imam al-Ghazali memaknai tawakkal yaitu menyandarkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
Nilai pendidikan tawakal yang terkandung dalam sejarah ibadah qurban ditunjukkan ketika Nabi Ibrahim bersiap menyembelih Nabi Ismail yang berada pada posisi bersiap untuk disembelih. Keduanya berserah diri, bertawakal hanya kepada Allah SWT. Dengan demikian seorang yang beriman haruslah memiliki sikap tawakal, pasrah diri dalam kondisi apapun, terlebih dalam kondisi yang sangat sulit.
Keenam, Nilai Pendidikan Demokratis. Demokrasi dalam keluarga adalah pemberlakuan secara adil kepada seluruh anggota keluarga tanpa pilih kasih dan membeda-bedakan. Setiap anggota keluarga bebas untuk memberikan saran, kritikan, pendapat masing-masing dan melaksanakan peran masing-masing demi keberlangsungan dan kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu, dalam keluarga hendaknya dibiasakan untuk saling mendengar, bermusyawarah dalam mencapai mufakat.
Dari Quran Surat As Shoffat ayat 102, kita mengetahui bagaimana Nabi Ibrahim tidak langsung untuk mengambil keputusan sendiri. Nabi Ibrahim AS mengajak Nabi Ismail AS untuk berdiskusi dan menanyakan pendapat Nabi Ismail AS dan menyuruhnya untuk berfikir secara matang. Secara tidak langsung, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah mengajarkan konsep demokrasi dalam keluarga. Padahal itu adalah perintah langsung dari Allah SWT, tapi Nabi Ibrahim masih ingin mendengarkan pendapat dari Nabi Ismail. Nabi Ibrahim telah memperlihatkan bagaimana dia tidak menggunakan otoritasnya sebagai kepala keluarga dan sebagai seorang ayah. Keputusan tetap dari hasil musyawarah dirinya dan anaknya. Dengan demikian, sebagai orang yang beriman maka dalam memutuskan sesuatu apalagi berkaitan dengan orang lain, maka harus dengan prinsip musyawarah untuk mencapai kemufakatan yang hasilnya akan membawa kebaikan untuk semuanya. Terlebih dalam kehidupan keluarga.
Banyak nilai pendidikan yang bisa diambil dari peristiwa sejarah qurban yang dilakukan Nabi Ibrohim dan Nabi Ismail. Hendaknya pada momen idul qurban ini, selain kita berqurban dengan menyembelih hewan qurban sesuai syariat, kita ambil nilai nilai pendidikan ini dan kita terapkan dalam kehidupan sehari hari kita. Sehingga kita benar benar bisa menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.